Presentasi Makalah Hari Jadi Pidie '24.pdf

RiazulIqbal1 5 views 9 slides Oct 30, 2024
Slide 1
Slide 1 of 9
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9

About This Presentation

kenapa lahir kabupaten pidie


Slide Content

Makalah:




Pidie Dalam Lintasan Sejarah
Sosial Budaya dan Masyarakat







Oleh Nab Bahany As
Budayawan














Disampaikan pada Seminar Hari Jadi Pidie
tanggal 31 Juli 2024, di gedung Oproom kantor Bupati Pidie di Sigli.

Pidie Dalam Lintasan Sejarah
Sosial Budaya dan Masyarakat

Oleh Nab Bahany As

Pedir adalah nama sebuah kerajaan besar dari tiga kerajaan terkenal di Aceh
pada akhir-akhir abad ke 13 dan awal abad ke 14 M, yaitu kerajaan Samudra Pasai di
Aceh Utara, kerajaan Pedir di Pidie dan Kerajaan Lamuri di Aceh Besar. Dalam
perkembangan kemudian nama wilayah “kerajaan Pedir yang membentang dari
Laweueng hingga kuala Ulim (sekarang masuk dalam Pidie Jaya) dikenal sebagai
wilayah Pidie. Dalam banyak catatan sejarah, terutama catatan dari pengembara Cina
menyebutkan nama “Pedir” yang dalam dialek Cina disebut “Poli” malah sudah
muncul jauh sebelum tersebutnya nama kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara dan
kerajaan Lamuri di Aceh Besar. Ini mengindikasikan bahwa Pedir jauh lebih tua
keberadaannya dibandingkan Samudra Pasai dan Lamuri.
Hal itu juga terungkap dalam Seminar awal Hari Jadi Pidie yang
diselenggarakan pada Pedir Raya Festival Kabupaten Pidie, tanggal 14 Agustus 2014
di Sigli. Dari empat narasumber yang mempresentasikan makalahnya dalam seminar
itu sepakat bahwa informasi keberadaan kerajaan Pedir telah muncul sejak abad ke 5
Masehi. Namun yang menjadi pertanyaan dalam seminar itu adalah di mana pusat
awal kerajaan Pedir sebagai lokasi sebuah kerajaan tertua di Aceh? Hasil seminar itu
merekomendasikan bahwa untuk menentukan pusat kerajaan Pedir tempo dulu dan
untuk menetukan kapan Hari Jadi Pidie yang sebenarnya perlu ditelusuri kembali
sumber-sumber sejarahnya, baik melalui situs-situs peninggalan sejarah yang ada di
Pidie, maupun sumber-sumber tertulis dari naskah-naskah tua atau menuskrip-
manuskrip yang ada. Hal ini penting dilakukan untuk memperoleh data sejarah yang
objektif, akurat, dan menyakinkan dalam menentukan kapan Hari Jadi Pidie yang
sebenarnya, sehingga untuk penentuan sejarah Hari Jadi Pidie ini akan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah akademik berdasarkan hasil seminar ini.
Sebenarnya, untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil Seminar awal Hari Jadi
Pidie tanggal 14 Agustus 201—sepuluh tahun yang lalu, tentang penentuan Hari Jadi
Pidie dan penentuan tempat awal berdirinya kerajaan Pedir diperlukan sebuah
penelitian sejarah mendalam, dimana hasil penelitian ini setelah diuji dengan
berbagai sumber yang ditemukan, baik dalam bentuk primer maupun sikunder
dengan motodelogi ilmu sejarah yang berlaku. Maka dari penelitian itu seminar
tentang penentuan hari jadi Pidie hari ini hanya tinggal pengesahan saja. Dan seluruh
kesimpulan yang dihasilkan pada seminar ini akan lebih kuat dan legal secara
pertanggungjawaban akademik, tak akan ada lagi dakwa-dakwi di kemudian hari.
Apalagi dalam rentang waktu 10 tahun—terhitung dari hasil seminar pertama
tantang Hari Jadi Pidie, 14 Agustus 2014, yang kemudian hasil rekomendasi seminar
tersebut dikuatkan oleh sebuah seminar terbatas yang dilaksanakan oleh Bappeda
Pidie tahun 2017, dan dilanjutkan oleh dua kali Forum Group Diskusi (FGD) khusus
dalam mengkaji sejarah Hari Jadi Pidie yang dilaksanakan pada Juni dan Juli 2024

belum lama ini di Sigli, maka dalam hamat saya, dari seluruh kegiatan kajian itu yang
kemudian bermuara pada kesepakatan bahwa untuk menentukan Hari Jadi Pidie ini
dapat diarahkan pada kesimpulan bahwa Hari Jadi Pidie didasarkan pada sejak
berdirinya kerajaan Islam Pedir yang dipimpin oleh seorang Sultan yang sudah
beragama Islam.
Saya kira kesimpulan itu sebuah metoda sejarah yang paling mudah dan tidak
menyalahi pertanggung jawaban sejarah itu sendiri. Seperti halnya penetapan hari
jadi kota Banda Aceh yang diputuskan pada seminar tahun 1988 di Banda Aceh. Yang
penetapan tersebut didasarkan hitungan awal berdirinya kerajaan Islam di Aceh
Besar pada 1 Ramadhan 601 H, atau bertepatan 22 April 1205 Masehi, dengan Sultan
Pertamanya adalah Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235). Pada saat ditetapkan
tahun 1988, kota Banda Aceh saat itu telah berusia 783 tahun. Sekarang 2024, usia
kota Banda Aceh sudah 819 tahun. Kenyataannya, sampai hari ini setelah 36 tahun
berlalu hasil seminar penetapan Hari Jadi Kota Banda Aceh, hingga sekarang tidak
ada ahli sejarah yang membantah atau menggugatnya.
Demikian halnya keberanian penetapan Hari Jadi Pidie yang akan ditetapkan
oleh hasil seminar ini. Saya pikir sudah cukup kuat alasan mengapa Hari Jadi Pidie ini
disepakati pada awal berdirinya kerajaan Islam Pedir dengan Sultan pertamana yang
sudah beragama Islam. Persoalan tanggal dan tahun dalam menentukan Hari Jadi
Pidie ini, boleh saja dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tanggal hari-hari besar
Islam dalam hitungan tahun Hijriah, yang kemudian dapat dikonfersikan tahun
Masehi. Misalnya, dapat diambil dalam tradisi Islam ada hari-hari dan tanggal
tertentu yang dianggap paling baik untuk dijadikan momen bagi pelantikan seorang
Sultan yang akan menjadi peminpin rakyat di negeri Pedir pada masa itu.

II

Sebagaimana telah dikemukakan di awal, bahwa informasi paling tua
tentang keberadaan kerajaan Pedir adalah berdasarkan cacatan seorang pengembara
Tiongkok bernama Fa Hien pada masa Dinasti Liang abad 5 M. Dalam
pengembaraannya Fa Hien pernah singgah di Aceh tahun 413 M. Dalam catatannya
Hien menyebutkan saat ia melawat sebuah pulau bagian Utara, salah satu negeri
yang disinggahinya adalah Poli yang diperitah oleh raja beragama Budha (Amirul
Hadi: 2010). Poli yang dimaksut Fa Hien setelah mendapatkan telaahan dari para
sejarawan ternyata yang dimaksut negeri Poli oleh Hien adalah negeri Pedir.
Informasi adanya kerajaan Pedir juga diungkapkan oleh seorang
pengembara Eropa Marco Polo yang catatan pengembaraannya disunting kembali
Anthony Reid (2010). Dalam singgahannya di Pedir tahun 1260 M, Marco Polo
mencatat: “Pedir adalah sebuah kerajaan terpisah yang berdiri sendiri dan memiliki
seorang raja dengan mengunakan bahasanya sendiri. Masyarakatnya masih
menyembah berhala, dan saya menyaksikan suatu kebiasaan mereka yang sangat
buruk”.

Yang dimaksud kebiasaan sangat buruk terhadap kondisi masyarakat Pedir
oleh Marko Polo kala itu, adalah masyarakatnya masih karnibalis. Kondisi
karnibalisme masyarakat saat itu juga ditemukan Marco Polo saat ia singgah di
Ferlek (Peureulak) sebelummelanjutkan pelayarannya ke Pedir. Jadi bila kita
berpedoman pada berita Marco Polo yang singgah di Pedir pada pertengahan abad
13 kondisi masyarakatnya masih sangat primitif dan karnibalis.
Tentu kita boleh saya meragukan apa yang diceritakan Marco Polo tentang
keberadaan masyarakat Pedir yang masih karnibalis ketika itu (1260-an M). Alasan
keraguan tersebut karena bila kita merujuk pada tiori masuk dan berkembangnya
Islam di Aceh dan Nusantara pada abad pertama Hijriah atau abad 7 Masehi, sudah
tentu di Aceh sudah bertumbuhan komunitas-komunitas Islam, meskipun mereka
belum mengorganisir diri dalam sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja
atau Sultan. Dengan alasan ini sangat memungkinkan bila kita menolak apa yang
dicatat oleh pengembara berkebangsaan Fenesia Marco Polo yang datang ke Pedir
pada pertengahan abad 13 ini, sungguh tidak mungkin masyarakat yang menganut
Islam masih mempraktekkan karnibalisme.
Apa lagi bila dihubungkan tahun wafatnya Sultan Milik As-Salih 1297 M.
sebagai pendiri kerajaan Islam Samudra Pasai, dan terbentuknya kerajaan Aceh (di
Aceh Besar) tahun 1205 dengan Sultan pertamanya Meurah Johan Syah. Ini
mengartikan bahwa dari awal abad 13 di Aceh sudah berdiri kerajaan-kerajaan yang
dipimpin oleh raja atau Sultan beragama Islam. Malah ketika pengembara Muslim
Ibnu Batuttah saat mengunjungi kerajaan Islam Samudra Pasai tahun 1345 M. (85
tahun setalah Marco Polo datang ke Aceh—termasuk Pedir), Samudra Pasai yang
saat itu sudah dipimpin oleh Sultan Mahmud Malik Az-Zahir Ahmad (1326-1345 M).
Batuttah menceritakan kemajuan Samudra Pasai yang sudah luar biasa. Baik
perdagangannya, kealiman Sultannya, dan komoditas-komoditas ekspor hasil
alamnya yang bermutu tinggi (Anthony Reid: 2010).
Memang dari banyaknya pelayar-pelayar asing yang melitasi selat Malaka,
mereka telah memberikan perahtian khusus tentang keberadaan kerajaan-kerajaan
yang meraka dapatkan di bagian ujung barat Sumatera. Dan Aceh salah satu wilayah
yang menarik bagi pelawat-pelawat asing dengan telah munculnya kerajaan-kerajaan
dengan penduduknya yang telah beragama Islam. Sehingga dalam abad ke 14 M.
Laksamana Cheng Ho dalam setiap ekspedisi pelayaran penegembaraannya dari Cina
ke India dan Eropa, Cheng Ho selalu singgah di empat kerajaan besar yang sudah
Islam di perairan Aceh.
Empat kerajaan tersebut sebagaimana dicatat oleh Ma Huan—seorang
sekretaris Laksamana Cheng Ho—yaitu kerajaan Aru, Samudra Pasai, Pedir, dan
kerajaan Lamuri Aceh Besar (Kong Yuanzhi: 2005). Dalam catatannya, Ma Huan
menyebut nama kerajaan Pedir dengan nama “Lidi” . Di kerajaan ini (Pedir) terdapat
lebih kurang 3.000 kepala keluarga, dan diperintah oleh seorang raja. Bahasa yang
digunakan sama dengan bahasa yang dipakai di Samudra Pasai.
Oleh karenanya, kedatangan Tome Pires (1465-1540 M) di Sumatera pada
awal abad 16 dia pastikan semua kerajaan di Sumatera penduduknya telah beragama

Islam, terutama disepanjang pesisir Seelat Malaka telah banyak kerajaan Islam, salah
satunya adalah kerajaan Pedir. Pires menyatakan dalam buku terkenalnya “Suma
Oriental” (1515) sebagaimana dikutip Amirul Hadi (2010) Pedir merupakan sebuah
kerajaan dengan hasil alam yang melimpah, dan menjadi pusat perdagangan yang
sangat ramai. Komoditas andalannyan saat itu adalah lada, sutra, kapur barus, dan
emas.
Apa yang dilihat Pires tentang kemajuan perdagangan kerajaan Pedir pada
awal 16 juga dipertegas dengan apa yang dilihat oleh pengembara Itali Ludivoco
Varthema pada abad yang sama. Saat Verthama singgah di kerajaan Pedir abad 16, ia
melihat kasibukan bandar kerajaan Pedir mendapat antrian 18 sampai 20 kapal
bermuatan lada dengan tujuan Cina diberangkatkan dari kerajaan ini. Informasi
pengembara asal Italia ini makin menguatkan apa yang dikatakan H.M. Zainuddin
(2011) dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” yang menyebutkan bahwa
perkebunan lada terbesar di Pedir dengan kualitas yang sangat baik adalah di
sepanjag perbukitan Paru hingga ke wilayah pedalamannya.
Argumen yang sama tentang kualitas lada kerajaan Pedir juga didukung
oleh sejarawan Muhammad Said (2007) dalam “Aceh Sepanjang Abad”. Malah dalam
karya paling momental tentang sejarah Aceh ini, Muhammad Said menjelaskan
panjang lebar tentang awal penemuan kerajaan Pedir dari abad ke 5 M dengan
mengitip sejumlah sumber-sumber klasik berdasarkan catatan-catatan pelawat
Tiongkok yang singgah di pulau Sumatera dan Aceh. Bahkan menurut penulis “Aceh
Sepanjang Abad” ini Sultan Pedir Ma’ruf Syah yang bergelar Syir Duli pernah
menaklukkan Aceh Besar tahun 1497 M. Setelah Raja Pedir menguasai Aceh Basar
lalu mengangkat dua orang wakilnya di Aceh, satu wakilnya di Aceh Besar, wakil
satunya lagi ditempatkan di Daya.
Penguasaan Pedir terhadap Aceh Besar tentu saja jauh sebelum pada
akhirnya kerajaan Pedir dipersatukan dalam kerajaan besar Aceh Datussalam oleh
Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M). Seperti halnya Samudra Pasai, Linge di
Aceh Tengah, dan kerajaan Daya di pantai Barat. Semua kerajaan-kerajaan tersebut
dipersatukan Ali Mughayat Syah dalam kerajaan Aceh Darussalam. Namun demikian,
semua kerajaan itu diberi hak Otonom sendiri (vederasi) dalam mengatur
pemerintahannya termasuk keraajaan Pedir, kerajaan ini hanya diwajibkan
membayar upeti pada kerajaan Aceh Darussalam.
Dari barbagai informasi yang telah dikemukakan baik dari sumber-sumber
asing maupun lokal makin memberikan keterangan bahwa awal mula berdirinya
kerajaan Islam di Pedir adalah menjelang abad 14 M. Sebagaimana dicatat M. Junus
Djamil (2009) bahwa pada pertengahan abad 14 M. kerajaan Sama Indra Pedir
(Pidie) yang bergama Hindu/Budha di daerah Syahir Poli Pidie berubah menjadi
kerajaan Islam, disebabkan Pedir mendapat serangan oleh Sultan Mansur Syah
(1345-1408 M) dari kerajaan Aceh (Aceh Basar).
Akan tetapi, perkembangan agama Islam di Syahir Poli (Pidie) baru merata
kesegenap pelosok masa Sultan Ala Addin Johan Syah (1408-1465 M) memimpin
kerajaan Aceh, yang menikis habis unsuh agama Hindu/Budha dan menertipkan

masyarakat menurut ajaran agama Islam. Dengan demikian, bila Hari Jadi Pidie
didasarkan pada permulaan berdirinya kerjaan Pedir dengan Sultan pertamanya
sudah beragama Islam, atau pada saat perlihan kerajaan Sama Indra Pedir yang
beragama Hindu/Budha menjadi kerajaan Pedir yang beragama Islam, saya pikir
untuk lebih memudahkan tinggal mencocokkan saja dengan siapa nama Sultan Pedir
pertama saat peralihan kerajaan Sama Indra menjadi kerajaan Pedir yang beragama
Islam.
Menurut Junus Djamil, dari 16 Sultan Pedir yang memimpin kerajaan Pedir
setelah Islam, Maharaja Sulaiman Nur Putra Sultan Husin Syah adalah Sultan
pertama kerajaan Pedir yang sudah Islam. Akan tetapi, Muhammad Said lebih
cenderung Sultan pertama kerajaan Pedir yang sudah Islam adalah Maharaja Malik
Ma’ruf Syah putra dari Maharaja Sulaiman Nur yang bergelar Syir Duli (Syahir Duli),
Sultan ini mangkat tahun 1511 M, makamnya di pemakaman Teungku di Kandang di
Keulibeut, Pidie, bersamaan dengan makam ayahnya Maharaja Sulaiman Nur.

III

Behubung kait bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Pidie,
sering mendapatkan pertanyaan mengapa Pidie tidak disebut “Aceh Pidie”
sebagaimana halnya daerah-daerah (Kabupaten/Kota) lainnya di Aceh. Apa latar
historisnya hingga membuat Pidie seakan-akan sebagai sebuah wilayah terasing
tersendiri karena tidak menyandang nama sebutan Aceh Pidie. Pertanyaan
sesederhana itu ternyata mudah untuk memberikan sebuah jawaban dalam
menjelaskannya.
Secara historis antropologis, sebenarnya masyarakat Pidie layak
digolongkan dalam sebuah etnis tersendiri di Aceh, seperti etnis-etnis lainnya yang
ada di Aceh. Dimana etnis-etnis tersebut secara adat dan budaya mereka memiliki
kekhasan tersendiri antara etnis yang satu dengan etnis lainnya di Aceh. Demikian
halnya masyarakat Pidie, secara adat dan budaya masyarakat Pidie juga memiliki
bentuk sosial budayanya tersendiri, yang bahkan sistem nilai budaya masyarakat
Pidie dalam banyak hal kadang termasuk unik dan menarik untuk dipahami secara
sosiologi dan antropologi masyarakatnya.
Namun, untuk menjadikan masyarakat Pidie sebagai sebuah etnis
tersendiri di Aceh, masih belum memenuhi persyaratan sebagaimana etnis-etnis
lainnya di Aceh. Salah satu persyaratan paling utama adalah masyarakat Pidie tidak
memiliki bahasanya tersendiri, seperti etnis Gayo, Kluet (Aneuk Jamee), Haloban,
Devayan, Alas, Pak-Pak (di Singkil), Tamiang Hulu, dan etnis-etnis lainnya yang
meiliki bahasa tersindiri sebagai sebuah etnis yang ada di Aceh. Meskipun sebagian
dari etnis-etnis tersebut umumnya menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan ke-Aceh-an dalam berkomunikasi sehari-hari.
Disisi adat dan budaya orang Pidie secara historis dapat dijelaskan lebih
banyak dipengaruhi unsur India (Keling). Pengaruh itu dapat dilihat dari
makanannya, dandanan pakaiannya, termasuk menghias diri bagi perempuan yang

dulunya kaum perempuan Pidek memiliki kekhasan tersendiri sampai pada bentuk
perhiasan sanggailnya. Sebagaimana dilukiskan dalam sebuah pantun Aceh berbunyi:

Seunanggoi ureueng baroh meukurusong bongong
Seunanggoi ureueng tunong meuiku guda
Senanggoi ureueng Pidie meujeurabat cukeh (sedikit miring)
Seunanggoi ureueng Aceh meukupah Cina

Uangkapan pantun tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat Pidie
terutama kaum perempuannya memang memiliki ciri khas budaya tersendiri dalam
berpakaian, yang usur budaya tersebut erat kaitannya dengan pengaruh budaya
Hindustan. Penjiwaan budaya Hindustan ini bagi orang Pidie juga dapat dilihat pada
pengaruh film India, yang diputar di bioskop-bioskop atau di PHR-PHR (Panggung
Hiburan Rakyat) pada era-era 1970-1980-an yang ada di Pidie.
Karena itu, tidak mengherankan kalau sebuah gedung bioskop atau PHR di
Pidie dulu memutar film India kadang harus dibagi durasi pemutarannya dua kali
putaran dalam satu malam (orang Aceh menyebut dua kali cho). Apa lagi di tempat
gedung bioskop atau PHR itu berada di Pidie masih banyak komunitas-komunitas
yang disebut Gampong Keng. Seperti di Meureudu, Simpang Lhee Sigli, dan daerah-
derah lain di Pidie. Ini menunjukan bagiaimana orang Pidie masih dipengaruhi oleh
budaya Hindustan.
Pengaruh itu juga tercermin dalam bentuk makanannya, seperti nasi berjani,
kuah kari, dan martabak khas Pidie yang rasanya berbeda dengan martabak-
martabal di luar racikan orang Pidie. Sama halnya dengan kuah kari atau nasi berjani
racikan orang Pidie tentu jauh berbeda rasa dengan nasi berjani—kalau ada di
daerah-daerah lainnya di Aceh.
Selain itu, juga banyak peneliti yang memberikan perhatiannya pada
masyarakat Pidie terhadap jiwa dagang dengan sitem budayanya yang agak unik.
Dan keunikan budaya dagang yang dimiliki masyarakat Pidie juga terungkap dalam
sebuah buku yang ditulis Hasan Saad (2003), di bawah judul: “Bersama Induk
Semang, Kearifan Tradisional dan Semangat Kewirausahaan Pedagang Pidie, Aceh” .
Hasan Saat putra kelahiran Lamlo Pidie yang pernah menjabat Presiden Directot PT.
Arun LNG 2002 ini, dalam buku tersebut menceritan panjang lebar bagaimana
budaya orang Pidie sebagai suatu kearifan lokal dalam menumbuhkan jiwa dagang
dan semangat kewiraan masyarakat Pidie, yang umumnya berangkat dari bawah
hingga menjadi wira usaha yang sukses.
“Induk Semang” yang dimaksud Hasan Saad dalam budaya dagang orang Pidie
dapat diartikan semangat “berakit-rakit ke hulu bersenang-senang ke tepian, bersakit-
sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Dalam praktek budaya dagang orang Pidie
yang ditemukan di lapangan memang tak terbantahkan dari apa yang disebuatkan
Saad dalam bukunya itu.
Awalnya, orang Pidie yang berkerja di sebuah usaha orang lain terutama
sesama Pidie, orang tersebut rela bekerja dengan posisi yang paling rendah. Namun

secara perlahan Induk Semangnya (toke tempat ia bekerja) kemudian
mempercayainya secara berlahan-lahan pula. Dalam proses itu ada penilaian
kejujuran, keuletan, dan kedispinan dalam mengembangkan usaha Induk
Semangnya. Hingga pada akhirnya seluruh manajemen usaha dan administrasi
keuangannya seluruhnya diserahkan toke yang punya usaha pada seorang pekerja
ini.
Pada tingkat selanjutnya, dengan ilmu dan pengalaman yang sudah ada,
sipekerja tersebut ingin membuka usaha sendiri. Ketika hal itu disampaikan pada
tokenya, sang toke atau Induk Semang mendukung sepenuhnya terhadap keinginan
siperkerja ini untuk membuka usaha burunya secara mandiri. Bahkan Induk
Semangnya tak hanya sekedar mendukung, tapi mensport modal awalnya bagi
keinginan sipekerja tersebut untuk membuka usaha barunya. Saya tidak tahu,
apakah budaya dagang orang Pidie sekarang masih dalam kearifan lokal itu, atau
sudah berubah seiring berubahnya budaya bisnis hari ini yang sudah sangat
kapitalistik.**

Daftar Bacaan


Anthony Raid, Sejarah Sumatera Tempo Dulu dari Marco Polo Sampai Tan Malaka,
Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.

H.M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, Lembaga Studi Kebudayaan dan
Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Aceh, Banda Aceh, 2011.

Harun Keuchik Leumiek, Kemilau Warisan Budaya Aceh, Toko Mas dan Souvenir H.
Harun Keuchik Leumiek, Banda Aceh, 2016.

Hasan Saad, Bersama Induk Semang : Kearifan Tradisional dan Semangat
Kewirausahaan Pedagang Pidie Aceh, Penerbit Relief Press, Yogyakarta,
2003.

Kong Yuanzhi, Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Pustaka Popule
Obor, Jakarta, 2005.

Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Harian Waspada, Medan, 2007

Nab Bahany As, Jejak Kerajaan Pedir Sebagai Kerajaan Tertua di Aceh, Makalah
disampaikan pada Seminar Sejarah Hari Jadi Pidie, tanggal 14 Agustus
2014, di Sigli.

William Marsdem, Sejarah Sumatra, Komunitas Bambu, Depok Jakarta, Cet. II, 2013.

Zakaria Ahmad, Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1673, Penerbit Monora, Medan.
Tags