PSDKU_T3_Kritisme (1) FIlsafat dan Etika Komunikasi

HandzalahRidwan 1 views 9 slides Oct 15, 2025
Slide 1
Slide 1 of 9
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9

About This Presentation

about immanuel kant


Slide Content

Mazhab Kritisisme:
Fondasi Filsafat
untuk Komunikasi
Kritis di Era Digital
Gardian Izzan Pancakusuma (013)
M Handzalah Ridwan (027)
Fasha Islami Aulia (028)
Reviana Puspita Sari (030)

Latar
Belakang
Aliran kritisisme datang dari perdebatan panjang antara rasionalisme dan
empirisme, keduanya dianggap memiliki kelebihan dan kelemahan dalam
menjelaskan sumber pengetahuan manusia. Rasionalisme menekankan akal
sebagai dasar utama pengetahuan, sedangkan empirisme menekankan
pengalaman indrawi. Perselisihan antara keduanya mendorong Kant untuk
menawarkan jalan tengah melalui kritisisme (Rizma, 2024).
Dengan munculnya mazhab kritisisme, ilmu sosial menjadi sangat penting
karena ia memungkinkan untuk memberikan pemahaman tentang kebenaran
dan menegakkan kritik atas praktik sosial yang menindas. Dalam kajian
komunikasi, pendekatan kritis komunikasi yang berakar pada kritisisme
memungkinkan kita mendekonstruksi ideologi dominan yang tersebar melalui
media, iklan, propaganda, dan diskusi politik (Baharuddin, 2025).

Landasan Teori
Mazhab Kritisisme berasal dari kata kritika, turunan
dari kata kerja Yunani krinein, yang berarti memeriksa
dengan teliti, menguji,dan membedakan. Secara
filosofis, kritisisme adalah aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya menggunakan kemampuan
akal budi untuk menilai, menguji, dan mengevaluasi
pengetahuan. Dalam konteks filsafat, kritisisme
merujuk pada upaya untuk secara kritis menguji
kemampuan rasio manusia dalam mengenali realitas
dan memperoleh pengetahuan yang sahih (Nisrama,
2020)Asumsi dan Dasar Pemikiran
Pengetahuan lahir dari sintesis rasionalisme dan empirisme →
gabungan akal (apriori) & pengalaman (aposteriori).
Kant memperkenalkan putusan sintesis apriori, yaitu
pengetahuan yang universal sekaligus terkait pengalaman
empiris.
Akal budi bersifat aktif, dilengkapi kategori apriori (ruang,
waktu, kausalitas) untuk mengorganisir pengalaman.
Pengetahuan manusia terbatas pada fenomena (dunia tampak),
sedangkan noumena (realitas pada dirinya sendiri) tidak dapat
dijangkau.
Pemikiran ini menjadi dasar filsafat modern dan juga meluas ke
ranah etika (postulat kebebasan, keabadian jiwa, dan
Tuhan).pengetahuan.

Tokoh
Immanuel Kant (1724–1804) → Filsuf Jerman yang memadukan
rasionalisme & empirisme dalam transendental idealisme.
Dalam Critique of Pure Reason, ia menjelaskan bahwa pengetahuan
lahir dari sintesis antara pengalaman empiris dan kategori apriori dalam
akal budi.
Kant membedakan fenomena (realitas tampak yang bisa dikenali
manusia) dan noumena (realitas sejati yang tak dapat dijangkau).
Ia juga memperkenalkan imperatif kategoris, prinsip moral universal
yang menekankan kewajiban etis berlaku untuk semua orang.
Pemikiran Kant menjadi fondasi filsafat modern dan tetap relevan,
khususnya dalam membangun kesadaran kritis di era komunikasi
digital.

01 02 03
Pembatasan akal
pada ranah
fenomena
(tampak)
Kategori-kategori
apriori yang
metafisis
Kritik terhadap
imperatif kategoris
Kritik Terhadap Mazhab Kritisisme

Pengaruh terhadap Studi Komunikasi
Mazhab kritisisme memberi dasar filosofis penting bagi ilmu komunikasi. Kant menegaskan
bahwa pengetahuan manusia selalu dipengaruhi kerangka kognitif, sehingga komunikasi
dipahami sebagai konstruksi, bukan sekadar penyampaian informasi.
Pemikiran ini melahirkan paradigma kritis komunikasi yang menyoroti relasi kuasa dalam
bahasa, media, dan wacana publik. Komunikasi tidak hanya soal teknis penyampaian pesan,
melainkan juga bagaimana pesan membentuk kesadaran dan menguntungkan pihak tertentu.
Dengan pendekatan kritisisme, studi komunikasi menekankan refleksi kritis: pesan harus dilihat
sebagai arena ideologis yang bisa menyembunyikan kepentingan politik, ekonomi, maupun
sosial.
Aplikasi dalam Fenomena Kontemporer
Era digital: algoritma, filter bubble, dan echo chamber membatasi akses informasi.
Pesan media tidak netral, framing berita & iklan membentuk cara pikir audiens.
Media jadi instrumen dominasi, misalnya kampanye politik digital.
Hoaks & disinformasi menuntut kesadaran kritis masyarakat.

Kesimpulan
Kritisisme sebagai jalan tengah → Kant memadukan rasionalisme dan empirisme melalui
sintesis apriori. Manusia dipandang sebagai subjek aktif yang mengorganisir pengalaman,
bukan penerima pasif realitas.
Perkembangan pemikiran → Fichte menekankan kesadaran “Aku”, Hegel mengembangkan
dialektika sejarah. Keduanya memperluas kritisisme ke ranah moral, politik, dan sosial.
Kritik terhadap kritisisme → Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche mengajukan kritik
internal, sementara positivis dan postmodern menilai pendekatan ini spekulatif dan euro-
sentris.
Relevansi dalam komunikasi → Paradigma kritis melihat komunikasi tidak netral, melainkan
sarat ideologi dan relasi kuasa. Di era digital, hal ini tampak dalam hoaks, framing, dan
dominasi media.

Daftar PustakaAl-Habibi, M. L. J. (2023). Signifikasi Makna Kritisisme (Transendental) dalam Filsafat Imanuel
Kant: Studi Kasus Filsafat Modern. Gunung Djati Conference Series, 24, 705–717.
Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental idealism. Yale University Press.
Anbarsooz, M., & Kaviani Tabriz, S. (2022). Nietzsche’s Criticism of Kant’s Categorical
Imperative: An Inquiry. Journal of Philosophical Theological Research, 24(4), 127–145.
Baharuddin, B., Zulkarnain, I., Mailin, M., & Adam, S. M. (2025). Social Criticism In
Communication: A Critical Theory Perspective. International Journal of Islamic Education,
Research and Multiculturalism (IJIERM), 7(2), 650–665.
Breazeale, D. (2013). Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s early
philosophy. OUP Oxford.
Bruno, G. A. (2023). From being to acting: Kant and Fichte on intellectual intuition. British
Journal for the History of Philosophy, 31(4), 762–783.

TERIMA KASIH