PEREKONOMIAN INDONESIA Kelompok 2
DI ERA PEMERINTAHAN
SOEHARTO Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia Dosen Pengampu : Raden Ayu Ritawati, S.E.,M.H.I
Harri Adam Ramadhan
NIM 23051370366 Meri Octaviani
NIM 23051370396 Cahya Nabila
NIM 23051370361 Siti Nur Halizah
NIM 23051370407 Siti Laila Rahmadani
NIM 23051370401 Elsa Darana
NIM 23051370375 Annisa Rahayuningtyas
NIM 23051370360 Maharani
NIM 23051370404 ANGGOTA KELOMPOK 2
A. KONSOLIDASI POLITIK ORDE BARU 1. Awal Kekuasaan Soeharto (1966-1998) Pada awal kekuasaannya (1966–1968), Soeharto menghadapi
kondisi Indonesia yang sangat buruk dengan inflasi 650%, PDB
stagnan, dan utang luar negeri menumpuk. Melalui Supersemar
11 Maret 1966, ia mendapat mandat dari Presiden Soekarno
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Soeharto
membubarkan PKI, menyingkirkan lawan politik, serta
mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan memperbaiki
hubungan dengan Barat. Militer (ABRI) semakin kuat sebagai
kekuatan politik, sementara Soeharto menggandeng teknokrat
“Mafia Berkeley” untuk membangun kembali ekonomi. Pada
1968, MPRS resmi mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI,
menandai dimulainya era Orde Baru.
2. Peran ABRI dan Doktrin Dwi Fungsi ABRI menjadi pilar utama Orde Baru
melalui Doktrin Dwi Fungsi, yang
memberi peran di bidang pertahanan
sekaligus sosial-politik. Militer
ditempatkan di DPR/MPR tanpa pemilu,
menduduki jabatan eksekutif, birokrasi,
hingga BUMN. Sistem ini membawa
stabilitas politik dan kontrol oposisi,
namun membatasi demokrasi,
menekan kebebasan rakyat, serta
melahirkan dominasi militer dalam
kehidupan sipil. Doktrin Dwi Fungsi
menjadi fondasi legitimasi kekuasaan
Orde Baru hingga runtuhnya pada 1998.
A. KONSOLIDASI POLITIK ORDE BARU
Golkar dijadikan kendaraan politik utama Orde Baru dengan dukungan ABRI, birokrasi, dan PNS. Melalui
penyederhanaan partai, PPP dan PDI diposisikan hanya sebagai pelengkap, sementara Golkar selalu menang telak sejak
Pemilu 1971. Sistem monoloyalitas mewajibkan PNS dan aparat mendukung Golkar, sehingga rezim semakin kuat dan
stabil. Namun, dominasi ini mempersempit demokrasi, membuat persaingan politik tidak adil, dan menjadikan Golkar
sebagai simbol legitimasi kekuasaan Soeharto.
A. KONSOLIDASI POLITIK ORDE BARU
3. Golkar sebagai Kendaraan Politik
Pada masa Orde Baru, kekuasaan sangat terpusat di tangan Presiden Soeharto. Lembaga negara hanya menjadi
pengesah kebijakan tanpa fungsi pengawasan. Kontrol media dilakukan melalui SIUPP, sehingga pers harus berhati-hati
agar tidak dibredel. Media diarahkan menjadi corong pemerintah, menyiarkan stabilitas politik, pembangunan nasional,
dan Trilogi Pembangunan, sementara kritik dibungkam. Kebijakan ini membuat kekuasaan Soeharto langgeng, tetapi
membatasi kebebasan pers dan menciptakan budaya takut di masyarakat.
A. KONSOLIDASI POLITIK ORDE BARU
4. Sentralisasi Kekuasaan dan Kontrol Media
Stabilitas Nasional 1 2 Pertumbuhan Ekonomi 3 Pemerataan Hasil Pembangunan B. PROGRAM PEMBANGUNAN EKONOMI
1. Trilogi Pembangunan
Trilogi Pembangunan menjadi strategi utama Orde Baru sejak
awal 1970-an dengan tiga pilar utama: Stabilitas Nasional
melalui kontrol politik ketat dan dominasi ABRI, Pertumbuhan
Ekonomi lewat industrialisasi, investasi asing, serta ekspor
migas, dan Pemerataan Hasil Pembangunan melalui program
SD Inpres, transmigrasi, dan Inpres Desa Tertinggal. Konsep ini
berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas
7% pada 1970–1980-an, namun pemerataan sering timpang
dan lebih banyak menguntungkan elit serta Pulau Jawa.
PELITA I (1969–1974) 1 2 PELITA II (1974–1979) 3 PELITA III (1979–1984) Fokus pertanian &
swasembada pangan
(Bimas/Inmas, irigasi).
Pembangunan infrastruktur
dasar (jalan, jembatan,
listrik).
Industrialisasi awal (tekstil,
pupuk, semen, kawasan
industri). PELITA IV (1984–1989) 4 5 PELITA V (1989–1994) 6 PELITA VI (1994–1999)
Swasembada beras 1984,
puncak kejayaan Orde Baru.
Ekspor nonmigas (tekstil,
sepatu, elektronik), tapi KKN
makin parah.
Fokus SDM & diversifikasi
ekonomi, gagal akibat krisis
1997–1998.
B. PROGRAM PEMBANGUNAN EKONOMI
2. PELITA I - VI
PELITA membawa pertumbuhan pesat, tapi diakhiri krisis, utang, dan KKN yang menghancurkan ekonomi Orde Baru.
B. PROGRAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai
swasembada beras dan mendapat penghargaan
dari FAO. Keberhasilan ini didukung oleh kebijakan
pemerintah seperti subsidi pupuk, penetapan
harga dasar gabah, kredit pertanian melalui
program Bimas dan Inmas, serta pembangunan
irigasi dan SD Inpres. Namun, pencapaian ini
sangat bergantung pada subsidi, utang luar negeri,
dan input impor, sehingga tidak berkelanjutan.
Memasuki 1990-an, produktivitas pertanian
kembali menurun dan menunjukkan bahwa
keberhasilan swasembada pangan Orde Baru
bersifat rapuh.
3. Swasembada Pangan (1984)
B. PROGRAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Selama Orde Baru, Indonesia mencatat pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6,5% per tahun (1970–1996), dengan
peralihan fokus dari pertanian ke industrialisasi. Sektor
industri tumbuh pesat hingga 11,2% pada 1990, sementara
kontribusi pertanian terus menurun. Keberhasilan ini
didorong oleh investasi asing, proteksi industri, serta bantuan
utang luar negeri. Namun, pertumbuhan tersebut tidak
merata, hanya dinikmati konglomerat dan kroni Soeharto.
Industri juga rapuh karena ketergantungan pada impor bahan
baku dan teknologi, sementara KKN semakin meluas.
Akhirnya, ketika krisis Asia 1997–1998 melanda, fondasi
ekonomi runtuh dengan cepat.
4. Industrialisasi dan Pertumbuhan Ekonomi
C. HUTANG INDONESIA DI ERA SOEHARTO
Pada era Soeharto, hutang luar negeri menjadi penopang utama pembangunan. Pemerintah terpaksa mengandalkan
pinjaman karena penerimaan negara sangat terbatas, sementara ambisi pembangunan infrastruktur dan industri
besar membutuhkan dana yang besar. Ketergantungan pada kredit asing semakin kuat setelah harga minyak dunia
jatuh pada awal 1980-an. Selain itu, pemerintah merasa utang tidak bermasalah selama ekonomi tumbuh tinggi,
meski banyak digunakan untuk proyek jangka panjang atau konsumtif.
1. Penyebab Meningkatnya Hutang
Poin Penting Penyebab Hutang:
APBN defisit kronis,
basis pajak sempit.
Ambisi pembangunan
infrastruktur & industri
strategis.
Ketergantungan pada pinjaman
internasional (Bank Dunia, IMF, IGGI/CGI).
Jatuhnya harga minyak
awal 1980-an.
Kebijakan utang dianggap
“aman”, meski tidak produktif
sepenuhnya.
C. HUTANG INDONESIA DI ERA SOEHARTO
Pada masa Orde Baru, Indonesia kembali membuka diri terhadap lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank
Dunia, serta forum donor IGGI dan CGI. IMF dan Bank Dunia tidak hanya memberikan pinjaman, tetapi juga
memengaruhi kebijakan ekonomi, mulai dari stabilisasi makro, deregulasi, hingga devaluasi rupiah. Bank Dunia
bahkan menyebut Indonesia sebagai “murid teladan” karena patuh pada rekomendasi mereka. IGGI, yang dibentuk
pada 1967 dan dipimpin Belanda, menjadi sumber utama dana pembangunan hingga awal 1990-an, sebelum
digantikan oleh CGI setelah hubungan Indonesia–Belanda memburuk akibat isu HAM.
2. Peran IMF, Bank Dunia, IGGI/CGI
Dari kerja sama ini, Indonesia memperoleh dana segar untuk membiayai
proyek infrastruktur, industri dasar, hingga pertanian, sekaligus
membantu menciptakan stabilitas ekonomi. Namun, di sisi lain,
keterlibatan lembaga-lembaga tersebut membuat Indonesia semakin
bergantung pada pinjaman luar negeri dan tunduk pada syarat donor,
seperti liberalisasi ekonomi, penghapusan subsidi, serta masuknya
kepentingan asing, sementara banyak proyek utang justru tidak produktif
dan menguntungkan kelompok tertentu saja.
C. HUTANG INDONESIA DI ERA SOEHARTO
3. Ketergantungan pada Pinjaman Luar Negeri
Pada masa Orde Baru, Indonesia semakin bergantung pada
pinjaman luar negeri untuk menopang pembangunan. Utang
pemerintah digunakan menutup defisit APBN dan membiayai
infrastruktur, pendidikan, serta kesehatan, terutama berasal
dari lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan
forum IGGI/CGI. Sementara itu, utang swasta melonjak pesat
sejak awal 1990-an karena liberalisasi sektor keuangan,
umumnya berupa pinjaman jangka pendek dalam dolar AS
tanpa lindung nilai. Ketergantungan ini memang mendorong
pertumbuhan ekonomi tinggi pada 1980–1990-an, tetapi
menjadikan ekonomi rapuh terhadap gejolak global. Saat krisis
1997, nilai tukar rupiah anjlok, utang swasta membengkak, dan
sistem keuangan runtuh, sehingga menjadi salah satu faktor
utama kejatuhan Orde Baru pada 1998.
C. HUTANG INDONESIA DI ERA SOEHARTO
4. Krisis Moneter 1997 dan Ledakan Hutang
Krisis moneter Asia tahun 1997 menjadi titik balik runtuhnya
ekonomi Orde Baru. Rupiah terjun bebas dari Rp 2.400 per USD
menjadi lebih dari Rp 17.000 per USD pada awal 1998, sehingga
beban cicilan utang luar negeri membengkak tajam.
Perusahaan swasta yang banyak berutang dolar tidak mampu
membayar, perbankan lumpuh, dan puluhan bank dilikuidasi.
Akibatnya, ekonomi Indonesia hancur dengan kontraksi PDB
sekitar -13% pada 1998, pengangguran melonjak, dan jutaan
orang jatuh miskin. Krisis ini juga meruntuhkan legitimasi
politik Soeharto, memicu demonstrasi besar-besaran, dan
akhirnya membuatnya lengser pada 21 Mei 1998 setelah 32
tahun berkuasa.
D. KEJATUHAN ORDE BARU
1. Kondisi Politik dan Ekonomi 1990-an
Memasuki 1990-an, Orde Baru masih mencatat pertumbuhan
ekonomi tinggi sekitar 6–7% per tahun, sehingga Indonesia
sering dipuji sebagai “Macan Asia Baru” dengan pembangunan
infrastruktur, ekspor nonmigas, dan industrialisasi yang pesat.
Namun, di balik keberhasilan tersebut tersimpan masalah
serius, seperti ketergantungan pada utang luar negeri dan
investasi asing, lemahnya regulasi sektor keuangan, serta
kekayaan yang hanya terkonsentrasi pada segelintir
konglomerat dekat keluarga Cendana. Selain itu, praktik
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin merajalela,
sementara sistem politik makin otoriter dengan kritik yang
dibungkam, pers dikontrol, dan ruang oposisi dipersempit.
Kondisi ini membuat stabilitas Orde Baru tampak kokoh di
permukaan, tetapi sesungguhnya rapuh secara struktural.
D. KEJATUHAN ORDE BARU
2. Demonstrasi Mahasiswa dan Tragedi Trisakti
Krisis ekonomi 1997 berubah menjadi krisis
politik. Mahasiswa menuntut reformasi total,
penghapusan KKN, dan mundurnya Soeharto.
Pada 12 Mei 1998, aparat menembaki aksi damai
mahasiswa Universitas Trisakti, menewaskan 4
orang. Tragedi ini memicu kerusuhan Mei 1998
(13–15 Mei) di berbagai kota, menyebabkan
>1.000 korban jiwa dan kerusuhan bernuansa
etnis. Tekanan semakin kuat hingga akhirnya
Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
D. KEJATUHAN ORDE BARU
3. Lengsernya Soeharto (21 Mei 1998)
Krisis ekonomi dan politik membuat posisi
Soeharto goyah. Dukungan dari tokoh politik,
agama, DPR/MPR, dan menteri runtuh. Upaya
mempertahankan kekuasaan gagal. Pada 21 Mei
1998, Soeharto resmi mengundurkan diri
setelah 32 tahun berkuasa, menyerahkan
jabatan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde Baru
dan awal Era Reformasi.
D. KEJATUHAN ORDE BARU
4. Pelajaran dari Kejatuhan Orde Baru
Kejatuhan Orde Baru mengajarkan pentingnya
kebebasan pers dan partisipasi publik, peran
aktif mahasiswa dan generasi muda, bahaya
sentralisasi kekuasaan, kemandirian ekonomi
yang kuat, serta transisi kekuasaan secara
damai. Semua ini menjadi pelajaran penting
untuk membangun sistem demokratis, adil,
transparan, dan inklusif agar kesalahan masa
lalu tidak terulang.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan
Orde Baru di bawah Soeharto pada awalnya mampu menghadirkan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui berbagai program pembangunan, seperti Trilogi
Pembangunan, PELITA, serta pencapaian swasembada pangan. Namun, keberhasilan tersebut
dibangun di atas fondasi yang rapuh, yaitu sentralisasi kekuasaan, kontrol ketat terhadap
politik dan pers, serta ketergantungan besar pada utang luar negeri dan investasi asing.
Ketimpangan sosial, praktik KKN yang merajalela, serta
lemahnya demokrasi membuat rezim ini kehilangan legitimasi.
Krisis moneter 1997 menjadi titik balik yang mempercepat
runtuhnya Orde Baru, ditandai dengan demonstrasi
mahasiswa, Tragedi Trisakti, kerusuhan Mei 1998, hingga
akhirnya Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Dari peristiwa ini,
bangsa Indonesia belajar bahwa pembangunan tanpa
demokrasi, pemerataan, dan tata kelola yang bersih hanya
akan menciptakan krisis di kemudian hari.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
Kelompok 2 Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia Dosen Pengampu : Raden Ayu Ritawati, S.E.,M.H.I