Power point Kajian Nuansa Ajaran Jawa.pptx

aldidsptr 10 views 16 slides Sep 04, 2025
Slide 1
Slide 1 of 16
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16

About This Presentation

Power point Kajian Nuansa Ajaran Jawa


Slide Content

Nuansa Ajaran Jawa dan Keberagaman Budaya Nasional dalam Perspektif Akademik Formal Oleh: Prof. Dra. Ani Rakhmawati , M.A., Ph.D. [email protected]

Pengantar Presentasi ini membahas isu-isu mengenai penggunaan budaya dan tradisi Jawa yang dapat mempengaruhi kinerja akademisi Indonesia dalam berkomunikasi dan berinteraksi di lingkungan akademis i . Latar belakang multicultural dan pluralitas akademisi Indonesia memengaruhi bagaimana akademisi Indonesia melakukan kontak dan kinerja dalam lingkungan akademis, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. P enggunaan tradisi dan norma serta budaya Jawa tampaknya menjadi acuan dalam banyak kesempatan berbeda dan digunakan oleh akademisi dari latar belakang budaya yang berbeda.

Akulturasi Budaya Masalah terkini yang berkaitan dengan kesulitan banyak akademisi Indonesia dalam memilih strategi retoris dalam menyusun artikel penelitian untuk publikasi internasional dibahas dalam konteks keberagaman budaya Indonesia. Pelestarian norma dan nilai dari budaya nasional menjadi alasan perlunya akulturasi budaya di lingkungan akademik, mengintegrasikan berbagai konsep lokal yang bertujuan untuk dapat bersaing secara kritis dalam kancah budaya global.

Akulturasi Budaya Nasib tradisi lokal sebagai dampak dari adanya komunikasi global menjadi perhatian penting untuk dipertimbangkan (Ahimsa_Putra, 2008; Hunter, 2008). Akibat dari kemajuan cepat teknologi informasi melalui internet menyebabkan banyak nilai-nilai lokal, norma, budaya, dan tradisi yang tragis hilang. Generasi muda dianggap untuk menjadi korban masyarakat modern. Banyak dari mereka menganggap bahwa segala sesuatu dari Barat adalah yang terbaik sementara sebagian besar kebijaksanaan sosial dari budaya lokal menerima ukuran negatif dan dianggap ketinggalan zaman serta diabaikan (Poeger, 2008).

Tatakrama Berinteraksi Sebagai orang Indonesia, kita diajarkan dengan cara yang berbeda, tetapi lagu-lagu tradisional adalah sumber moral bangsa. Perilaku dasar yang penting bagi semua orang adalah memiliki tata krama dan bersikap rendah hati serta sopan ‘andhap asor’ terutama saat berinteraksi dengan orang lain di tempat umum (Purwadi, 2007). Di lingkungan akademik, Purwadi (2007) menjelaskan bahwa pernyataan yang kuat yang langsung mengacu pada anggota komunitas akademik bisa menimbulkan konflik. Situasi ini biasanya dikelola dan dihindari, terutama dalam konteks yang dianggap memiliki privilese sebagai orang terdidik. Pengajaran moral seperti itu dapat ditelusuri, misalnya, dari lagu tradisional yang disebut Tembang Macapat Mijil, karya Sunan Gunung Jati (1448 – 1568).

Tembang Macapat Mijil Dedalane guna lawan sekti Kudu andap asor Wani ngalah , luhur wekasane Tumungkula yen dipundukani Bapang den simpangi Ana catur mungkur Tautan Video: https://www.youtube.com/watch?v=8mZVxnmiPB0&list=RD8mZVxnmiPB0&start_radio=1

Makna dan Pesan Lagu tersebut mengisyaratkan pesan bahwa jika Anda ingin dihormati di dunia akademis: /Jalan menuju bermakna dan bermartabat/ / Anda harus lah rendah hati/ / Bersedia untuk mengalah , pada akhirnya Anda akan diangkat/ / Tundukkan kepala Anda saat Anda dikritik/ / Jauhkan diri dari jalur perpecahan / /Berbalik a rah lah saat ada konflik /

Makna dan Pesan Tembang klasik di atas, sebagai salah satu contoh pengajaran Jawa, diyakini menginspirasi banyak akademisi Indonesia untuk menjalani interaksi sosial mereka dengan rasa hormat dan kerendahan hati, termasuk dalam konteks akademis formal baik dalam komunikasi verbal maupun tertulis, seperti kegiatan mengajar dan menyebarkan temuan penelitian melalui artikel penelitian atau seminar. Dalam lingkungan akademik, khususnya di Universitas Sebelas Maret, sebagian besar interaksi dan komunikasi sehari-hari antar-civitas akademisi dibangun atas dasar penghormatan terhadap tradisi budaya Jawa, seperti 'sakmadyo' (modis) dan 'narima ing pandum' (Sutarjo, 2008).

Makna dan Pesan Norma-norma tersebut diwariskan dari nenek moyang kita para pujangga dan bangsawan, seperti KGPAA Mangkunegara IV yang telah menulis karya agung Whedatama. Berbagai norma masih diuri-uri dalam masyarakat Jawa dari generasi ke generasi melalui ungkapan 'sesanti’, paribasan Jawa serta lagu-lagu tradisional. Sukarno (2010) menegaskan bahwa sifat orang Jawa memiliki sikap umum 'tanggap ing sasmita', yang berarti mampu menangkap makna tersembunyi. Ia menekankan bahwa strategi komunikasi di Indonesia banyakmengadaptasi konsep-konsep dari Jawa seperti 'tata karma' (gaya kesopanan bahasa) dan 'andhap-asor' (merendahkan diri sambil memuliakan orang lain).

Makna dan Pesan Sebuah contoh dari konsep Jawa ‘alon-alon asal kelakon’, yang secara harfiah berarti ‘perlahan tapi pasti’, menunjukkan bahwa orang Indonesia tidak akan mengambil tindakan segera atau memahami lebih awal sebelum mereka memiliki pemahaman dan pertimbangan yang sempurna untuk menentukan aksi. Perilaku dari suku Jawa ini menginspirasi akademisi Indonesia dalam banyak cara, terutama tentang bagaimana mengelola interaksi dalam pertemuan formal atau informal untuk menunjukkan martabat dan komitmen mereka untuk menghormati orang lain. Tradisi Jawa ini menginspirasi banyak orang Indonesia untuk menjalin keterlibatan kolaboratif dengan para pemangku kepentingan lainnya (Eng dan Sutiyono, 2008).

Makna dan Pesan Dalam berbahasa lisan, tindakan yang melibatkan interaksi langsung, memberi nasihat, atau menyampaikan keluhan, masyarakat Jawa sering menggunakan ‘sanepan’, yaitu ungkapan peribahasa tidak langsung untuk menyampaikanpendapat atau saran. Misalnya, ada pepatah Jawa: ‘kena iwake ora buthek banyune’ yang berarti lebih baik menangkap ikan tanpa mengganggu air. ‘Sanepan’ ini menyarankan orang untuk tidak mengganggu orang lain tetapi tujuan atau pesannya tetap terpahami. Sebagai akademisi, sikap ‘andhap asor, lembah manah, nguwongake wong’, yang berarti menjaga sikap rendah hati, sederhana, penuh kasih, dan memiliki empati terhadap orang lain menjadi basis perilaku sarjana yang dihormati.

Contoh kesulitan dunia publikasi Komunikasi tulis akademik adalah proses yang rumit. Ada banyak pendekatan, narasi dan pengembangan yang berbeda. Metode itu 'Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain, tetapi itu mencerminkan perbedaan dalam gaya berpikir'. Thomson dan Droga (2012, hlm. 3) Perbedaan dalam budaya dan tradisi penulisan mempengaruhi pendekatan terhadap gaya penulisan dan reproduksi pengetahuan. Di negara seperti Indonesia di mana latar belakang penulis yang multikultural dan multibahasa sangat jelas, organisasi yang berbeda dalam menyusun artikel ilmiah dapat dianggap sebagai praktik yang normal (Basthomi, 2007).

Norma Budaya dalam Tulisan ilmiah Praktik penggunaan norma-norma dan budaya lokal sangat jelas. Ada banyak contoh penggunaan tradisi, norma, dan nilai, khususnya dari masyarakat Jawa, dalam lingkungan akademis dalam penulisan artikel ilmiah Dalam situasi dan kondisi yang sifatnya lebih formal, jurnal internasional memiliki gaya selingkung dan pola konvensional. Para penulis Indonesia cenderung terkendala pada norma-norma budaya ketika menulis artikel ilmiah dalam bahasa Inggris (Basthom, 2007).

Norma Budaya dalam Tulisan ilmiah Kebiasaan menulis dipengaruhi kebiasaan dan norma-norma budaya yang ada pada bahasa yang dikuasai (Moreno, 2010). Bangsa Asia mempunyai tradisi tersendiri dalam mengungkapkan perbedaan pendapat. Misalnya dalam hal menolak, menerima, mengungkapkan kebenaran atau ketidakbenaran, serta cara menghargai orang lain. (Loi dan Sweetnam-Evans, 2010).

Penutup Karakteristik latar budaya academisi dalam berinteraksi, baik formal maupun dalam situasi non-formal dianggap normal dan diakui sebagai keberagaman masyarakat Indonesia. Fenomena mencampurkan tradisi asli mereka saat berbicara dalam bahasa Indonesia mungkin disebabkan oleh opini bahwa bahasa Indonesia tidak dapat sepenuhnya mewakili ide atau perasaan mereka. Argumen ini dapat dilihat berasal dari bahasa Indonesia yang sebenarnya berasal dari penutur minoritas bahasa Melayu, yang dianggap tidak memenuhi sepenuhnya tuntutan kelompok etnis dominan lainnya (Dardjowidjojo, 1998). Meskipun Masyarakat menerima tanpa keraguan penggunaan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional, keadaan ini meninggalkan perasaan ‘keterpaksaan' karena tidak seperti bahasa ibu seseorang, bahasa Indonesia sering digambarkan sebagai tidak lengkap dalam menggambarkan gagasan atau perasaan seseorang, (Keane, 2003, hal. 519).

Terima Kasih
Tags