Ragam Metode Penelitian Hukum-Ragam Metode Penelitian Hukum

RAGAM METODE PENELITIAN HUKUM

Sheyla Nichlatus Sovia
Abdul Rouf Hasbullah
Andi Ardiyan Mustakim
Setiawan
Mochammad Agus Rachmatulloh
Pandi Rais
Moch Choirul Rizal
Fatimatuz Zahro’
Rizki Dermawan
Muhammad Fajar Sidiq Widodo
Rezki Suci Qamaria
Hutrin Kamil

RAGAM METODE PENELITIAN HUKUM

Penyusun
Sheyla Nichlatus Sovia, Abdul Rouf Hasbullah, Andi Ardiyan
Mustakim, Setiawan, Mochammad Agus Rachmatulloh, Pandi
Rais, Moch Choirul Rizal, Fatimatuz Zahro’, Rizki Dermawan,
Muhammad Fajar Sidiq Widodo, Rezki Suci Qamaria, dan
Hutrin Kamil

Penyunting
Moch Choirul Rizal

Pembaca Akhir
Sheyla Nichlatus Sovia, Mochammad Agus Rachmatulloh ,
Fatimatuz Zahro’, Muhammad Fajar Sidiq Widodo, dan Rizki
Dermawan

Penata Letak
Lembaga Studi Hukum Pidana

Desain Sampul
Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Fakultas Syariah IAIN Kediri
(Gambar pada sampul diunduh dari https://www.freepik.com/free-photo/court-hammer-books-
judgment-law-concept_8760916.htm#query=law&position=0&from_view=search dan diolah
seperlunya)

Terbit pertama kali dalam bahasa Indonesia,
di Kediri, Maret 2022,
vii + 191 halaman, 15 x 23 cm,
ISBN: 978-623-95000-4-7.

Diterbitkan oleh:
Lembaga Studi Hukum Pidana
Bekerja sama dengan:
Excellent 12: Solidaritas untuk Penelitian Hukum
Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Fakultas Syariah IAIN Kediri

iii

KATA SAMBUTAN

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa dipanjatkan
kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan,
dengan harapan semoga kita selalu diberi kesehatan dan
kelancaran dalam beraktivitas sehari-hari. Salawat dan salam
selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Apresiasi kepada para dosen muda pada Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri yang
tergabung dalam “Excellent 12: Solidaritas untuk Penelitian
Hukum” telah menyelenggarakan “Focus Group Discussion
Metode Penelitian Hukum” dan menghasilkan luaran berupa
buku yang berjudul “Ragam Metode Penelitian Hukum”. Tidak
lupa juga kepada Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia
(PUSKUMHAM) Fakultas Syariah IAIN Kediri dan Lembaga
Studi Hukum Pidana (LSHP) yang menfasilitasi proses diskusi
dan publikasi. Besar harapan kami, agar budaya seperti ini
dapat selalu dilakukan dan dikembangkan dalam semua
bentuk kegiatan.
Setelah membaca isi dari buku “Ragam Metode
Penelitian Hukum” ini, mulai dari konsep dasar penelitian dan
penelitian hukum, penelitian hukum normatif dan empiris,
serta bagian akhir yang memuat contoh penelitian yang
menggunakan masing-masing jenis penelitian, kami
memandang buku ini telah dapat memberikan gambaran
yang cukup tentang metode penelitian hukum. Mengingat
ilmu hukum merupakan ilmu tersendiri (sui generis),
sehingga juga memiliki metodenya tersendiri.
Semoga buku ini dapat membantu dan bermanfaat
bagi seluruh sivitas akademika Fakultas Syariah IAIN Kediri
pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Di

iv

samping itu, semoga dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan keilmuan di bidang penelitian hukum.

Kediri, Maret 2022

Dr. Khamim, M.Ag.
(Dekan Fakultas Syariah IAIN Kediri)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT
atas terselesaikannya buku berjudul “Ragam Metode
Penelitian Hukum” ini. Salawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Aamiin.
Buku ini merupakan hasil pendalaman atas catatan
diskusi dalam acara “Focus Group Discussion: Metode
Penelitian Hukum”, 2 Februari 2022. Acara tersebut diinisiasi
oleh para dosen muda pada Fakultas Syariah IAIN Kediri yang
tergabung dalam “Excellent 12: Solidaritas untuk Penelitian
Hukum”. Untuk mendapatkan luaran yang mendalam, Pusat
Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Fakultas Syariah IAIN
Kediri dan Lembaga Studi Hukum Pidana dilibatkan dalam
proses diskusi dan publikasi.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat memberikan
penguatan secara internal dalam penggunaan metode
penelitian hukum. Di samping itu, buku ini dimaksudkan
untuk menambah referensi tentang metode penelitian hukum
sekaligus memberikan rekomendasi kepada pemangku
kebijakan dalam menyusun buku pedoman penulisan karya
tulis ilmiah yang sesuai dengan karakteristik keilmuan
hukum.
Akhirnya, para penyusun memohon maaf apabila ada
kesalahan atau kekhilafan pada publikasi kali ini. Untuk itu,
kritik dan saran penyusun tunggu untuk perbaikan -
perbaikan.

Kediri, Maret 2022

Tim Penyusun

vi

vii

DAFTAR ISI

Sampul Dalam...................................................................................................... i
Katalog ..................................................................................................................... ii
Kata Sambutan .................................................................................................... iii
Kata Pengantar ................................................................................................... v
Daftar Isi ................................................................................................................. vii
Bagian I : Konsep Dasar Penelitian................................................... 1
Bagian II : Konsep Dasar Penelitian Hukum ................................. 9
Bagian III : Penelitian Hukum Normatif ........................................... 19
Bagian IV : Penelitian Hukum Empiris .............................................. 45
Bagian V : Perjanjian Asuransi Pertanian pada
Program Ketahanan Pangan oleh
Pemerintah ............................................................................... 55
Bagian VI : Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap
Tindak Pidana Pencantuman Klausula
Baku .............................................................................................. 125
Tentang Penerbit ............................................................................................... 191

viii

1

BAGIAN I
KONSEP DASAR PENELITIAN

Sheyla Nichlatus Sovia
(1),
Abdul Rouf Hasbullah
(2), Andi Ardiyan Mustakim
(3)
(1)(2)(3)Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail of Correspondence Author:
(1)[email protected]

Salah satu fitrah mendasar yang melekat pada manusia
adalah rasa ingin tahu (curiosity). Itulah mengapa manusia
dianggap sebagai makhluk yang selalu ingin tahu (man is
curious animal). Fitrah yang demikian merupakan
konsekuensi logis bahwa manusia merupakan makhluk
ciptaan Tuhan yang istimewa yang dianugerahi akal untuk
berpikir.
Dengan akal tersebut di atas, manusia akan mencari
tahu tentang apa saja yang belum dan tidak diketahuinya.
Salah satu aktivitas yang dapat memenuhi hasrat ingin tahu
manusia adalah penelitian. Aktivitas yang dimaksud
merupakan sebagai suatu cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar (pengetahuan ilmiah).
Lantas, apa yang dimaksud dengan penelitian?
1. Pengertian Penelitian
Kata “penelitian” merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris “research” yang terdiri dari 2 (dua) kata: “re” berarti
kembali dan “to search” berarti mencari. Beberapa ahli

2

mengartikan research sebagai riset. Secara singkat, research
dapat dipahami sebagai suatu upaya pencarian kembali.
1

Dikutip dari Longman Dictionary of Contemporary
English, disebutkan “research is a serious study of a subject in
order to discover new fact or test new ideas.” Disebutkan pula,
“research is the activity of finding information about something
that you are interested in or need to know about.”
2
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari penelitian adalah
penyelidikan suatu masalah secara bersistem, kritis, dan
ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian,
mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran
yang lebih baik.
3

Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, penelitian adalah kegiatan yang
dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk memperoleh data
dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang
fenomena alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan
penarikan kesimpulan ilmiah.
Selain beberapa pengertian yang telah disebutkan di
atas, masih banyak pengertian penelitian dari para ahli, namun
hampir semua menyatakan bahwa penelitian adalah mencari
sesuatu yang baru dari yang telah ada. Sesuatu yang dicari
berupa fakta-fakta, yang kegunaannya dianalisis demi
menemukan suatu pendapat, pola, dan keputusan-keputusan.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa penelitian adalah
suatu proses atau kegiatan mencari data dalam rangka
menjawab masalah penelitian.

1
Sandu Siyoto and M Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian
(Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015), 4. Dalam sebagian teks
berbahasa Inggris, penelitian disebut juga dengan investigation serta ada
pula yang menyebutnya sebagai inquiry. Lihat, Suwartono, Dasar-Dasar
Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014), 2.
2
Suwartono, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian, 2–3.
3
Andrew Fernando Pakpahan, Metodologi Penelitian Ilmiah
(Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021), 14.

3

2. Jenis-Jenis Penelitian
Meskipun penggolongan jenis dan bentuk sebuah
penelitian didasarkan pada klasifikasi pedoman yang
dijadikan acuan dalam mengklasifikasikan penelitian tersebut,
namun secara umum jenis-jenis penelitian dapat digolongkan
sebagai berikut:
4

2.1. Dari Sudut Sifatnya
Pertama, penelitian yang bersifat eksploratif
(penjajakan atau penjelajahan). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mempertajam pengetahuan tentang suatu gejala
tertentu atau untuk mendapatkan ide-ide baru tentang suatu
gejala tertentu. Umumnya, penelitian ini dilakukan terhadap
pengetahuan yang masih baru yang belum memiliki banyak
informasi tentang masalah yang diteliti atau bahkan belum ada
sama sekali.
Kedua, penelitian yang bersifat deskriptif. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara tepat sifat-
sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antargejala
dalam masyarakat. Terkadang penelitian ini bertolak dari
hipotesis, dapat membentuk teori-teori baru atau
memperkuat teori yang sudah ada, serta dapat menggunakan
data kualitatif dan kuantitatif.
Ketiga, penelitian yang bersifat eksplanatif
(menerangkan). Tujuannya untuk menguji hipotesis-hipotesis
tentang adanya tidaknya hubungan sebab akibat antara
berbagai variabel yang diteliti. Penelitian ini baru dapat
dilakukan apabila informasi mengenai masalah yang diteliti
sudah banyak.
2.2. Dari Sudut Bentuknya
Pertama, penelitian diagnostik yang dimaksudkan
untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab -sebab
terjadinya suatu gejala tertentu. Kedua, penelitian perspektif

4
Faisal Ananda Arfa and Watni Marpaung, Metodologi Penelitian
Hukum Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), 16–18.

4

yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai
apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah
tertentu. Ketiga, penelitian evaluatif yang dilakukan apabila
seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan.
2.3. Dari Sudut Tujuannya
Dari sudut tujuannya, penelitian itu dapat berupa
penelitian fact finding, penelitian problem identification, dan
penelitian problem solution. Pada dasarnya, ketiganya
merupakan penelitian berkelanjutan, di mana penelitian fact
finding merupakan langkah awal untuk menemukan fakta,
kemudian dilanjutkan dengan menemukan masalah (problem
finding), mengidentifikasi masalah (problem identification),
dan langkah terakhir adalah mengatasi masalah (problem
solution).
2.4. Dari Sudut Penerapannya
Pertama, penelitian dasar atau murni (basic research
atau pure research) atau penelitian untuk pengembangan ilmu
adalah pencarian terhadap hasil sesuatu karena ada perhatian
dan ketidaktahuan terhadap hasil suatu aktivitas. Tujuannya
adalah untuk menghasilkan teori baru, mengembangkan teori
yang sudah ada, atau menolak teori yang ada.
5
Hasil dari
penelitian ini berupa pengetahuan umum dan pengertian
tentang alam beserta hukum-hukumnya. Sebagai contoh:
penelitian ruang angkasa, penelitian gen, dan lain sebagainya.
6

Kedua, penelitian yang berfokus pada masalah. Ketiga,
penelitian terapan (aplicated research/practical research),
yaitu penelitian yang menggunakan pemikiran praktis untuk
menjawab masalah yang timbul pada waktu tertentu, agar
dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik dan efisien.
7

Penyelidikan ini dilakukan dengan hati-hati, sistematis, dan

5
Rianto Adi, Aspek Hukum Dalam Penelitian (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015), 17.
6
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), 8.
7
Ibid.

5

terus-menerus terhadap suatu masalah dengan tujuan untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna untuk diterapkan.
2.5. Dari Sudut Bidangnya
Dari sudut bidangnya, penelitian itu dapat meliputi
penelitian pendidikan, sejarah, bahasa, ilmu, teknik, biologi,
ekonomi, dan lain sebagainya.
2.6. Dari Sudut Tempatnya
Dari sudut tempatnya, penelitian itu dapat meliputi
penelitian laboratorium, perpustakaan, dan lain sebagainya.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian erat kaitannya dengan rumusan
masalah yang ditetapkan dan jawabannya terletak pada
kesimpulan penelitian. Ada beberapa sifat yang harus
dipenuhi agar tujuan penelitian dikatakan baik, antara lain,
spesifik, terbatas, dapat diukur, dan dapat diperiksa dengan
melihat hasil penelitian. Tujuan penelitian dapat bercabang,
sehingga mendorong penelitian lebih lanjut. Untuk itu,
diperlukan upaya pembatasan tujuan penelitian.
8

Pertama, eksplorasi. Tujuan ini dipilih dengan 3 (tiga)
maksud, yaitu: (1) memuaskan keingintahuan awal dan
nantinya ingin lebih memahami; (2) menguji kelayakan dalam
melakukan penelitian/studi yang lebih mendalam; dan (3)
mengembangkan metode yang akan dipakai dalam penelitian
yang lebih mendalam.
Kedua, deskripsi. Penelitian deskriptif berkaitan
dengan pengkajian fenomena secara lebih rinci atau
membedakannya dengan fenomena yang lain.
Ketiga, prediksi. Penelitian prediksi berupaya untuk
mengidentifikasi hubungan (keterikatan) yang
memungkinkan kita berspekulasi (menghitung) tentang
sesuatu hal (X) dengan mengetahui (berdasar) hal yang lain
(Y).

8
Siyoto and Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, 7.

6

Keempat, eksplanasi. Penelitian eksplanasi mengkaji
hubungan sebab-akibat di antara 2 (dua) fenomena atau lebih.
Penelitian ini digunakan untuk menentukan apakan sebuah
eksplanasi valid atau tidak, atau menentukan mana yang lebih
valid di antara 2 (dua) atau lebih eksplanasi yang saling
bersaing. Penelitian ini juga dapat bertujuan untuk
menjelaskan, misalnya, “Mengapa suatu daerah dengan tipe
tertentu memiliki tingkat kejahatan lebih tinggi dari daerah
dengan tipe lain?”.
Kelima, aksi. Penelitian aksi (tindakan) dapat
meneruskan salah satu tujuan di atas dengan penetapan
persyaratan untuk menemukan solusi dengan bertindak
sesuatu. Penelitian ini umumnya dilakukan dengan
eksperimen tindakan dan mengamati hasilnya, untuk
kemudian disusun pernyataan solusi.
4. Fungsi Penelitian
Secara umum, fungsi penelitian adalah untuk mencari
penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta
memberikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat
digunakan untuk pemecahan masalah. Pemecahan tersebut
dapat bersifat abstrak dan umum sebagaimana dalam
penelitian dasar (basic research) dan dapat bersifat spesifik
sebagaimana dalam penelitian terapan (applied research).
Penelitian dasar dilakukan guna memahami suatu
fenomena, mengungkap misteri dan rahasia alam, serta
membangun pondasi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, penelitian terapan merupakan suatu proses
penelitian yang berfungsi menghasilkan suatu hal yang konkrit
yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Penelitian
ini biasanya merupakan tindak lanjut dari penelitian dasar
yang bertujuan untuk menghasilan suatu produk,
menyelesaikan permasalahan atau mempermudah kehidupan
manusia.
9

9
Eko Prasetyo, Ternyata Penelitian Itu Mudah (Lumajang: Penerbit
EduNomi, 2015), 23–24.

7

Beberapa fungsi penelitian antara lain: (1)
mendeskripsikan dan memberikan data atau informasi; (2)
menerangkan data atau kondisi atau latar belakag terjadinya
suatu peristiwa atau fenomena; (3) menyusun teori baru; (4)
meramalkan, mengestimasi, memproyeksi beberapa kejadian
atau situasi di masa yang akan datang; dan (5) mengendalikan
peristiwa maupun gejala-gejala yang terjadi.
10

5. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian, kebiasaan bernalar selalu memberi
manfaat kepada pelakunya. Keseriusan dalam kegiatan
penelitian dapat membentuk individu yang cermat dan tidak
gegabah dalam setiap langkah hidupnya. Manfaat lain dari
penelitian adalah berkaitan dengan kemandirian. Individu
yang merasa senantiasa untuk melakukan penelitian akan
menjadi insan tangguh menghadapi permasalahan dalam
kehidupan ini. Ia juga mandiri dalam memuaskan rasa ingin
tahunya. Selain itu, penelitian juga memberikan manfaat bagi
pengembangan keilmuan (teoritis) maupun kehidupan sehari-
hari (praktis).
11

Daftar Pustaka
Adi, Rianto. Aspek Hukum Dalam Penelitian. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Arfa, Faisal Ananda, and Watni Marpaung. Metodologi
Penelitian Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media Group,
2016.
Pakpahan, Andrew Fernando. Metodologi Penelitian Ilmiah.
Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021.
Prasetyo, Eko. Ternyata Penelitian Itu Mudah. Lumajang:

10
Siyoto and Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, 9–10.
11
Suwartono, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian, 13–17.

8

Penerbit EduNomi, 2015.
Siyoto, Sandu, and M Ali Sodik. Dasar Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015.
Suwartono. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2014.

9

BAGIAN II
KONSEP DASAR PENELITIAN HUKUM

Setiawan
(1),
Mochammad Agus Rachmatulloh
(2), Pandi Rais
(3)
(1)(2)(3)Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail of Correspondence Author:
(2)[email protected]

1. Pengertian Penelitian Hukum
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisis dan konstruksi serta dilakukan
secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis
diartikan dengan menggunakan cara tertentu. Lalu, sistematis
berarti dilakukan berdasarkan perencanaan dan tahapan yang
jelas. Kemudian, konsisten berarti tidak ada hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Kegiatan yang
demikian akan memperoleh hasil berupa temuan ilmiah
berupa produk, proses, atau analisis ilmiah maupun
argumentasi baru.
Sementara itu, penelitian hukum mempunyai peran
yang sangat penting dalam kerangka pengembangan ilmu
hukum. Penelitian hukum juga merupakan salah satu faktor
yang membantu menyelesaikan masalah-masalah hukum yang
terjadi, baik secara teoritis maupun secara praktis, dalam
masyarakat.
Istilah penelitian hukum dalam bahasa Inggris dikenal
dengan legal research atau legal method. Abdulkadir
Muhammad menjelaskan, penelitian hukum adalah kegiatan
mengungkapkan kembali konsep hukum, fakta hukum, dan
sistem hukum yang telah pernah ada untuk dikembangkan,

10

diperbaiki, atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Penelitian hukum juga berupaya menggali,
mencari, dan menemukan nilai-nilai baru yang bermanfaat
bagi kesejahteraan manusia akibat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
1

Menurut F. Sugeng Susanto, penelitian hukum adalah
penelitian yang diterapkan atau diperlakukan khusus pada
hukum.
2
Lalu, Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani
mengemukakan, penelitian hukum adalah penelitian yang
mengkaji dan menganalisis tentang norma-norma hukum dan
bekerjanya hukum dalam masyarakat yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, pemeriksaan
secara mendalam, pemecahan masalah, serta mempunyai
tujuan tertentu.
3
Selanjutnya, Peter Mahmud Marzuki memberikan
pengertian terhadap penelitian hukum sebagai suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan
pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya. Penelitian hukum juga merupakan suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Proses-proses yang demikian sesuai
dengan karakter ilmu hukum.
4

Lebih lanjut, Peter Mahmud Marzuki menegaskan,
penelitian hukum (legal research) itu menemukan kebenaran
koherensi. Artinya, penelitian hukum itu akan menjawab
masalah hukum, misalnya, adakah aturan hukum sesuai

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2004), 37.
2
F Sugeng Susanto, Penelitian Hukum (Yogyakarta: CV Ganda,
2007), 29.
3
Salim HS and Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum
Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013), 7.
4
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi) (Jakarta:
Kencana, 2019), 35.

11

dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa
perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta
apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum
atau prinsip hukum”.
5

Di sisi yang lain, penelitian hukum menurut Morris L.
Cohen adalah “Is the process of finding the law that governs
activities in human society….. It involves locating both the rules
are enforced by the states and commentaries which explain or
analyse the rules.”
6
Cohen hanya melihat penelitian hukum
sebagai proses penemuan hukum dalam arti undang-undang
yang diterapkan oleh negara.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, penelitian
hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
teori-teori hukum, dan asas-asas hukum. Dalam proses
penemuan hukum, peneliti akan menghasilkan argumentasi
baru atau konsep baru. Bahkan, dapat menghasilkan teori baru
sebagai suatu preskripsi atau menyatakan yang seharusnya
dalam menjawab permasalahan yang sedang diteliti. Dengan
demikian, penelitian hukum adalah suatu proses untuk
mencari kebenaran ilmiah tentang hukum dengan
menggunakan metode (cara) ilmiah secara metodis,
sistematis, dan logis untuk menyelesaikan masalah hukum
atau menemukan kebenaran (jawaban) atas peristiwa hukum
yang terjadi, baik secara teoritis maupun praktis.
2. Karakteristik Penelitian Hukum
Penelitian hukum merupakan penelitian doctrinal,
karena keilmuan hukum bersifat preskriptif, bukan deskriptif
sebagaimana ilmu alamiah eksakta maupun ilmu sosial
humaniora lainnya. Makna preskriptif adalah bersifat
memberi petunjuk atau berdasarkan ketentuan resmi yang
berlaku. Preskripsi itu menyatakan apa yang diharuskan oleh
hukum. Berbeda dengan sifat deskriptif yang berisi

5
Ibid., 47.
6
Lihat, Ibid., 29.

12

pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas
dan terperinci sesuai fakta dan data yang ditemukan.
Menurut H.J. van Eikema Hommes, sebagaimana
dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, menyatakan, ilmu
pengetahuan memiliki metodenya sendiri.
7
Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak mungkin terjadi penyeragaman
sebuah metode untuk semua bidang ilmu. Ilmu hukum bukan
merupakan bagian dari ilmu sosial atau disiplin ilmu lainnya,
melainkan ilmu tersendiri. Dengan demikian, ilmu hukum
mempunyai metode penelitian sendiri.
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, asas hukum, prinsip hukum,
maupun doktrin dalam hukum untuk menjawab isu hukum
yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan karakter preskriptif ilmu
hukum. Tentu, berbeda dengan penelitian yang dilakukan
dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji
kebenaran ada tidaknya suatu fakta disebabkan oleh suatu
faktor tertentu. Demikian jelas bahwa penelitian hukum
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi hukum, teori
hukum, konsep hukum yang baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Penelitian hukum pada dasarnya bukanlah untuk
melakukan verifikasi atau menguji hipotesis sebagaimana
dalam penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah.
Konsekuensinya, dalam penelitian hukum tidak ada dikenal
adanya istilah data. Peter Mahmud Marzuki menegaskan, hasil
yang dicapai dalam penelitian hukum bukan menolak atau
menerima hipotesis, melainkan memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi. Dengan demikian, metode yang dipergunakan
dalam mengkaji ilmu hukum juga memiliki perbedaan dengan
metode dalam mengkaji ilmu selain ilmu hukum, seperti ilmu
sosial maupun ilmu alamiah.
8

7
Ibid., 19.
8
Ibid., 35.

13

Di sisi yang lain, walaupun merupakan ilmu yang
memiliki karakteristik tersendiri yang dikonsepkan sebagai
law in the book yang berkarakter normatif (doctrinal), namun
ilmu hukum juga merupakan law in action yang berkarakter
empiris (non-doctrinal). Dengan pemahaman seperti ini,
tipologi pengkajian ilmu hukum menjadi lebih luas. Merujuk
pada karakteristik yang demikian, penelitian hukum dapat
dilihat dalam 2 (dua) tipologi, yaitu penelitian hukum normatif
(penelitian doktrinal) dan penelitian hukum sosiologis-
empiris (nondoktrinal).
9
Di samping itu, ada juga yang
membedakannya dalam tipologi penelitian hukum normatif-
empiris (applied law research) sebagai tipe tersendiri selain
penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
10

Pembedaan tipologi penelitian hukum dalam makna
yang sama juga dikemukakan oleh Bagir Manan yang membagi
dalam 2 (dua) tipologi. Pertama, penelitian terhadap hukum
dalam arti abstrak (law in abstract sense) atau dapat disebut
juga dengan penelitian terhadap hukum dalam keadaan diam
(recht in rust). Kedua, penelitian terhadap hukum dalam arti
konkrit (law in concrete sense) atau dapat disebut juga dengan
penelitian terhadap hukum dalam arti bergerak (recht in
beweging).
11

Terkait pembedaan kedua tipologi penelitian di atas,
penelitian hukum dalam arti abstrak, antara lain, meliputi
penelitian terhadap semua asas dan kaidah hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis, kecuali putusan hakim atau
tindakan pemerintahan, penelitian terhadap teori (konsep
hukum), dan penelitian filsafat hukum. Sementara itu,
penelitian hukum dalam arti konkrit adalah pelaksanaan
hukum, hukum yang tampak dalam pelaksanaan (law in

9
Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 15. Lihat juga,
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, Dan Dinamika
Masalahnya (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
dan Hukum dan Masyarakat (HuMa), 2002), 148.
10
Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, 52.
11
Ahmad Zuhdi Muhdlor, “Perkembangan Metodologi Penelitian
Hukum,” Jurnal Hukum dan Peradilan 1, no. 2 (2012): 190.

14

action), atau hukum yang bergerak (recht in beweging).
Termasuk dalam penelitian ini adalah meneliti putusan hakim,
tindakan pemerintahan yang melaksanakan hukum, dasar
wewenang yang melekat seperti aturan kebijakan (freies
ermessen atau discretionaire), serta meneliti hukum yang
dilaksanakan masyarakat. Hukum dalam arti konkrit inilah
yang dimaksud dengan the living law atau hukum yang hidup.
12

Menurut Abdulkadir Muhammad, ditinjau dari sifat dan
tujuan, penelitian hukum juga dapat dibedakan ke dalam 3
(tiga) tipologi. Pertama, penelitian hukum eksploratori
(exploratory legal study), yaitu penelitian hukum yang bersifat
mendasar dan bertujuan untuk memperoleh keterangan,
informasi, dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.
Penelitian ini tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu
dan data yang dikumpulkan adalah data primer melalui teknik
observasi di lokasi penelitian dan wawancara. Kedua,
penelitian hukum deskriptif (descriptive legal study), yaitu
penelitian hukum yang bersifat pemaparan dan bertujuan
untuk memperoleh gambaran lengkap tentang keadaan
hukum yang berlaku di tempat tertentu, mengenai gejala
yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam masyarakat. Ketiga, penelitian hukum eksplanatori
(explanatory legal study), yaitu penelitian yang bersifat
penjelasan dan bertujuan untuk menguji suatu teori atau
hipotesis guna memperkuat atau menolak teori atau hipotesis
hasil penelitian yang ada.
13
Pilihan mengenai metode kajian ilmu hukum tidak
dapat dipisahkan dari paradigma peneliti mengenai hakikat
dari hukum. Hal ini tidak terlepas dari adanya keragaman
dalam konsep pemaknaan hukum atau hukum dikonsepkan ke
dalam beberapa ragam makna.
14
Dalam konteks demikian,
Satjipto Rahardjo membedakan, pertama, apabila seseorang
(pengkaji) hendak melihat hukum sebagai perwujudan dari

12
Ibid.
13
Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, 49.
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), 41.

15

nilai-nilai tertentu, maka pilihan tersebut akan membawa
pengkaji kepada metode idiologis yang bersifat idealis. Kedua,
apabila seseorang memilih untuk melihat hukum sebagai
suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka
perhatiannya akan terpusat pada hukum sebagai suatu
lembaga yang benar-benar otonom. Pemusatan perhatian
yang demikian akan membawa seseorang kepada penggunaan
metode normatif dalam menggarap hukum. Ketiga, apabila
seseorang memahami hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat (as a tool of social engineering), maka pilihannya
akan jatuh pada penggunaan metode sosiologis. Metode ini
mengaitkan hukum kepada usaha untuk mencapai tujuan-
tujuan serta memenuhi kebutuhan konkrit dalam
masyarakat.
15

Pengkajian hukum tidak dapat bersandar pada metode
kajian normatif yang menggunakan optik ilmu hukum yang
doktrinal, melainkan juga menggunakan metode kajian
nondoktrinal yang empiris. Sejatinya, hukum dikaji melalui
pendekatan studi sosio-legal, sehingga kajiannya tidak
berhenti pada teks-teks normatif saja. Lebih dari itu, hukum
dikaji dari konteksnya dalam realitas kehidupan masyarakat.
Mengkaji hukum hendaknya juga dilihat dari pelaksanaannya:
bagaimana hukum itu dilaksanakan dan bekerja dalam sebuah
masyarakat. Hukum dalam arti yang demikian merupakan
hukum yang hidup (the living law).
3. Tujuan Penelitian Hukum
Tidak jauh berbeda dengan penelitian lainnya, dalam
penelitian hukum pada umumnya mempunyai beberapa
tujuan. Pertama, mendapatkan pengetahuan tentang gejala
hukum, sehingga dapat merumuskan masalah dan
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai
suatu gejala hukum sekaligus dapat merumuskan hipotesis.
Kedua, untuk menggambarkan secara lengkap aspek-aspek
hukum dari suatu keadaan perilaku pribadi dan perilaku

15
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000), 4–6. Lihat juga, Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, 67.

16

kelompok tanpa didahului hipotesa, tetapi harus ada masalah.
Ketiga, mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa
hukum dan memperoleh data mengenai hubungan antara
suatu gejala hukum dengan gejala lain yang biasanya
berlandaskan hipotesis. Keempat, menguji hipotesis yang
berisikan hubungan-hubungan sebab-akibat yang harus
didasarkan pada hipotesis.
16

Selain tujuan umum di atas, dalam penelitian hukum
juga terdapat tujuan-tujuan tertentu yang dapat membedakan
dengan tujuan penelitian pada ilmu-ilmu lainnya. Pertama,
mendapatkan asas-asas hukum dari hukum positif tertulis
atau rasa susila warga masyarakat. Kedua, sistematika dari
perangkat kaidah-kaidah hukum yang terhimpun dalam suatu
kodifikasi atau peraturan perundang-undangan tertentu.
Ketiga, taraf sinkronisasi baik secara vertikal maupun
horizontal dari peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Keempat, perbandingan hukum yang terutama difokuskan
pada perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam macam
sistem hukum. Kelima, sejarah hukum yang menitikberatkan
pada perkembangan hukum. Keenam, identifikasi terhadap
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan (hukum adat).
Ketujuh, efektivitas terhadap hukum tertulis maupun hukum
kebiasaan yang tercatat.
17

Daftar Pustaka
HS, Salim, and Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori
Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi).
Jakarta: Kencana, 2019.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dan Penelitian Hukum.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.

16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI
Press, 1986), 49.
17
Ibid., 49–50.

17

Muhdlor, Ahmad Zuhdi. “Perkembangan Metodologi Penelitian
Hukum.” Jurnal Hukum dan Peradilan 1, no. 2 (2012):
189–206.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2000.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI
Press, 1986.
Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali
Press, 2009.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers, 2015.
Susanto, F Sugeng. Penelitian Hukum. Yogyakarta: CV Ganda,
2007.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode, Dan
Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Hukum dan
Masyarakat (HuMa), 2002.

18

19

BAGIAN III
METODE PENELITIAN
HUKUM NORMATIF

Moch Choirul Rizal
(1),
Fatimatuz Zahro’
(2), Rizki Dermawan
(3)
(1)(2)(3)Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail of Correspondence Author:
(1)[email protected]

1. Karakteristik Metode Penelitian Hukum Normatif
Objek ilmu hukum adalah hukum
1
, yang merupakan
salah satu norma sosial yang di dalamnya sarat akan nilai. Oleh
karena itu, ilmu hukum tidak dapat dikelompokkan ke dalam
bilangan ilmu alam maupun ilmu sosial yang hanya berkaitan
dengan kebenaran empiris.
2
Ilmu hukum mempunyai sifat

1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000), 3. Peter Mahmud Marzuki juga menegaskan hal demikian. Lihat,
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi) (Jakarta: Kencana,
2019), 18.
2
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 18–19.

20

yang normatif.
3
Dengan demikian, ilmu hukum merupakan
ilmu jenis tersendiri (sui generis).
4

Berbeda dengan ilmu sosial yang bersifat deskriptif,
ilmu hukum bersifat preskriptif. Hal ini mengingat objeknya
yang sarat akan nilai, yaitu hukum. Melekatnya sifat tersebut
menempatkan ilmu hukum sebagai ilmu untuk memberikan
anjuran-anjuran, bukan hanya mengemukakan apa adanya.
5
Di
samping itu, ilmu hukum juga merupakan ilmu terapan.
6

Keyakinan yang demikian membawa konsekuensi terhadap
metodologinya.
Dengan sifatnya sebagai ilmu normatif, ilmu hukum
bekerja untuk menemukan tolok pembanding yang akan dapat
dipakai untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat
dinilai sebagai suatu perbuatan yang dapat dibenarkan atau

3
Istilah normatif berangkat dari asumsi bahwa hukum itu otonom
yang keberlakuannya ditentukan oleh hukum itu sendiri, bukan oleh
faktor-faktor di luar hukum. Hukum dianggap sempurna dan final, sehingga
tinggal dilaksanakan. Mengingat hukum adalah pedoman tingkah laku yang
merupakan perintah dari yang berdaulat, maka bagi yang melanggar akan
dikenakan sanksi. Lihat, antara lain dalam, Ahmad Zuhdi Muhdlor,
“Perkembangan Metodologi Penelitian Hukum,” Jurnal Hukum dan
Peradilan 1, no. 2 (2012): 196. dan Zulfadli Barus, “Analisis Filosofis
Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian
Hukum Sosiologis,” Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013): 311.
Pemaknaan istilah normatif sesungguhnya lebih luas dari hanya menunjuk
kepada peraturan perundang-undangan yang tertulis, melainkan juga pada
hukum yang seharusnya seperti pada nilai-nilai dan asas-asas yang
terkandung dalam norma hukum. Lihat, Herlambang P. Wiratraman and
Widodo Dwi Putro, “Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner Dalam
Pendidikan Hukum Indonesia,” Mimbar Hukum 31, no. 3 (2019): 406.
4
Philipus M. Hadjon and Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017), 1.
5
Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:
Kencana, 2018), 9. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Baca selanjutnya,
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 213.
6
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 69. Sebagai ilmu
terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Baca selanjutnya,
Ibid., 213.

21

dipersalahkan. Ilmu ini berkenaan dengan kebenaran ipso jure,
yaitu kebenaran menurut keharusan suatu aturan atau ajaran
7
,
sehingga ia memberitahukan kepada kita apa yang seharusnya
dilakukan, bukan apa yang akan dilakukan
8
. Dalam
epistimologi, kebenaran yang dimaksud masuk dalam
perbincangan mengenai teori kebenaran koherensi, yaitu
kebenaran yang berpangkal pada apa yang dipercaya dalam
pikiran.
9

Lebih lanjut, ilmu (hukum) normatif termasuk dalam
bilangan ilmu a priori. Hal tersebut disebabkan tolok ajaran
yang mengharuskan (das sollen) hadir mendahului fakta (das
sein) yang hendak ditolok benar atau salahnya. Penolokan
tersebut dilakukan berdasarkan suatu prosedur penalaran
yang disebut deduksi.
10
Dalam hal ini, kebenaran tidak
ditentukan melalui kesesuaian antara proposisi dengan
kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru
dengan proposisi yang sudah diterima sebagai kebenaran.
Dengan demikian, hukum harus dapat diprediksikan, stabil,
dan menjamin kepastian.
11

7
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode (Malang:
Setara Press, 2013), 11.
8
Jimly Asshiddiqie and M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2018), 134.
9
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 22. Pada pembahasan
berikutnya, Peter Mahmud Marzuki menegaskan, penelitian hukum
dilakukan dalam rangka menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah
aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta
apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya
sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. Lihat, Ibid., 47. Jadi, benar atau
salah ditentukan oleh konsistensi antarproposisi. Dengan demikian,
sesuatu dianggap benar apabila konsisten; sesuatu dianggap salah apabila
tidak konsisten. Baca selengkapnya, Barus, “Analisis Filosofis Tentang Peta
Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Sosiologis,”
312–313.
10
Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, 11–12.
11
Pada praktiknya, fakta diandaikan sebagai premis minor,
sedangkan teori dan proposisi yang dianggap benar diandaikan sebagai
premis mayor. Lihat, Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma
Positivisme Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), 237. Mengingat

22

Mengingat ilmu hukum bersifat preskriptif, bukan
deskriptif, maka penelitian hukum (yang jelas bersifat
normatif) tidak dimulai dengan hipotesis, sehingga tidak
dikenal istilah data, analisis kualitatif, maupun analisis
kuantitatif. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum
(normatif) dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang
dihadapi. Bukan sekadar menerapkan aturan yang ada, kerja-
kerja dalam penelitian hukum (normatif) juga menciptakan
hukum untuk mengatasi masalah yang dihadapi yang berdasar
pada prinsip hukum (yang juga merupakan prinsip moral).
12

ilmu hukum termasuk dalam bilangan ilmu a priori dan kemudian
berpengaruh terhadap metodologinya, penelitian yang demikian disebut
telah mapan, karena mudah dikelola dan hasilnya lebih dapat diprediksi.
Lihat, Salim Ibrahim Ali, Zuryati Mohamed Yusoff, and Zainal Amin Ayub,
“Legal Research of Doctrinal and Non-Doctrinal,” International Journal of
Trend in Research and Development 4, no. 1 (2017): 493.
12
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 59–61. Maka
dibutuhkan kemampuan mengidentifikasi masalah hukum, melakukan
penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi, dan kemudian
memberikan pemecahan atas masalah tersebut. Lihat, Ibid., 60. Lihat juga,
Peter Mahmud Marzuki, “Pelacuran Akademisi Hukum,” in Sosok Guru Dan
Ilmuwan Yang Kritis Dan Konsisten: Kumpulan Tulisan Peringatan 70 Tahun
Profesor Soetandyo Wignjosoebroto (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologi (HuMa), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI), 2002), 178. Dalam perspektif metode penelitian sosial, penelitian
hukum (normatif) tergolong sebagai studi kepustakaan. Namun,
penggolongan tersebut tidak tepat. Pasalnya, para peneliti hukum
(normatif) tetap ada yang menggunakan teknik wawancara (yang
termasuk sebagai data primer dalam penelitian sosial, karena didapatkan
langsung dari sumbernya), meskipun wawancara dilakukan dalam rangka
mencari bahan hukum sekunder atau bahan nonhukum, bukan untuk
mencari data. Lihat, Rikardo Simarmata, “Penelitian Hukum: Dari
Monodisipliner Ke Interdisipliner,” Risalah Hukum 1 (2011): 27. Dalam
beberapa hal, penelitian hukum (normatif) dianggap mempunyai kekhasan
tersendiri (atypical), dibandingkan dengan disiplin ilmu lain yang
tampaknya menggunakan metode penelitian yang lebih diterima secara
umum dan tampaknya pula memiliki hasil yang lebih objektif. Lihat, Wendy
Schrama, “How to Carry Out Interdisciplinary Legal Research Some
Experiences with an Interdisciplinary Research Method,” Utrecht Law
Review 7, no. 1 (2011): 150.

23

Tujuan penelitian hukum (normatif) adalah
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya
dilakukan. Dengan kata lain, penelitian yang demikian tidak
dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran hipotesis.
Preskripsi yang dimaksud harus dapat diterapkan, mengingat
ilmu hukum merupakan ilmu terapan. Terlebih kemudian,
preskripsi yang dilahirkan dari kerja-kerja penelitian hukum
(normatif) harus dibingkai oleh moral. Artinya, preskripsi
yang diberikan harus koheren dengan gagasan dasar hukum
yang berpangkal dari moral.
13

Berkaitan dengan istilah “Penelitian Hukum Normatif”,
kiranya perlu menilik pendapat Peter Mahmud Marzuki:
14

“... istilah legal research atau bahasa Belanda
rechtsonderzoek selalu normatif. Sama hal dengan
istilah yuridis-normatif yang sebenarnya juga
tidak dikenal dalam penelitian hukum. Jika type
penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan,
cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah
penelitian hukum. Dengan pernyataan demikian

13
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 69–70. Soetandyo
Wignjosoebroto menuliskan, penelitian hukum, dalam konsepnya yang
klasik, pada dasarnya adalah suatu upaya pencarian jawaban atas
pertanyaan, “Apakah putusan hukum yang harus diambil untuk
menghukumi suatu perkara tertentu?”. Lihat, Wignjosoebroto, Hukum:
Konsep Dan Metode, 77. Konsekuensi sebagai ilmu tersendiri (sui generis),
penelitian hukum (normatif) harus berujung pada penerapan prinsip,
doktrin, dan norma hukum ke dalam peristiwa konkret agar dapat
menggambarkan konsekuensi-konsekuensi hukum. Lihat, Simarmata,
“Penelitian Hukum: Dari Monodisipliner Ke Interdisipliner,” 27. Chynoweth
menyebut, keabsahan temuan dalam penelitian hukum normatif atau
doktrinal menegaskan bahwa hukum mendikte bagaimana subjek hukum
harus berperilaku. Lihat, Muhammad Helmy Hakim, “Pergeseran Orientasi
Penelitian Hukum: Dari Doktrinal Ke Sosio-Legal,” SYARIAH: Jurnal Hukum
dan Pemikiran 16, no. 2 (2016): 108. Juga, inti dari ilmu hukum adalah
perilaku dari homo juridicus, sehingga ahli hukum akan melihat pertanyaan
mendahului perilaku dan bertanya, “Apa yang harus dilakukan orang
sebagai masalah hukum?”. Lihat, Frans L. Leeuw, “Can Legal Research
Benefit from Evaluation Studies?,” Utrecht Law Review 7, no. 1 (2011): 52–
53.
14
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 55–56.

24

sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat
normatif. ... .”
Di samping istilah “Penelitian Hukum Normatif”,
muncul juga istilah “Penelitian Hukum Doktrinal”. Menurut
Soetandyo Wignjosoebroto, penelitian hukum doktrinal
adalah penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan
dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang
pengkonsep dan/atau sang pengembangnya.
15
Cara kerja
penelitian ini tidak hanya melakukan penelusuran dan
berhenti pada ditemukannya norma-norma hukumnya saja,
melainkan berlanjut sampai ditemukannya ajaran-ajaran
dasarnya.
16
Di Indonesia, penelitian hukum doktrinal ini lazim
disebut penelitian hukum normatif sebagai “lawan” dari
penelitian hukum empiris atau penelitian hukum
nondoktrinal.
17

15
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, Dan
Dinamika Masalahnya (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) dan Hukum dan Masyarakat (HuMa), 2002), 147. Model
penelitian ini fokus (jika tidak ingin disebut eksklusif) pada seperangkat
prinsip mandiri dan internal yang dapat diakses melalui pembacaan
peraturan perundang-undngan dan putusan pengadilan dengan sedikit
atau tanpa referensi nonhukum. Lihat, Mike McConville and Wing Hong
Chui, “Introduction and Overview,” in Research Methods for Law, ed. Mike
McConville and Wing Hong Chui (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2017), 1.
16
Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, 77. Analisis
doktrinal melibatkan upaya untuk memahami keseimbangan terbaik
antara hak dengan kewajiban di bawah kerangka yang ditentukan oleh
hukum, sehingga analisis yang dibangun berkutat pada sekitar pertanyaan
“Apa yang seharusnya?”. Lihat, Tom R. Tyler, “Methodology in Legal
Research,” Utrecht Law Review 13, no. 3 (2017): 130. Walaupun cara kerja
dalam penelitian doktrinal juga membutuhkan pendekatan kognitif
internal yang berorientasi pada tujuan penelitian yang tidak hanya
melakukan penelusuran dan berhenti pada ditemukannya norma-norma
hukum, namun mau tidak mau tetap mengacu pada konsensus-konsensus
dalam hukum, bukan pada realitas eksternal yang nonhukum. Lihat, Ali,
Yusoff, and Ayub, “Legal Research of Doctrinal and Non-Doctrinal,” 493.
17
Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, Dan Dinamika
Masalahnya, 148. Namun, Peter Mahmud Marzuki membedakan 2 (dua)
istilah tersebut. Penelitian normatif berupa penelitian peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi (case law), kontrak, dan nilai-nilai

25

Mengingat sengitnya perdebatan
18
di antara penelitian
hukum normatif (penelitian hukum doktrinal) dengan
penelitian hukum empiris (penelitian hukum nondoktrinal),
Soetandyo Wignjosoebroto berpendapat, sebagaimana dikutip
oleh Abdurrahman, penelitian hukum doktrinal masih
dipandang penting untuk pembangunan, pembinaan, serta
pembaruan hukum nasional. Hal tersebut mengingat setiap
evaluasi terhadap hukum yang sedang berlaku bagaimanapun
juga harus didahului oleh pengetahuan mengenai asas dan
doktrin yang dapat dikembangkan daripadanya, dan di
dalamnya, maupun pengetahuan mengenai isi normatif setiap
kaidahnya.
19

2. Beberapa Pendekatan dalam Penelitian Hukum
Normatif
2.1. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.
20
Pendekatan ini tidak dapat dilepaskan dalam

hukum yang hidup dalam masyarakat, sedangkan penelitian doktrinal
adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, literatur hukum, pandangan-
pandangan para sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi tinggi, dan
kegiatan perbandingan hukum. Lihat, Marzuki, “Pelacuran Akademisi
Hukum,” 179.
18
Widodo Dwi Putro menyebutnya sebagai perselisihan
permanen. Padahal, pertikaian antara “Metodologi Penelitian Hukum
Normatif” dengan “Metodologi Penelitian Hukum Empiris” di Indonesia
lebih kepada persoalan suka atau tidak suka (almamater mana, siapa guru
besarnya, dan sebagainya), bukan pada pertikaian paradigma dan
persoalan epistimologi. Lihat, Putro, Kritik Terhadap Paradigma
Positivisme Hukum, 67.
19
Abdurrahman, “Peran Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, M.P.A.
Dalam Penelitian Hukum Dan Kajian Hukum Di Indonesia,” in Sosok Guru
Dan Ilmuwan Yang Kritis Dan Konsisten: Kumpulan Tulisan Peringatan 70
Tahun Profesor Soetandyo Wignjosoebroto (Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa), dan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI), 2002), 151–152.
20
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 133.

26

penelitian hukum untuk keperluan akademis pada level
dogmatika hukum maupun praktik hukum. Dengan
menggunakan pendekatan ini, peneliti perlu memahami
hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-
undangan.
21

Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan,
Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU No. 12 Tahun 2011) menentukan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang -
undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sementara itu, Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011
menegaskan:

21
Ibid., 136–137. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019, peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, produk hukum berupa
keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat final, konkrit, dan
individual (beschikking) tidak dapat digunakan dalam pendekatan
perundang-undangan (statute approach).

27

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Selanjutnya, mengenai asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan, ada 3 (tiga) asas penting yang harus
diperhatikan ketika menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Pertama, asas lex superior
derogat legi inferiori. Menurut asas ini, apabila terjadi
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang
secara hierarki lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka
peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih
rendah tersebut harus dikesampingkan.
22

Kedua, asas lex specialis derogat legi generalis. Asas ini
merujuk kepada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang
secara hierarki mempunyai kedudukan yang sama. Namun,
ruang lingkup materi muatannya tidak sama, yaitu yang satu
merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Menurut

22
Ibid., 139.

28

asas ini, peraturan perundang-undangan yang khusus
mengesampingkan yang umum.
23

Ketiga, asas lex posterior derogat legi priori. Artinya,
peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang lama. Asas ini berkaitan
dengan 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang
mempunyai hierarki dan materi muatan yang sama.
24

Dalam menggunakan pendekatan perundang -
undangan (statute approach), peneliti perlu juga menelaah
materi muatan, dasar ontologis (alasan adanya), dan ratio legis
dari suatu undang-undang atau regulasi. Dasar ontologis suatu
undang-undang, misalnya, dapat ditelaah melalui naskah
akademik yang menyertai rancangannya berikut juga risalah
pembahasannya.
25
Sementara itu, ratio legis berkenaan
dengan alasan mengapa ada salah satu ketentuan dari suatu
undang-undang atau regulasi.
26
Untuk memahami ratio legis
suatu ketentuan undang-undang, peneliti perlu memahami
ajaran interpretasi atau penafsiran dalam hukum, seperti
interpretasi gramatikal, teleologis, sistematis, dan historis.
27

2.2. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan
cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum
yang dihadapi. Kasus-kasus yang dimaksud ditelaah melalui
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde). Dalam menggunakan pendekatan ini,
peneliti mengkaji ratio decidendi atau pertimbangan hukum

23
Ibid.
24
Ibid., 141.
25
Ibid., 142–143.
26
Ibid., 145.
27
Baca selengkapnya, misalnya, dalam Anggit Satriyo Nugroho et
al., Modul Pendidikan Dan Pelatihan Kemahiran Hukum (Surabaya: Anggit,
Fatah, Priyono (A.F.P.) Law Firm, 2019), 61–71. dan Ach Khiarul Waro
Wardani, Hutrin Kamil, and Moch Choirul Rizal, Diktat Pengantar Ilmu
Hukum (Kediri: Fakultas Syariah IAIN Kediri, 2021), 59–65.

29

hakim untuk sampai kepada suatu putusan.
28
Ratio decindendi
inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu
yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif.
29

2.3. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan histori (historical approach) dilakukan
dengan menelaah latar belakang apa saja yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
Peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mempunyai
pandangan bahwa pengungkapan filosofis dan pola pikir
ketika sesuatu yang dipelajari itu dilahirkan memang
mempunyai relevansi dengan masa kini. Ambil contoh,
misalnya, lahirnya istilah “officium nobile” yang dikaitkan
dengan profesi advokat sebagaimana diatur di dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
30

Pendekatan ini dilakukan dalam rangka melacak
sejarah hukum dari waktu ke waktu. Peneliti akan terbantu
untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke
waktu. Selain itu, peneliti juga dapat memahami perubahan
dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum
tersebut.
31

2.4. Pendekatan Perbandingan (Comparative
Approach)
Pendekatan perbandingan (comparative approach)
dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu
negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain
mengenai hal yang sama. Bukan hanya undang-undang,

28
Peter Mahmud Marzuki menegaskan, pendekatan kasus dengan
studi kasus adalah 2 (dua) hal yang berbeda. Untuk yang tersebut pertama,
beberapa kasus (yang termuat dalam putusan pengadilan yang telah
berkekuatan tetap) ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum. Jadi,
bukan hanya 1 (satu) kasus saja. Sementara itu, untuk yang tersebut kedua
merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek
hukum. Lihat, Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 134.
29
Ibid., 158.
30
Ibid., 135.
31
Ibid., 166.

30

pendekatan ini juga memungkinkan bagi peneliti untuk
membandingkan putusan pengadilan antara suatu negara
dengan negara lain untuk kasus serupa.
32
Melalui pendekatan
ini, peneliti akan dapat menyingkap latar belakang terjadinya
ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari 2
(dua) negara atau lebih, sehingga memungkinkan untuk
dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan
peraturan perundang-undangan.
33

Apabila menggunakan pendekatan ini, maka peneliti
harus mengungkapkan persamaan dan perbedaan. Persamaan
di antara peraturan perundang-undangan beberapa negara
yang diperbandingkan mungkin saja terjadi, karena adanya
persamaan sistem hukum
34
yang dianut oleh negara-negara
tersebut, walaupun dari segi perkembangan ekonomi dan
politik mungkin berbeda. Perbandingan juga dapat dilakukan
di antara negara-negara dengan sistem hukum yang berbeda,
tetapi mempunyai tingkat perkembangan ekonomi atau politik
yang hampir sama. Di sisi yang lain, perbandingan hukum juga
dapat dilakukan tanpa melihat sistem hukum maupun tingkat
perkembangan ekonomi atau politik, melainkan melihat
substansinya yang merupakan kebutuhan secara universal,
misalnya, moneylaundering.
35

2.5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual (conceptual approach)
dilakukan dengan memulai beranjak dari pandangan -
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. Dengan menggunakan pendekatan ini, peneliti
akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum
yang relevan dengan isu yang dihadapi.
36
Dengan kata lain,

32
Ibid., 135.
33
Ibid., 173.
34
Pembacaan tentang sistem hukum dapat dibaca selengkapnya,
misalnya, dalam Wardani, Kamil, and Rizal, Diktat Pengantar Ilmu Hukum,
37–41.
35
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 176–177.
36
Ibid., 135–136.

31

peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal
tersebut mengingat memang belum ada atau tidak ada aturan
hukum untuk isu hukum yang dihadapi. Oleh karena itu,
peneliti harus membangun suatu konsep untuk dijadikan
acuan di dalam penelitiannya.
37

Dengan demikian, peneliti perlu merujuk pada prinsip-
prinsip hukum yang dapat ditemukan di dalam doktrin-
doktrin (pandangan-pandangan para ahli hukum). Meskipun
tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga ditemukan di
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun tetap
saja pijakan awal peneliti untuk membangun suatu konsep
tersebut berasal dari doktrin-doktrin.
38

3. Beberapa Sumber dalam Penelitian Hukum
Normatif
3.1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer itu bersifat otoritatif. Artinya,
memiliki otoritas
39
.
40
Merujuk pada maksud dari istilah
otoritatif, maka bahan hukum primer adalah semua aturan
hukum yang dibentuk secara resmi oleh suatu lembaga negara.
Demi tegaknya aturan hukum yang dimaksud, ada daya upaya
paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparatur
negara.
41

37
Ibid., 177.
38
Ibid., 178–180.
39
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otoritas mempunyai
banyak arti: (1) kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam
masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya;
(2) hak untuk bertindak; (3) kekuasaan; wewenang; atau (4) hak
melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah
orang lain. Lihat, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Otoritas,”
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), accessed January 27, 2022,
https://kbbi.web.id/otoritas.
40
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 181.
41
Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, 67.

32

Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan
putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap
42
. Yang tersebut terakhir merupakan konkretisasi dari
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, putusan
hakim sesungguhnya merupakan law in action.
43
Sifat
otoritatifnya didapat karena putusan hakim merupakan
produk dari kekuasaan yang berkompeten untuk melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding).
44

Peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan
bahan hukum primer berupa legislasi dan regulasi.
45
Menurut
Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah
dengan UU No. 15 Tahun 2019, peraturan perundang -
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, merujuk pada
pengertian peraturan perundang-undangan dan Pasal 7 ayat
(1) jo Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, produk hukum
berupa keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat
final, konkrit, dan individual (beschikking) bukan termasuk
sebagai bahan hukum primer, tetapi dapat menjadi objek yang
diteliti.
3.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan hukum sekunder adalah semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

42
Putusan-putusan hakim yang dimaksud dapat berasal dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta badan peradilan di
bawahnya dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
43
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 181–182.
44
Ibid., 194.
45
Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, 185. Dalam menggunakan
bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, peneliti
bukan saja melihat kepada bentuknya, melainkan juga menelaah materi
muatannya. Lihat, Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 187.

33

resmi. Publikasi yang dimaksud, di antaranya, buku-buku teks
tentang hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
46

Bahan hukum sekunder berguna untuk dirujuk
pertama-tama sebagai sumber guna meningkatkan mutu
interpretasi atas hukum positif yang berlaku. Di samping itu,
bahan hukum sekunder juga berguna untuk mengembangkan
hukum sebagai suatu sistem normatif yang komprehensif dan
tuntas, baik dalam maknanya yang formil maupun materiil.
47

Mengingat pendapat Soetandyo Wignjosoebroto di
atas, selaras dan telah tepat kiranya Peter Mahmud Marzuki
menganjurkan, sedapat mungkin peneliti merujuk terlebih
dulu kepada bahan hukum sekunder, baik dalam bentuk buku
maupun jurnal hukum, untuk mempersiapkan penelitiannya.
48

Hal tersebut mengingat perkembangan hukum yang terbaru
selalu dapat diikuti melalui buku maupun jurnal hukum.
Sementara itu, bahan hukum sekunder juga dapat
dijumpai dari wawancara, dialog, seminar, ceramah, dan
kuliah tentang hukum. Dengan syarat, proses-proses yang
dimaksud harus terdokumentasikan secara tertulis dan
dimungkinkan untuk dipublikasikan. Lalu, keterangan ahli
yang disampaikan di muka persidangan termasuk sebagai
bahan hukum sekunder. Meskipun disampaikan secara lisan,
keterangan tersebut selalu dicatat secara cermat dalam berita
acara persidangan oleh panitera pengganti.
49

3.3. Bahan Nonhukum
Bahan nonhukum dapat berupa buku-buku mengenai
studi-studi nonhukum maupun jurnal-jurnal nonhukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.
Bahan-bahan nonhukum tersebut dimaksudkan untuk

46
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 181.
47
Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, Dan Dinamika
Masalahnya, 155.
48
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 183.
49
Ibid., 206–208.

34

memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.
50
Menurut
Soetandyo Wignjosoebroto, disebut sebagai bahan nonhukum
mengingat bahan-bahan yang termuat di dalamnya tidaklah
berhakikat sebagai bahan hukum, baik dalam kualifikasinya
yang primer maupun sekunder.
51
Dapat disebut juga, bahan
nonhukum sebagai bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelas terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus dan ensiklopedia.
52

4. Langkah Kerja dalam Penelitian Hukum Normatif
4.1. Mengidentifikasi Fakta Hukum, Mengeliminasi Hal-
Hal yang Tidak Relevan, dan Menetapkan Isu
Hukum
Langkah pertama dalam penelitian hukum (normatif)
untuk keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum
dan mengeliminasi hal-hal yang tidak relevan. Pasalnya,
seringkali kasus yang dikemukakan oleh klien bercampur
antara fakta dan pendapat serta keinginan klien.
53
Sementara
itu, untuk keperluan akademis, peneliti harus dapat
memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang
terlibat di dalam penelitian. Dengan kata lain, peneliti harus
menjadi dirinya sendiri yang mempunyai sikap
disinterestedness terhadap isu atau masalah hukum yang
hendak dipecahkan.
54

Setelah dapat mengidentifikasi fakta hukum dan
mengeliminasi hal-hal yang tidak relevan, peneliti menetapkan

50
Ibid., 183–184.
51
Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, 70–71.
52
Amiruddin and Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian
Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 119.
53
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 214–225. Untuk
keperluan praktik hukum oleh advokat, misalnya, strategi yang dapat
dilakukan untuk memilah antara fakta hukum dengan nonhukum adalah
melakukan interview secara mendalam dengan klien. Di sisi yang lain,
advokat harus mempunyai kemampuan untuk memahami karakteristik
setiap perkara hukum. Baca selengkapnya, Moch Choirul Rizal, “Strategi
Penanganan Perkara: Pandangan Singkat Dan Refleksi Pengalaman Praktik
Hukum,” Opini Hukum dan Hak Asasi Manusia 1 (2021): 53–58.
54
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 225–237.

35

isu hukum. Isu hukum timbul karena adanya 2 (dua) proposisi
yang mempunyai hubungan, baik yang bersifat fungsional
55
,
kausalitas
56
, maupun yang satu menegaskan yang lain
57
. Salah
dalam mengidentifikasi isu hukum, akan berakibat salah
dalam mencari jawaban, dan selanjutnya salah pula dalam
melahirkan suatu argumentasi hukum yang dimaksudkan
untuk memecahkan isu hukum tersebut.
58

Dalam penelitian hukum (normatif) pada tataran
dogmatik hukum, isu hukum dapat ditetapkan apabila di
dalam masalah itu tersangkut ketentuan hukum yang relevan
dengan fakta yang dihadapi.
59
Lebih lanjut, isu hukum dalam
ruang lingkup dogmatik hukum dapat timbul dalam 3 (tiga)
kondisi. Pertama, para pihak yang beperkara atau yang terlibat
dalam perdebatan mengemukakan penafsiran yang berbeda
atau bahkan saling bertentangan dengan teks peraturan,
karena ketidakjelasan peraturan itu sendiri. Kedua, terjadi
kekosongan hukum. Ketiga, terdapat perbedaan penafsiran
atas fakta.
60

Dalam penelitian hukum (normatif) pada tataran teori
hukum, isu hukum yang ditetapkan adalah yang mengandung
konsep hukum.
61
Konsep-konsep hukum yang telah dikenal
luas oleh masyarakat, di antaranya, badan hukum, daluwarsa,
kekuasaan, kewenangan, kepailitan, hak kekayaan intelektual,
dan pertanggungjawaban pidana. Penelitian hukum (normatif)
pada tataran teori hukum yang dilakukan akan lebih
meningkatkan daya interpretasi sekaligus juga mampu

55
Isu hukum yang timbul karena hubungan fungsional memuat
proposisi yang pertama bersifat fungsional terhadap yang kedua. Lihat,
Ibid., 126.
56
Isu hukum yang timbul karena hubungan yang bersifat
kausalitas memuat proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang
lain. Lihat, Ibid., 123.
57
Isu hukum yang timbul karena hubungan diterangkan-
menerangkan memuat proposisi yang satu dipikirkan sebagai
menerangkan makna yang lain. Lihat, Ibid., 124.
58
Ibid., 95.
59
Ibid., 99.
60
Ibid., 103.
61
Ibid., 99–100.

36

menggali teori-teori yang ada di belakang ketentuan hukum
tersebut.
62

Dalam penelitian hukum (normatif) pada tataran
filosofis, isu hukum yang ditetapkan harus menyangkut asas-
asas hukum.
63
Untuk diketahui, asas-asas hukum memberikan
landasan secara garis besar mengenai ketentuan-ketentuan
yang perlu dituangkan di dalam aturan hukum. Di dalam
penerapan hukum, asas-asas hukum sangat membantu bagi
digunakannya penafsiran dan penemuan hukum maupun
analogi
64
.
65

4.2. Pengumpulan Bahan-Bahan Hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum berkaitan dengan
pendekatan yang digunakan. Pertama, apabila menggunakan
pendekatan perundang-undangan, maka peneliti
mengumpulkan peraturan perundang-undangan. Kedua,
apabila peneliti menggunakan pendekatan kasus, maka
peneliti mengumpulkan putusan-putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap. Ketiga, apabila menggunakan
pendekatan historis, maka peneliti mengumpulkan peraturan
perundang-undangan, putusan hakim, buku-buku hukum, dan
jurnal-jurnal hukum dari waktu ke waktu. Keempat, apabila
menggunakan pendekatan komparatif, maka peneliti
mengumpulkan peraturan perundang-undangan atau putusan
hakim negara lain. Kelima, apabila menggunakan pendekatan
konseptual, maka peneliti mengumpulkan buku-buku hukum
dan jurnal-jurnal hukum. Tentu, bahan yang dikumpulkan
tersebut harus berkaitan dengan isu hukum yang ditetapkan.
66

62
Ibid., 112.
63
Ibid., 100.
64
Dalam studi hukum pidana, analogi tidak boleh digunakan. Hal
ini mengingat konsekuensi logis adanya ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP
yang mengandung asas legalitas. Baca selengkapnya, Moch Choirul Rizal,
Buku Ajar Hukum Pidana (Kediri: Lembaga Studi Hukum Pidana, 2021), 73–
75.
65
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 119–120.
66
Baca selengkapnya, Ibid., 237–240.

37

4.3. Menelaah terhadap Isu Hukum yang Ditetapkan
Dalam kajian hukum yang mengkonsepkan hukum
sebagai norma atau aturan preskriptif dan kemudian akan
mendayagunakan norma atau preskripsi itu sebagai pangkalan
untuk menolok benar-salahnya putusan hukum, maka
prosedur via penalaran deduksi yang akan ditempuh.
Penalaran deduksi bermula dari statemen umum untuk tiba
pada suatu simpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu.
Konstruksi penalaran yang demikian dapat disebut dengan
silogisme. Penalaran yang dimaksud hanya dapat disusun
apabila terdiri dari kalimat-kalimat pernyataan yang dalam
logika disebut proposisi.
67

Alur silogisme deduktif terdiri dari 3 (tiga) tahapan.
Pertama, dasar hukumnya diproposisikan sebagai premis
mayor. Kedua, duduk perkaranya (ialah suatu peristiwa atau
perbuatan hukum yang akibat hukumnya sedang ditanyakan)
diproposisikan sebagai premis minor. Ketiga, jawabannya
(dalam putusan hakim adalah amar putusannya), yang
merupakan konsekuensi logis-yuridis dari yang tersebut
dalam premis minor (yang dalam istilah teknisnya disebut
akibat hukum) diproposisikan sebagai konklusi.
68

Penelaahan terhadap isu hukum yang ditetapkan tidak
dapat terlepas dari pendekatan apa yang digunakan. Dengan
kata lain, isu hukum yang ditetapkan apakah akan ditelaah
dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus,
pendekatan histori, pendekatan perbandingan, dan/atau
pendekatan konseptual.
4.4. Menarik Kesimpulan yang Menjawab Isu Hukum
Penalaran deduksi itu boleh juga disebut logika formal.
Artinya, kebenaran pada bagian kesimpulan atau konklusi
akan ditentukan semata-mata oleh kebenaran prosedural yang

67
Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, 90–91.
68
Ibid., 78. Baca juga, Kornelius Benuf and Muhamad Azhar,
“Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan
Hukum Kontemporer,” Jurnal Gema Keadilan 7, no. 1 (2020): 27.

38

secara formal ditempuh dalam penyusunan silogismenya.
69

Contoh untuk menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum
yang ditentukan dengan menggunakan p endekatan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Premis Mayor : Barangsiapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah (Pasal 362
KUHP).
Premis Minor : Si Fulan melakukan pencurian.
Konklusi : Si Fulan dipidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.
4.5. Memberikan Preskripsi
Langkah kerja yang paling esensial dalam penelitian
hukum (normatif) adalah memberikan preskripsi. Dalam
langkah kerja yang terakhir ini, peneliti memberikan
preskripsi mengenai apa yang seharusnya. Di samping itu,
preskripsi yang diberikan harus dapat diterapkan. Hal
tersebut mengingat ilmu hukum bersifat preskriptif dan
merupakan ilmu terapan.
70

5. Beberapa Jenis Penelitian Hukum Normatif
5.1. Penelitian Inventarisasi Hukum Positif
Inventarisasi hukum positif merupakan kegiatan
penelitian pendahuluan yang sangat mendasar. Sebelum
menemukan norma hukum in concreto, haruslah diketahui
lebih dulu hukum positif apa yang berlaku. Kegiatan

69
Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, 100.
70
Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 251.

39

menginventarisasi hukum positif adalah proses indentifikasi
yang kritis-analitis serta logis-sistematis.
71

Ada 3 (tiga) kegiatan pokok dalam kerja-kerja
penelitian jenis ini. Pertama, penetapan kriteria identifikasi
untuk mengadakan seleksi norma-norma mana yang harus
dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma mana
yang harus dianggap norma sosial yang bukan norma hukum.
Kedua, mengoleksi norma-norma yang telah diidentifikasi
sebagai norma hukum. Ketiga, melakukan pengorganisasian
norma-norma yang telah diidentifikasi ke dalam suatu sistem
yang komprehensif.
72

5.2. Penelitian Asas-Asas Hukum
Penelitian hukum ini merupakan suatu penelitian
hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau
doktrin hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap
kaidah-kaidah hukum yang hidup di dalam masyarakat.
73

Penelitian jenis ini dilakukan melalui 4 (empat) tahapan.
Pertama, memilih pasal-pasal yang berisikan kaidah-kaidah
hukum yang menjadi objek penelitian. Kedua, mengklasifikasi
pasal-pasal tersebut. Ketiga, menganalisis pasal-pasal tersebut
dengan menggunakan asas-asas hukum yang ada. Keempat,
mengkonstruksikan dengan ketentuan: mencakup semua
bahan hukum yang diteliti; konsisten; estetis; dan sederhana
dalam perumusannya.
74

5.3. Penelitian Hukum Klinis
Penelitian hukum jenis ini berusaha untuk menemukan
apakah hukumnya bagi suatu perkara in concreto. Dalam
penelitian ini, norma hukum in abstracto dipergunakan
sebagai premis mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan

71
Amiruddin and Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
120–121.
72
Ibid., 121.
73
Ishaq, Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis,
Serta Disertasi (Bandung: CV Alfabeta, 2017), 27–28.
74
Amiruddin and Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
123–125.

40

dalam perkara dipergunakan sebagai premis minor. Melalui
penalaran silogisme, maka akan diperoleh kesimpulan hukum
positif in concreto yang dicari. Mengingat cara kerja yang
demikian, penelitian ini tidak memiliki validitas yang berlaku
umum, namun hanya berlaku terhadap kasus-kasus tertentu
(kasuistik).
75

5.4. Penelitian Hukum yang Mengkaji Sistematika
Peraturan Perundang-undangan
Ada 4 (empat) prinsip yang harus diperhatikan dalam
melakukan jenis penelitian ini. Pertama, derogasi, yaitu
menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi. Kedua, nonkontradiksi, yaitu tidak boleh
menyatakan ada-tidaknya suatu kewajiban dikaitkan dengan
suatu situasi yang sama. Ketiga, subsumsi, yaitu adanya
hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan aturan
yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Keempat, eksklusi,
yaitu tiap sistem hukum diidentifikasikan oleh sejumlah
peraturan perundang-undangan.
76

Sementara itu, ada 4 (empat) kegiatan yang dilakukan
dalam jenis penelitian ini. Pertama, mengumpulkan peraturan
perundang-undangan yang menjadi fokus penelitian. Kedua,
mengklasifikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-
bagian yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
tersebut. Ketiga, menganalisis dengan menggunakan
pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, seperti
subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum,
hubungan hukum, dan objek hukum. Keempat, melakukan
konstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu ke
dalam kategori-kategori berdasarkan pengertian-pengertian
dasar dari sistem hukum tersebut.
77

75
Ibid., 125–126.
76
Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik
(Normatif),” Majalah Yuridika Fakultas Hukum Universitas Airlangga 11, no.
6 (1994): 6.
77
Amiruddin and Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 128.

41

5.5. Penelitian untuk Menelaah Sinkronisasi Peraturan
Perundang-undangan
Penelitian ini dapat dilakukan, baik secara vertikal
maupun horizontal. Untuk penelitian secara vertikal, peneliti
akan menelaah hierarki peraturan perundang-undangan
sesuai Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Oleh karena itu,
peneliti harus memahami adanya asas lex superior derogat legi
inferiori, lex specialis derogat legi generalis, dan lex posterior
derogat legi priori. Sementara itu, untuk penelitian secara
horizontal, peneliti menelaah sejauh mana peraturan
perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang itu
mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.
78

5.6. Penelitian Perbandingan Hukum
Jenis penelitian ini tidak dapat dipisahkan dengan
pendekatan perbandingan (comparative approach). Dengan
menggunakan pendekatan perbandingan, peneliti akan
membandingkan undang-undang atau putusan pengadilan
suatu negara dengan undang-undang atau putusan pengadilan
dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.
79

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan masing-masing sistem hukum yang diteliti.
80

5.7. Penelitian Sejarah Hukum
Jenis penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan
perkembangan dari bidang-bidang hukum yang diteliti.
Dengan melakukan jenis penelitian ini, peneliti akan dapat
mengungkapkan mengenai fakta hukum masa silam dalam
hubungannya dengan fakta hukum masa kini.
81
Jenis
penelitian ini tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan
historis (historical approach). Hal ini mengingat peneliti akan
menelaah latar belakang apa saja yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
Peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mempunyai

78
Lihat, Ibid., 128–129.
79
Lihat, Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 135.
80
Amiruddin and Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 130.
81
Ibid., 131.

42

pandangan bahwa pengungkapan filosofis dan pola pikir
ketika sesuatu yang dipelajari itu dilahirkan memang
mempunyai relevansi dengan masa kini.
82

Daftar Pustaka
Abdurrahman. “Peran Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, M.P.A.
Dalam Penelitian Hukum Dan Kajian Hukum Di
Indonesia.” In Sosok Guru Dan Ilmuwan Yang Kritis Dan
Konsisten: Kumpulan Tulisan Peringatan 70 Tahun
Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, 147–172. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologi (HuMa), dan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), 2002.
Ali, Salim Ibrahim, Zuryati Mohamed Yusoff, and Zainal Amin
Ayub. “Legal Research of Doctrinal and Non-Doctrinal.”
International Journal of Trend in Research and
Development 4, no. 1 (2017): 493–495.
Amiruddin, and Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian
Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, and M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum. Jakarta: Konstitusi Press, 2018.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
“Otoritas.” Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Accessed January 27, 2022. https://kbbi.web.id/otoritas.
Barus, Zulfadli. “Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual
Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum
Sosiologis.” Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013):
307–318.
Benuf, Kornelius, and Muhamad Azhar. “Metodologi Penelitian
Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan
Hukum Kontemporer.” Jurnal Gema Keadilan 7, no. 1

82
Lihat, Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), 135.

43

(2020): 20–33.
Hadjon, Philipus M. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik
(Normatif).” Majalah Yuridika Fakultas Hukum Universitas
Airlangga 11, no. 6 (1994).
Hadjon, Philipus M., and Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi
Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017.
Hakim, Muhammad Helmy. “Pergeseran Orientasi Penelitian
Hukum: Dari Doktrinal Ke Sosio-Legal.” SYARIAH: Jurnal
Hukum dan Pemikiran 16, no. 2 (2016): 105–114.
Ishaq. Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta
Disertasi. Bandung: CV Alfabeta, 2017.
Leeuw, Frans L. “Can Legal Research Benefit from Evaluation
Studies?” Utrecht Law Review 7, no. 1 (2011): 52–65.
Marzuki, Peter Mahmud. “Pelacuran Akademisi Hukum.” In Sosok
Guru Dan Ilmuwan Yang Kritis Dan Konsisten: Kumpulan
Tulisan Peringatan 70 Tahun Profesor Soetandyo
Wignjosoebroto, 173–207. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan untuk
Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi
(HuMa), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI), 2002.
———. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Kencana, 2019.
———. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2018.
McConville, Mike, and Wing Hong Chui. “Introduction and
Overview.” In Research Methods for Law, edited by Mike
McConville and Wing Hong Chui. Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2017.
Muhdlor, Ahmad Zuhdi. “Perkembangan Metodologi Penelitian
Hukum.” Jurnal Hukum dan Peradilan 1, no. 2 (2012):
189–206.
Nugroho, Anggit Satriyo, Abdul Fatah, Eko Priyono, Sugianto,
Istiqfar Ade Noordiansyah, Moch Choirul Rizal, Abdul
Roup, and Dwi Nurgianto. Modul Pendidikan Dan

44

Pelatihan Kemahiran Hukum. Surabaya: Anggit, Fatah,
Priyono (A.F.P.) Law Firm, 2019.
Putro, Widodo Dwi. Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000.
Rizal, Moch Choirul. Buku Ajar Hukum Pidana. Kediri: Lembaga
Studi Hukum Pidana, 2021.
———. “Strategi Penanganan Perkara: Pandangan Singkat Dan
Refleksi Pengalaman Praktik Hukum.” Opini Hukum dan
Hak Asasi Manusia 1 (2021): 53–58.
Schrama, Wendy. “How to Carry Out Interdisciplinary Legal
Research Some Experiences with an Interdisciplinary
Research Method.” Utrecht Law Review 7, no. 1 (2011):
147–162.
Simarmata, Rikardo. “Penelitian Hukum: Dari Monodisipliner Ke
Interdisipliner.” Risalah Hukum 1 (2011): 25–29.
Tyler, Tom R. “Methodology in Legal Research.” Utrecht Law
Review 13, no. 3 (2017): 130–141.
Wardani, Ach Khiarul Waro, Hutrin Kamil, and Moch Choirul
Rizal. Diktat Pengantar Ilmu Hukum. Kediri: Fakultas
Syariah IAIN Kediri, 2021.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Konsep Dan Metode. Malang:
Setara Press, 2013.
———. Hukum: Paradigma, Metode, Dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) dan Hukum dan Masyarakat (HuMa), 2002.
Wiratraman, Herlambang P., and Widodo Dwi Putro. “Tantangan
Metode Penelitian Interdisipliner Dalam Pendidikan
Hukum Indonesia.” Mimbar Hukum 31, no. 3 (2019): 402–
418.

45

BAGIAN IV
METODE PENELITIAN
HUKUM EMPIRIS

Muhammad Fajar Sidiq Widodo
(1),
Rezki Suci Qamaria
(2), Hutrin Kamil
(3)
(1)(2)(3)Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail of Correspondence Author:
(1)[email protected]

1. Pendahuluan
Salah satu tipe penelitian hukum yang populer dan
digunakan adalah penelitian hukum empiris. Metode ini masih
memunculkan perdebatan di antara kalangan akademisi
hukum. Perdebatan muncul sekitar tentang eksistensi dari
penelitian ini jika bersanding dengan penelitian hukum
normatif, kemudian juga pada pendekatan yang digunakan.
Menurut penulis, ilmu hukum tidak saja diteliti hanya
dari aspek normativitasnya (doktrinal) saja, tetapi hukum juga
dikaji tentang bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.
Oleh karena itu, perdebatan antara penelitian hukum normatif
dengan empiris tidak perlu diperdebatkan mana yang lebih
memiliki nilai kebenaran. Dengan demikian, kajian hukum
akan lebih luas dan lengkap.
Meskipun demikian, tetap harus diingat, walaupun
penelitian hukum empiris mengkaji berlakunya hukum di
masyarakat, tetapi penelitian ini wajib berangkat dari
fenomena hukum dan norma hukum. Dengan demikian, sangat

46

tidak dibenarkan fenomena yang dikaji murni persoalan
fenomena sosial semata.
1

Penelitian hukum empiris beranjak dari kesenjangan
antara das solen dengan das sein, yaitu kesenjangan antara
teori dan realita atau sebaliknya yang terjadi di lapangan.
Istilah “teori” merupakan kerangka intelektual yang disusun
untuk menangkap dan menjelaskan objek yang dikaji secara
seksama. Semula dari yang abstrak tanpa makna, kemudian
dengan teori bisa dilihat sebagai sesuatu yang lain. Sesuatu
yang memiliki wujud atau sesuatu yang memiliki makna
tertentu.
2

Soetandyo Wignjosoebroto, sebagaimana dikutip oleh
Bambang Sunggono menyatakan, aspek penelitian hukum
empiris juga disebut sebagai non-doctrinal research atau socio-
legal research. Penelitian hukum empiris ini memiliki
beberapa istilah lain, seperti penelitian hukum sosiologis,
penelitian yuridis-sosiologis, penelitian hukum lapangan.
Menurut para ahli, penelitian ini juga sering disebut sebagai
penelitian bekerjanya hukum (law in action) di masyarakat.
Hal ini berdasarkan pada doktrin para penganut ajaran realis
dari Amerika seperti Holmes, yaitu bahwa "law is not just been
logic but experience" atau dari Roscou Pound tentang "law as a
tool of social engineering" dan bukan seperti pandangan para
positivis bahwa hukum adalah “law as it is written in books"
yang melihat hukum hanya pada aturan sistem norma
perundang-undangan saja.
3

Tugas peneliti yang menggunakan jenis penelitian
empiris adalah mengkaji tentang "apa yang terjadi dibalik dari
yang tampak dari penerapan peraturan perundang-undangan"

1
Jonaedi Efendi and Johny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum:
Normatif Dan Empiris (Jakarta: Kencana, 2018), 149.
2
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010), 1.
3
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003).

47

(something behind the law). Di antaranya adalah sebagai
berikut:
- Meneliti tentang ketaatan masyarakat dalam
menggunakan helm atau tindakan masyarakat yang
melawan arus lalu lintas karena jarak tempuh yang lebih
singkat.
- Mengkaji mengapa masyarakat enggan membayar pajak
BPHTB jual beli tanah atau kenapa masyarakat enggan
mengurus sendiri pendaftaran tanahnya padahal prosedur
pendaftaran telah ada dan legal.
- Mengkaji fenomena masyarakat terkait dengan kebiasaan
atau adat istiadat yang hidup dalam suatu masyarakat yang
bisa dikaji dari hukum positif maupun hukum Islam.
Jika dibandingkan dengan penelitian hukum normatif,
maka penelitian normatif merupakan penelitian yang
didasarkan atas data sekunder. Oleh karena itu, penelitian
hukum empiris ini bertitik tolak dari data primer, yaitu data
yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber
pertama dengan melalui penelitian lapangan yang dilakukan
baik melalui pengamatan (observasi), wawancara, ataupun
penyebaran kuesioner.
Penelitian hukum empiris menggunakan metode
deskriptif-kualitatif. Metode ini merupakan prosedur
penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Pendekatan kualitatif ini tidak terlalu membutuhkan
data yang banyak dan bersifat monografis atau berwujud
kasus-kasus. Berbeda halnya dengan pendekatan kuantitatif
yang membutuhkan banyak data atau berjumlah besar,
sehingga dalam mengkualifikasi dalam kategori-kategori lebih
mudah.
2. Pengertian
Penelitian hukum empiris adalah suatu metode
penelitian hukum yang menggunakan fakta-fakta empiris yang
diambil dari perilaku manusia, baik perilaku verbal yang

48

didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang
dilakukan melalui pengamatan langsung. Perilaku yang
diamati perilaku yang mencerminkan adanya kesenjangan
antara das sollen dengan das sein atau sebaliknya.
Penelitian hukum empiris juga digunakan untuk
mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa
peninggalan fisik maupun arsip. Dapat dimaknai juga sebagai
kegiatan penelitian untuk pengungkapan perasaan
masyarakat terhadap kehendak negara untuk mengatur.
3. Objek Penelitian
Menurut Abdul Muktie Fadjar, terdapat 2 (dua) objek
dalam penelitian hukum empiris, yaitu sebagai berikut:
3.1. Penelitian Hukum Yuridis-Sosiologis
Penelitian yang mengkaji perilaku masyarakat yang
timbul akibat berinteraksi dengan norma hukum. Interaksi
tersebut merupakan bentuk reaksi ma syarakat atas
diterapkannya sebuah aturan. Misalnya, mengamati hukum
pertanahan terkait dengan pendaftaran. Peneliti dapat
memulainya dengan aturan normatifnya terlebih dahulu,
selanjutnya dapat mengamati perilaku masyarakat dalam
kegiatan pendaftaran. Ada yang berusaha menghindari pajak,
ada yang mengatakan prosedurnya berbelit, dan beranggapan
harus menggunakan orang “dalam”, sehingga masyarakat
enggan mendaftarkan tanahnya.
Penelitian ini berfungsi untuk melihat efektivitas
bekerjanya hukum di masyarakat sebagai bentuk interaksi
aturan atau norma ketika berlaku di masyarakat. Bentuk
pelaksanaan sebagai perilaku masyarakat ini sangat
dipengaruhi oleh faktor sosial yang ada dalam diri maupun
lingkungan masyarakat.
3.2. Penelitian Sosiologi tentang Hukum
Penelitian yang mengamati karakteristik sebuah
perilaku masyarakat dalam sebuah wilayah. Sebagai suatu
bentuk kehidupan sosial untuk selanjutnya dipaparkan dan
dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Tujuannya adalah untuk

49

menggambarkan secara utuh hubungan antara kepentingan
dan nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Kepentingan dan nilai tersebut merupakan cerminan
keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal ini
menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama
yang mewarnai kehidupan masyarakat tersebut. Misalnya,
tidak boleh menikah bagi pasangan yang rumahnya “Ngalor-
Ngulon”, jumlah weton ketemu 24, anak pertama dengan anak
ketiga, dan kebo balik kandang.
Dari fenomena tersebut kemudian dianalisis
berdasarkan kaidah hukum, baik itu dari segi hukum positif
maupun hukum Islam. Hal ini menjadi sangat penting artinya,
misalnya, bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri yang
berada di bawah naungan Kementerian Agama Republik
Indonesia sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri
(PTKIN), sehingga kajian mengenai hukum Islam harus
dimasukkan sebagai sebuah identitas.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian hukum empiris ini adalah
pendekatan socio-legal. Sosiologi hukum melihat, menerima,
dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan
manusia. Hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang
abstrak, melainkan hukum terlihat dalam bentuk perilaku
orang atau perilaku masyarakat (perilaku sosial).
4

Kajian mengenai perilaku sosial dalam masyarakat
hanya fokus memperhatikan verifikasi empiris dan validitas
hukum yang berlaku. Satjipto Rahardjo membagi 3 (tiga)
bentuk tingkatan kejadian teori, di antaranya dilihat dari segi
makro, meso, dan mikro. Pada tingkat makro, yang dibicarakan
adalah mengenai hubungan interaksi antara hubungan
masyarakat dan hukum. Meskipun berhadapan dengan satuan
yang cakupannya besar, perlu dibatasi agar lebih spesifik,
misalnya, “masyarakat yang mana?”.
5

4
Rahardjo, Sosiologi Hukum, 2.
5
Ibid.

50

Pada tingkatan meso, berbicara mengenai hal-hal yang
menyangkut kelembagaan hukum atau interaksi antar
lembaga-lembaga tersebut. Tidak saja perilaku manusianya,
tetapi juga pada perilaku kelembagaan. Perilaku atau
tindakan-tindakan yang layak dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Kelayakan tersebut untuk membuat lembaga
tersebut mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah
masyarakat. Ia akan berusaha untuk memanfaatkan dan
menyerap sumber daya yang ada di sekitarnya untuk
keperluan tersebut. Misalnya, tindakan pejabat pada sebuah
lembaga untuk mempertahankan eksistensi lembaganya
karena fasilitas dari negara yang serba kurang yang
tindakannya baik dalam koridor legal dan nonlegal.
6

Tingkatan ketiga, yaitu mikro, berbicara mengenai
perilaku substansi dari orang-orang yang berhubungan
langsung dengan hukum, baik sebagai warga negara ataupun
sebagai pemegang jabatan tertentu. Tingkatan ini berusaha
untuk menjelaskan perilaku hukum orang-orang bukan
sebagai manifestasi etis hukum, melainkan mencari
determinan atau faktor yang menentukan kepatuhan terhadap
hukum. Menurut Weber, bukan karena kewajiban untuk patuh
pada hukum, tetapi lebih kepada lingkungan yang menyetujui
perilaku yang seperti itu atau perilaku yang menyimpang dari
hukum atau bahkan perilaku yang dilakukan tanpa dipikirkan
terlebih dahulu.
7

Pendekatan dalam penelitian hukum empiris ini
membutuhkan disiplin ilmu sosial dan terutama hukum untuk
mengkajinya. Pendekatan ini dianggap mampu untuk
memberikan pandangan yang lebih holistis atas fenomena
yang terjadi di masyarakat. Di sisi yang lain, penelitian hukum
doktriner dianggap belum mampu memberikan pemecahan
persoalan di tengah keberagaman “norma” di Indonesia.
Apalagi jika harus berhadapan dengan peneliti yang memaknai
kajian ini secara berbeda.

6
Ibid., 7–9.
7
Ibid., 10.

51

Karakteristik pendekatan ini dapat diidentifikasi
melalui 2 (dua) tahapan. Pertama, socio-legal, yaitu dengan
melakukan studi tekstual (norma hukum), kemudian dianalisis
secara kritikal dan dijelaskan implikasinya terhadap subjek
hukum. Dengan demikian, dapat diketahui makna pasal
tersebut menguntungkan atau merugikan masyarakat di suatu
daerah tertentu. Kedua, studi socio-legal mengembangkan
berbagai bentuk baru, seperti penelitian kualitatif socio-legal
dan etnografi socio-legal.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian hukum
empiris dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu sebagai
berikut:
- Wawancara, yaitu melaksanakan tanya jawab dengan
narasumber yang memiliki kaitan dengan masalah yang
diteliti.
- Menyusun dan membagikan angket atau kuesioner, yaitu
daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh narasumber
terkait dengan permasalahan tertentu.
- Observasi, yaitu peninjauan dengan cermat dan teliti
mengenai suatu hal yang diteliti.
- Dokumentasi, yaitu pengumpulan, pemilihan, pengolahan,
dan penyimpanan informasi (data atau bahan hukum).
Baik itu dengan cara merekam, memotret, maupun
membuat transkrip rekaman hasil wawancara yang
bertujuan untuk menjadi data dukung dalam penelitian.
6. Data
6.1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan berdasarkan dari responden dan
narasumber. Pengumpulan data di lapangan dilakukan oleh
peneliti dengan cara, misalnya wawancara atau membagikan
angket atau kuesioner untuk dijawab oleh narasumber.

52

6.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang dikumpulkan,
diolah, dan disajikan oleh pihak lain. Baik bentuk maupun isi
data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti terdahulu,
sehingga peneliti selanjutnya tidak mempunyai pengawasan
terhadap pengumpulan, pengelolaan, analisis, maupun
konstruksi data.
Pengumpulan data dalam studi pustaka ini dilakukan
peneliti dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data
yang berhubungan dengan objek penelitian. Data-data
tersebut diperoleh dari buku-buku kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, browsing di internet, dan dokumen-
dokumen lainnya.
7. Beberapa Contoh Judul Penelitian Hukum Empiris
Berikut adalah beberapa contoh judul penelitian yang
dapat menggunakan metode penelitian hukum empiris:
- Problematika Pelaksanaan Diversi dalam Penyelidikan
Pidana dengan Pelaku Anak di Kepolisian Resor Malang.
- Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat Jawa di
Kecamatan Tanjung Morawa.
- Implementasi Tanggung Jawab Sosial PT. Socfin Indonesia
untuk Mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di
Perkebunan Aek Loba.
- Cerai Gugat Akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).
- Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Kawin “Ngalor-
Ngulon” di Desa Tulas, Kecamatan Karangdowo, Kabupaten
Klaten.
- Tinjauan ‘Urf terhadap Adat Larangan Menikah “Ngalor-
Ngulon” bagi Laki-Laki di Desa Plalangan, Kecamatan
Jenangan, Kabupaten Ponorogo.

53

- Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Larangan
Perkawinan Adat Kebo Balik Kandang di Desa Sukoharjo,
Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri.

Daftar Pustaka
Efendi, Jonaedi, and Johny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum:
Normatif Dan Empiris. Jakarta: Kencana, 2018.
Rahardjo, Satjipto. Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003.

54

55

BAGIAN V
PERJANJIAN ASURANSI PERTANIAN
PADA PROGRAM KETAHANAN
PANGAN OLEH PEMERINTAH
1

Rizki Dermawan

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail: [email protected]

1. Bab I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Perkembangan yang modern ini mendorong orang
untuk berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan hidup
dengan lebih efektif dan efisien. Setiap orang mempunyai hak
untuk memperoleh perlindungan pada diri sendiri, keluarga,
harta benda, dan perlindungan dari ancaman kerusakan atau
kehilangan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah
perlindungan atas berbagai macam risiko yang terjadi dan
menimpa diri mereka sewaktu-waktu adalah salah satu
penyebab tingginya jumlah pengguna asuransi. Hal ini
menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan
asuransi yang menyediakan layanan dan produk asuransi
karena akan semakin luas pangsa pasar yang bisa diolah dan
dijadikan sebagai sasaran penjualan perusahaan asuransi.

1
Diadaptasi dari Rizki Dermawan, “Perjanjian Asuransi Pertanian
pada Program Ketahanan Pangan oleh Pemerintah” (Tesis, Universitas
Airlangga, Surabaya, 2017), 1-87, dan diolah seperlunya.

56

Berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa
Keuangan diketahui perkembangan industri perasuransian di
Indonesia memiliki peran yang signifikan dalam mendukung
terjadinya proses pembangunan nasional.
2
Hal ini dilihat dari
kontribusi perusahaan asuransi dalam memupuk dana jangka
panjang dalam jumlah yang besar dan kemudian digunakan
sebagai dana dalam pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah. Di dalam layanan yang diberikan oleh
perusahaan asuransi masyarakat juga mendapatkan bentuk
perlindungan atas berbagai risiko dan juga kerugian yang
bisa saja menimpa mereka sewaktu-waktu terutama di saat
mereka sedang menjalankan usahanya. Hal ini menunjukkan
betapa perkembangan asuransi juga memiliki peran yang
cukup besar di dalam pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yang terjadi belakangan ini.
Pemahaman masyarakat yang semakin baik mengenai
pentingnya perlindungan sebuah asuransi juga menjadi
sebuah hal yang mempengaruhi kemajuan di dalam bisnis
asuransi itu sendiri. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap
sebuah produk telah tercipta maka akan semakin mudah
untuk mengembangkan dan melakukan penjualan produk
tersebut. Hal inilah yang terjadi di dalam bisnis asuransi di
mana semakin banyak orang yang menginginkan sebuah
jaminan atau perlindungan terhadap berbagai macam risiko
yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang.
Secara teknis kegiatan usaha di sektor pertanian akan
selalu dihadapkan pada risiko ketidakpastian yang cukup
tinggi. Risiko ketidakpastian tersebut meliputi tingkat
kegagalan panen yang disebabkan oleh bencana alam seperti
banjir, kekeringan, atau serangan organisme pengganggu
tanaman dan perubahan iklim. Ketidakpastian dan tingginya
risiko ini sangat memungkinkan petani beralih

2
Otoritas Jasa Keuangan, “Statistik Perasuransian Indonesia
Tahun 2015,” last modified 2015, accessed August 17, 2017,
http://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/asuransi/Documents/Pages/Statistik-Perasuransian-Indonesia-
2015.

57

mengusahakan komoditas lain yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi dengan risiko kegagalan yang lebih kecil. Jika
hal ini dibiarkan lebih lanjut dikhawatirkan akan berdampak
terhadap stabilitas ketahanan pangan nasional khususnya
produksi dan ketersediaan bahan pangan pokok beras.
Program ketahanan pangan yang digagas pemerintah
menawarkan salah satu cara melakukan ganti rugi gagal
panen melalui asuransi pertanian.
3
Berdasarkan asas
kehidupan pertanian yaitu maju, ramah ekologi,
berkelanjutan, hukum harus mendorong serta mengarahkan
agar kehidupan pertanian secara teknis selalu menjadi lebih
sempurna dan menguntungkan semua pihak.
4
Dalam upaya
mewujudkan ketahanan pangan Presiden Joko Widodo
menargetkan pengendalian impor pangan dengan cara
meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri,
pemberantasan mafia impor, dan juga mengembangkan
ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian. Sehingga
disaat terjadinya gagal panen terutama yang diakibatkan oleh
bencana alam, petani tidak akan menanggung kerugian
sendiri karena lahan pertaniannya telah diasuransikan.
5

Risiko merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan seseorang dan tidak ada seorang
pun yang dapat bebas dari suatu risiko. Besarnya nilai risiko
dapat di ukur dengan nilai suatu barang dapat merugikan
pemiliknya. Tingkat risiko diukur dengan menghitung
kemungkinan antara perkiraan dengan yang sesungguhnya
terjadi, semakin kecil selisih persentasi antara keduanya
maka semakin kecil risiko yang ada.
6
Semakin besar nilai

3
Presiden Republik Indonesia, “Peningkatan Produktivitas
Pangan Untuk Wujudkan Ketahanan Pangan,” accessed April 13, 2017,
http://presidenri.go.id/pangan/1967.html.
4
Koerniatmanto Soetoprawiro, Pengantar Hukum Pertanian
(Jakarta: Gapperindo, 2013), 78.
5
Presiden Republik Indonesia, “Peningkatan Produktivitas
Pangan Untuk Wujudkan Ketahanan Pangan.”
6
Ali Hasyim, Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), 23.

58

barang yang di miliki seseorang maka semakin besar juga
risiko kerugiannya.
Peristiwa tidak tentu akan membuat seorang yang
memiliki nilai barang menjadi bertanggung jawab terhadap
kerugian barang miliknya sendiri. Peralihan risiko pada
perusahaan asuransi akan berakibat tanggung jawab
kerugian atas nilai barang seseorang menjadi tanggungan
penanggung. Adanya perjanjian asuransi antara pihak
penanggung dan tertanggung maka tanggung jawab beban
kerugian akan beralih dari tertanggung kepada penanggung
atau perusahaan asuransi, beban kerugian ini yang disebut
risiko.
Menurut Robert Meh mengemukakan 5 (lima) cara
dalam mengatasi risiko, yaitu:
7

1. Menghindari risiko (risk avoidance), tidak melakukan
kegiatan yang memberi peluang kerugian
2. Mengurangi risiko (risk reduction), memperkecil peluang
terjadi kerugian
3. Menahan risiko (risk retention), tidak melakukan apa-apa
terhadap risiko karena dapat menimbulkan kerugian.
4. Membagi risiko (risk sharing), memindahkan risiko
kepada pihak lain, misalnya melalui reasuransi.
5. Mengalihkan risiko (risk transfer), memindahkan risiko
kepada pihak lain yaitu perusahaan asuransi.
Peralihan risiko dalam bentuk asuransi dianggap cara
yang paling baik dalam pengelolaan risiko. Pengalihan risiko
dari tertanggung kepada penanggung terjadi bila tertanggung
telah sepakat mengalihkan ganti rugi dari penanggung atas
kerugian yang diderita oleh barang yang diasuransikan.
Dalam hukum asuransi minimal terdapat 2 (dua) pihak yaitu
penanggung dan tertanggung. Penanggung adalah pihak yang
menanggung beban risiko sebagai imbalan premi yang

7
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi
(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 57.

59

diterimanya dari tertanggung. Jika hal yang tidak pasti sudah
terjadi (evenemen) maka yang menjadi b eban dan
berkewajiban mengganti kerugian adalah penanggung
tersebut.
Risiko dapat diartikan sebagai kerugian yang tidak
pasti (uncertainty of financial lost), di dalamnya terdapat 2
(dua) unsur yaitu ketidakpastian dan kerugian pengalihan.
8

Besarnya risiko dapat diukur dengan nilai barang yang
mengalami peristiwa diluar kesalahan tertanggung maka
risiko dapat dialihkan pada perusahaan asuransi kerugian
dalam bentuk pembayaran premi. Pengalihan risiko
diimbangi dalam bentuk pembayaran premi pada perusahaan
asuransi kerugian setiap beberapa periode bergantung pada
polis di perjanjian asuransi dan manfaat risiko inilah yang
diperoleh tertanggung.
Risiko kerugian yang datang harus di antisipasi secara
tepat karena akan berpotensi melemahkan motivasi petani
untuk mengembangkan usaha tani atau bahkan dapat
mengancam ketahanan pangan nasional. Organisasi Pangan
dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan bahwa meskipun
beberapa negara di belahan bumi utara justru ada yang
diuntungkan, akan tetapi sebagian besar wilayah negara di
dunia (terutama negara-negara berkembang diwilayah
beriklim tropis) diperkirakan akan menghadapi tantangan
yang lebih berat untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
9

Manfaat-manfaat yang mungkin diperoleh dari
program asuransi pertanian adalah sebagai berikut :
10
1. Dengan asuransi pertanian, risiko-risiko yang mungkin
terjadi dalam produksi komoditas pertanian dapat
dikurangi sehingga hal ini berarti memberikan suatu

8
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 156.
9
Sumaryanto and A. R. Nurmanaf, “Simpul-Simpul Strategi
Pengembangan Asuransi Pertanian Untuk Usaha Tani Padi Di Indonesia,”
Forum Penelitian Agro Ekonomi 25, no. 2 (n.d.): 89–90.
10
Prosiding Simposium, Asuransi Agribisnis (Bogor: Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, 1993), 88.

60

insentif ekonomi, khususnya yang menyangkut tingginya
biaya produksi untuk mengadopsi penggunaan teknologi
mutakhir bagi para petani,
2. Disamping itu, asuransi pertanian dapat berperan untuk
menstabilkan lembaga pertanian pemberi jaminan
(kredit) karena asuransi pertanian dapat menjamin
kemampuan petani dalam membayar kembali utang
pinjamannya kepada lembaga pemberi pinjaman,
terutama bila terjadi kegagalan panen,
3. Memungkinkan kelanjutan bantuan pemerintah yang
dilakukan atas dasar perhitungan bisnis yang lebih
rasional dibandingkan dengan program -program
penanggulangan musibah yang bersifat mendadak untuk
mengatasi kegawatan yang dialami pada tahun-tahun
tertentu,
4. Untuk menciptakan kestabilan dan kepastian sektor
pertanian sehingga dapat mencegah terjadinya migrasi
para petani kepusat perkotaan yang banyak menimbulkan
masalah,
5. Asuransi pertanian dapat dianggap sebagai program
tranfer pendapatan kepada petani (yang merupakan
golongan miskin),
6. Mengamankan dan menciptakan lapangan kerja dalam
rangka mendorong berkembangnnya sektor pertanian.
Besar dan penting manfaat asuransi pada masa
pembangunan dewasa ini adalah usaha menyerap modal
swasta melalui premi asuransi dan mengurangi biaya yang
ditimbulkan oleh kemungkinan kegagalan produks i
komoditas pertanian. Dengan mulai tampak adanya
perubahan dalam cara berpikir sebagian besar bangsa
Indonesia dari alam tradisional ke alam modern yang penuh
dengan liku-liku hidup maka sudah tiba saatnya dunia
perasuransian Indonesia untuk mengembangkan usahanya.
11

11
Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), 274.

61

Masyarakat mulai berfikir dan sadar akan pentingnya
mengalihkan tanggung jawab risiko kerugian yang akan
terjadi di masa mendatang pada perusahaan asuransi.
Perusahaan asuransi adalah pihak yang akan
menerima peralihan risiko dari seseorang yang ingin
mengalihkan risikonya. Untuk memenuhi kebutuhan yang
belum pasti dimasa yang akan datang tersebut maka sebagian
orang memerlukan asuransi. Menurut Pasal 1 UU No. 40
Tahun 2014 (UU No. 40 Tahun 2014) menjelaskan:
Asuransi adalah perjanjian antar dua pihak,
yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis,
yang menjadi dasar bagi penerimaan premi
oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan
untuk: (a) memberikan penggantian kepada
tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab
hokum kepada pihak ketiga yang mungkin
diderita tertanggung atau pemegang polis
karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti; atau (b) memberikan pembayaran yang
didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada
hidupnya tertanggung dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan
pada hasil pengelolaan dana.
Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2014
dijelaskan usaha asuransi umum adalah usaha jasa
pertanggungan risiko yang memberikan pergantian kepada
tertanggung atau pemegang polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan atau
tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin
diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti. Tujuan utama dari asuransi
adalah untuk mengalihkan risiko tertanggung kepada
penanggung yang berarti bahwa penanggung berkewajiban
untuk mengganti kerugian tertanggung bila terjadi

62

evenemen.
12
Memperkecil risiko yang harus dihadapi oleh
tertanggung apabila terjadi kejadian yang merugikan
tertanggung. Penanggung kerugian akan menerima
pemindahan atau peralihan risiko dari tertanggung dengan
harus dapat menunjukkan bukti mengalami kerugian.
Perusahaan asuransi melakukan berbagai macam
usaha untuk bisa tetap memperluas dan memajukan bisnis
yang dijalankan selama ini. Salah satu langkah yang dilakukan
adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan
lebih inovatif bagi nasabah. Di dalam perkembangannya
perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam
produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai kebutuhan
nasabah seperti yang akan peneliti bahas pada penelitian
tentang perjanjian asuransi pertanian yang diatur pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU No. 19
Tahun 2013).
Pelaksanaan kegiatan asuransi pertanian juga
berpedoman pada asas-asas perjanjian asuransi secara
umum, yaitu:
13

1. Asas Kepentingan (Principle of Insurable Interest)
Asas ini diatur dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD). Dalam asas ini dijelaskan bahwa
tertanggung harus mempunyai kepentingan atas barang yang
diasuransikan. Apabila tidak mempunyai kepentingan, maka
perjanjian asuransi tidak serta merta menjadi batal namun
penanggung tidak wajib membayar ganti rugi apabila terjadi
kerugian yang menimpa tertanggung. Suatu kepentingan
dianggap ada apabila memenuhi unsur Pasal 268 KUHD yaitu:
- Kepentingan tersebut dapat dinilai dengan uang.
- Kepentingan tersebut dapat diancam bahaya (risiko).

12
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia 6 (Hukum Pertanggungan) (Jakarta: Djambatan, 1983), 25.
13
Zahry Vandawati Chumaida, Hukum Asuransi (Catatan
Perkuliahan) (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2013).

63

- Kepentingan tersebut tidak dikecualikan oleh undang-
undang.
2. Asas Indemnitas (Principle of Indemnity)
Asas ini diatur dalam Pasal 253 KUHD. Asas ini
merupakan asas yang sangat penting dalam perjanjian
asuransi untuk menghindarkan perusahaan asuransi
digunakan sebagai sarana untuk memperkaya diri bagi
tertanggung. Dalam asas ini dijelaskan bahwa pembayaran
penanggung kepada tertanggung adalah pembayaran ganti
rugi sebesar kerugian yang benar-benar (riil) diderita oleh
tertanggung.
3. Asas Itikad Baik (Utmost Good Faith)
Asas ini diatur dalam pasal 251 KUHD jo Pasal 31 ayat
(2) UU No. 40 Tahun 2014. Dalam asas ini dijelaskan bahwa
setiap keterangan yang diberikan oleh tertanggung harus
jelas, benar, dan jujur. Apabila tertanggung tidak memberikan
keterangan yang jelas, benar, dan jujur maka perjanjian
asuransi tidak otomatis batal, namun hal ini dapat dijadikan
sebagai dasar bagi penanggung untuk membatalkan
perjanjian asuransi.
4. Asas Subrogasi (Subrogation)
Asas subrogasi yang dipakai dalam perjanjian asuransi
adalah subrogasi berdasarkan Undang-Undang yang diatur
dalam Pasal 284 KUHD. Asas ini menjelaskan bahwa kerugian
yang diderita oleh tertanggung merupakan akibat dari
tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Sehingga asas
subrogasi dalam perjanjian asuransi hanya bisa dilakukan
apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
- Tertanggung di samping mempunyai hak terhadap
penanggung juga mempunyai hak-hak kepada pihak
ketiga.
- Hak-hak tersebut timbul karena terjadinya kerugian.
Pasal 255 KUHD menjelaskan setiap orang atau badan
usaha yang akan mengalihkan risiko kerugian pada

64

perusahaan asuransi harus melakukan perjanjian yang
dituangkan pada suatu akta yang disebut polis.
14
Perusahaan
asuransi adalah pihak yang menanggung peralihan risiko atas
kerugian yang diterima orang atau badan usaha sebagai
tertanggung sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati.
Memberikan ruang lingkup jaminan atas risiko tanggung
jawab atas kerugian atau kerusakan yang diderita oleh
konsumen.
15

Di dalam KUHD berisikan 3 (tiga) Pasal yang khusus
mengenai kegagalan hasil pertanian yang diasuransilan, yaitu
Pasal 299, Pasal 300, dan Pasal 301.
16
Penting untuk
menetapkan sampai dimana tanggung jawab atas kerugian
yang kemungkinan besar melanda hasil pertanian para
petani. Metode penetapan kerugian pertanian adalah melalui
hasil pertanian dan tidak berpedoman pada harga apa yang
tertanam di tanah pada saat tertentu.
Selain bertindak sebagai pemberi subsidi pembayaran
premi asuransi pertanian, UU No. 19 Tahun 2013 juga secara
khusus mengamanatkan kepada pemerintah baik pusat
maupun daerah untuk turut serta berperan sebagai
perusahaan asuransi dalam hal apabila terjadi kerugian gagal
panen. Pasal 37 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2013 menjelaskan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh
petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam
bentuk asuransi pertanian. Sehingga dalam kasus terjadi
kerugian gagal panen Pada Pasal 37 ayat (2) UU No. 19 Tahun
2013 yaitu akibat bencana alam, serangan organisme
pengganggu tanaman, perubahan iklim dan jenis risiko
lainnya maka pemerintah diamanatkan untuk memberikan
perlindungan kepada para petani yang mengalami kerugian.

14
Ibid., 61.
15
Marc S. Mayerson, “Perfecting and Pursuiting Liability
Insurance Coverage a Primer for Policyholders on Complying with Notice
Obllgation,” Tort & Insurance Law Journal 12 (1997): 1003.
16
Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia, 225.

65

Asuransi kerugian adalah asurans i yang
mengusahakan penggantian sejumlah uang yang disesuaikan
atau senilai dengan sejumlah kerugian yang diderita. Asuransi
sejumlah uang dalam hal ini umumnya terdiri sejumlah uang
yang akan diberikan untuk suatu kerugian tersebut yang
jumlahnya telah ditentukan terlebih dahulu apabila peristiwa
terjadi. Asuransi tidak hanya menguntungkan untuk para
pihak-pihak yang melakukan perjanjian pada polis asuransi.
Pada lingkup yang lebih luas lagi dapat juga menguntungkan
untuk kepentingan nasional yang berhubungan dengan
penarikan dana berasal premi asuransi. Pembangunan
nasional oleh pemerintah ini demi memajukan negara dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Polis asuransi secara
umum dibatasi atau dikendalikan oleh ketentuan-ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgelijk Wetboek
(BW) sebagai berikut:
Pasal 1337 BW “suatu kausa adalah terlarang,
apabila kausa itu dilarang oleh Undang-undang
atau bertentangan dengan moral atau dengan
ketertiban umum”.
Pasal 1338 ayat (3) BW “semua perjanjian yang
dibuat pihak-pihak harus dilaksanakan dengan
itikad baik”
Pasal 1339 BW “ perjanjian-perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat dari
persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau Undang-undang”.
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa untuk
menentukan klausul atau syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan dalam suatu perjanjian baku dapat berlaku dan
mengikat para pihak tolok ukurnya adalah Undang-undang,
moral, ketertiban umum, kepatutan dan kebiasaan serta
itikad baik. Penanggung sebagai pihak yang menerima
peralihan risiko yang berarti mengikatkan diri akan

66

mengganti kerugian apabila risiko yang diperjanjikan terjadi
suatu kenyataan kehilangan atau kerugian. Kewajiban
mengganti kerugian ini membuat perusahaan asuransi
berhak menerima premi dari tertanggung terutama karena
sebagai perusahaan asuransi premi sangat dibutuhkan untuk
jalannya perusahaan yang sehat. Premi ini merupakan syarat
mutlak bagi penanggung sebagai suatu perusahaan asuransi.
Strategi perlindungan petani dilakukan melalui
asuransi pertanian, menurut Pasal 12 ayat (2) UU No. 19
Tahun 2013 menjelaskan perlindungan petani sebagaimana
dimaksud juga dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf e, dan huruf g diberikan kepada:
1. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki
lahan Usaha Tani dan menggarap paling luas 2 (dua)
hektare;
2. Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi
daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua)
hektare; dan/atau;
3. Petani holtikultura, pekebun atau peternak skala usaha
kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan
hukum pada para petani pada perjanjian asuransi pertanian.
Petani asuransi pertanian dalam hal ini adalah sebagai
konsumen atau sebagai nasabah perusahaan asuransi yang
menerima subsidi premi dari pemerintah. Untuk melindungi
konsumen secara umum dan mengingat posisi konsumen
yang lemah, maka ia harus dilindungi oleh hukum karena
tujuan hukum adalah memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat.
17

Perusahaan asuransi pertanian harus memberikan
hak-hak petani sesuai dengan polis asuransi pertanian yang
disepakati. Perusahaan asuransi pertanian harus

17
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), 11.

67

memperlakukan dan melayani petani secara benar,
memberikan informasi secara transparan, beritikad baik, dan
memberikan ganti kerugian sesuai perjanjian asuransi
pertanian. Selain asuransi pertanian, adanya perlindungan
hukum pada petani akan membuat petani dapat bekerja
secara maksimal dalam menjalankan produksi pertaniannya.
Sengketa akan timbul pada saat para pihak tidak
menjalankan perihal sesuai hak dan kewajiban pada
perjanjian asuransi pertanian. Penyelesaian sengketa dapat
dilakukan melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Pasal 18
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 40
Tahun 2015 Tentang Fasilitas Asuransi Pertanian (Permentan
RI No. 40 Tahun 2015) menjelaskan petani penerima bantuan
premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus
tergabung didalam kelompok tani dan memiliki
kepengurusan yang aktif. Upaya penyelesaian sengketa untuk
melindungi petani pada asuransi pertanian yang dilakukan
kelompok tani dapat melalui mekanisme gugatan Class Action.
Apabila peristiwa tak tentu itu sungguh-sungguh
terjadi, maka ia berubah menjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian. Risiko yang menjadi beban
penanggung berubah menjadi ganti kerugian yang harus
dipenuhi oleh penanggung. Dari segi pengendalian risiko,
perusahaan asuransi berperan sebagai penanggung atas
gugatan yang diajukan oleh konsumen.
18
Pengendalian risiko
ini adalah untuk mencari kemungkinan-kemungkinan risiko
yang muncul dari suatu perusahaan atau merupakan suatu
usaha untuk membantu suatu perusahaan dalam
menghindari risiko, mencegah dan mengurangi jumlah
kerugian atau mengurangi dampak yang tidak diinginkan dari
suatu risiko.
19

Sektor pertanian adalah usaha yang mempunyai risiko
tinggi terhadap keadaan alam dan rentan terhadap serangan

18
John G. Cowells, The Situation in Europe: European Insurance
Perspective (London: The Lloyd London Press, 1977), 1.
19
C. Arthur William, Risk Management and Insurance (McGraw-
Hill International, 1995), 177–179.

68

hama dan penyakit yang mengakibatkan penurunan produksi
hasil bahkan gagal panen serta risiko fluktuasi harga sehingga
pendapatan para petani menurun atau merugi. Dampak risiko
tersebut para petani menderita kerugian yang cukup besar
sehingga untuk usaha berikutnya tidak mempunyai modal
lagi atau bahkan bagi para petani meminjam kredit tidak
mampu mengembalikannya sehingga timbul kredit macet.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan secara sungguh-
sungguh untuk mengurangi atau memperkecil risiko adalah
dengan memperkenalkan asuransi pertanian.
Mencermati dari uraian di atas, maka untuk itulah
peneliti ingin meneliti pertanggungjawaban perusahaan
asuransi terkait program ketahanan pangan oleh pemerintah
dan perlindungan hukum bagi petani terhadap perjanjian
asuransi pertanian pada program ketahanan pangan oleh
pemerintah. Asuransi pertanian merupakan upaya yang
sangat baik yang dilakukan oleh pemerintah dalam
memberikan perlindungan kepada petani dan dapat
melaksanakan program ketahanan pangan nasional. Petani
yang sebagian besar merupakan golongan miskin tidak
menjadi semakin miskin apabila mengalami kerugian gagal
panen.
Adanya asuransi pertanian diharapkan sektor
pertanian menjadi lebih menarik sehingga dapat mengurangi
atau menahan jumlah petani yang beralih profesi sekaligus
mengurangi konversi lahan pertanian sehingga diharapkan
dalam beberapa tahun yang akan datang Indonesia menjadi
negara yang berdaulat pangan, tahan pangan, dan mencapai
swasembada pangan dengan kondisi petani yang makmur
dan sejahtera. Adanya cover asuransi diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan petani ditengah upaya
peningkatan daya saing produk pertanian di pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Asuransi pertanian merupakan
salah satu strategi dalam perlindungan petani yang dilakukan
oleh pemerintah.

69

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di
atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pertanggungjawaban perusahaan asuransi terkait
program ketahanan pangan oleh pemerintah.
2. Perlindungan hukum bagi petani terhadap perjanjian
asuransi pertanian pada program ketahanan pangan oleh
pemerintah.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pertanggungjawaban perusahaan
asuransi terkait program ketahanan pangan oleh
pemerintah.
2. Untuk menganalisis perlindungan hukum bagi petani
terhadap perjanjian asuransi pertanian pada program
ketahanan pangan oleh pemerintah.
1.4. Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian tentang asuransi
pertanian di Indonesia ini dapat bermanfaat dari segi:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
secara umum untuk pengembangan Ilmu Hukum Asuransi di
Indonesia, memberikan masukan bagi pemerintah dalam
merumuskan konsep bidang Hukum Asuransi khususnya
tentang asuransi pertanian, dan sebagai sumber informasi
pada masyarakat, bahwa masyarakat yang berprofesi sebagai
petani mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan
dalam hal asuransi pertanian.

70

1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang di teliti. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan masukan kepada:
1. Sebagai bahan informasi kepada peneliti sendiri dan
masyarakat untuk menjalankan program pemerintah
pada asuransi pertanian di Indonesia.
2. Untuk Pemerintah dalam memperbaiki aturan hukum
yang terkait dengan program pemerintah Indonesia pada
ketahanan pangan nasional.
3. Untuk kalangan perusahaan asuransi pertanian agar
memberikan pelayanan dan pelaksanaan yang baik pada
para petani yang menjadi nasabahnya.
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum
normatif. Di dalam penulisan tesis ini, penelitian tergolong
sebagai penelitian hukum untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang
relevan dan melakukan telaah mengenai konsep-konsep
hukum, pendapat para ahli hukum untuk meningkatkan daya
interpretasi guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
20

Penelitian ini akan menempatkan peraturan atau norma-
norma positif didalam sistem perundang–undangan sebagai
sumber utama untuk membahas tentang
pertanggungjawaban perusahaan asuransi dan perlindungan
hukum bagi petani terhadap perjanjian asuransi pertanian.
1.5.2. Jenis Bahan Hukum
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif,
jenis bahan yang digunakan adalah, pertama, bahan hukum
primer yang terdiri dari perundang-undangan, risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim, yaitu:

20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi
Revisi) (Jakarta: Kencana, 2019), 35.

71

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgelijk
Wetboek).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel voor Indonesie).
3. UU No. 8 Tahun 1999.
4. UU No. 21 Tahun 2001.
5. UU No. 19 Tahun 2013.
6. UU No. 40 Tahun 2014.
7. Permentan RI No. 40 Tahun 2015.
8. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
02 Tahun 2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi
Usahatani Padi (Kepmentan RI No. 02 Tahun 2016).
Kedua, bahan hukum sekunder yang terdiri dari hasil
buku-buku teks, jurnal hukum, dan kamus hukum yang
berkaitan dengan masalah yang diambil dalam penulisan tesis
ini.
1.5.3. Teknik Pendekatan Bahan Hukum
Pertama, peneliti menggunakan pendekatan undang–
undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
21

Hasil dari telaah tersebut adalah suatu argumen untuk dapat
memecahkan isu hukum yang diteliti. Dalam penelitian ini
menganalisis peraturan perundang–undangan yang berkaitan
dengan permasalahan tentang pertanggungjawaban
perusahaan asuransi dan perlindungan hukum bagi petani
terhadap perjanjian asuransi pertanian.
Kedua, pendekatan konseptual yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin -doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.
22
Pemahaman akan

21
Ibid., 158.
22
Ibid., 135.

72

pandangan-pandangan dan doktrin -doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti untuk membangun
argumentasi hukum dalam memecahkan isu hukum yang
dihadapi.
1.5.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian
hukum ini dilakukan dengan cara studi pustaka terhadap
bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Semua bahan hukum yang berkaitan
dengan perjanjian asuransi pertanian dan perlindungan
hukum bagi petani akan dikumpulkan untuk kemudian
diolah.
1.5.5. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum ini dilakukan menurut sifat
analisis preskriptif, yaitu untuk memberikan argumentasi
atas hasil penelitian yang telah dilakukannya. Argumentasi
disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan penilaian
mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya
menurut hukum terhadap isu hukum yang akan diteliti.
1.6. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penelitian dan pemahaman
membaca, maka penulisan tesis ini dibagi menjadi 4 (empat)
bab. Penulis menyusun sistematika penulisan sebagai
berikut:
1. Bab I peneliti memaparkan gambaran secara umum
tentang masalah yang akan di teliti yaitu latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian (tipe penelitian, jenis bahan hukum,
teknik pendekatan bahan hukum, metode pengumpulan
bahan hukum dan analisis bahan hukum), dan
pertanggungjawaban sistematika penulisan.
2. Bab II peneliti akan membahas pertanggungjawaban
perusahaan asuransi terkait program ketahanan pangan
oleh pemerintah. Diuraikan tentang program ketahanan
pangan oleh pemerintah, memberikan gambaran

73

mengenai karakteristik perjanjian asuransi pertanian, dan
tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap asuransi
pertanian.
3. Bab III peneliti akan membahas mengenai perlindungan
hukum bagi petani terhadap perjanjian asuransi pertanian
pada program ketahanan pangan oleh pemerintah.
Menjelaskan tentang asas dan tujuan perlindungan
konsumen, bentuk perlindungan hukum bagi petani pada
perjanjian asuransi pertanian, dan upaya hukum bagi
petani pada penyelesaian sengketa perjanjian asuransi
pertanian.
4. Bab IV merupakan bab penutup dari seluruh uraian dan
memberikan kesimpulan dari pembahasan yang sudah
diteliti dan memberikan saran yang baik untuk
perkembangan ilmu hukum pada masyarakat dan
pemerintah.
2. Bab II: Pertanggungjawaban Perusahaan Asuransi
terkait Program Ketahanan Pangan oleh
Pemerintah
2.1. Program Ketahanan Pangan oleh Pemerintah
Pertanian merupakan sektor fundamental dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia. Banyak sektor yang
menggantungkan keberlangsungannya pada sektor pertanian
sebagai penyedia input produksi. Dalam perkembangannya
sektor pertanian terus menunjukan pertumbuhan ke arah
positif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertanian
merupakan sektor yang strategis, terutama dalam konteks
perdagangan.
23

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang
memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Peran

23
Dian Andrayani, Asuransi Pertanian Sebagai Sarana
Meningkatkan Kesejahteraan Perani (Analisis Simulasi Pada PT. Saung
Mirwan Dan Mitra Taninya Di Kecamatan Megamendung, Kabupaten
Bogor) (Bogor: Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, 2013), 1.

74

sektor pertanian diantaranya sebagai penyedia sumber
pangan bagi masyarakat, sumber pendapatan nasional,
membuka kesempatan kerja, sumber investasi, serta
penghasil devisa negara ketika produk-produk hasil
pertanian diekspor ke negara lain. Disisi lain, usaha di sektor
pertanian dihadapkan pada risiko ketidakpastian yang cukup
tinggi dan petani selama ini menanggung sendiri risiko
tersebut.
24

Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dijelaskan
bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Negara
berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan
pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman bermutu
dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun
daerah secara merata di seluruh wilayah Indonesia sepanjang
waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan dan
budaya lokal.
World Bank mendefinisikan bahwa ketahanan
pangan/food security is access by all people at all times to
enough food for an active and healthy life. Maknanya adalah
tiap orang setiap saat memiliki akses secara fisik dan
ekonomi terhadap pangan yang cukup agar hidup sehat dan
aktif.
25 Pilar ketahanan pangan oleh pemerintah pada
prinsipnya adalah upaya menjaga produktivitas pangan,
mempertahankan stabilitas harga pangan dan

24
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, “Rencana
Strategi Tahun 2015 -2019,” accessed June 1, 2017,
https://www.ekon.go.id/publikasi/download/2053/1498/renstra-d2-
2015-2019.pdf.
25
Mohamad Ikbal Bahua, “Pembangunan Ketahanan Pangan Di
Era Otonomi Daerah,” Jurnal Pangan Nasional (2009).

75

keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan pangan,
serta melindungi masyarakat yang rentan terhadap krisis
pangan seperti digambarkan sebagai berikut:
26

Gambar 1: Pilar Ketahanan Pangan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 yang telah ditetapkan melalui Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 2015 mengedepankan Kedaulatan
Pangan sebagai salah satu agenda prioritas nasional sebagai
amanat TRISAKTI dan NAWACITA, khususnya pada Agenda
Prioritas ke-7: Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan
Menggerakkan Sektor-Sektor Strategis Ekonomi Domestik.
Dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa untuk tetap
meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan, sasaran
utama prioritas nasional bidang pangan periode 2015-2019
pada intinya ditempuh untuk memperkuat pilar -pilar
ketahanan pangan melalui:
27

1. Tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang
bersumber dari produksi dalam negeri;
2. Terwujudnya peningkatan distribusi dan aksesibilitas
pangan;
3. Tercapainya peningkatan kualitas konsumsi pangan dan
gizi masyarakat;

26
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, “Rencana
Strategi Tahun 2015-2019.”
27
Ibid.

76

4. Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan;
5. Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan
pangan;
6. Tersedianya sarana dan prasarana irigasi (ketahanan air).
Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan ,
Presiden Joko Widodo menargetkan pengendalian impor
pangan dengan cara meningkatkan produktivitas pangan
dalam negeri, pemberantasan mafia impor, dan juga
mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan
pertanian.
28
Pemerintah berupaya melindungi hasil pertanian
dengan mewujudkan program asuransi pertanian. Sehingga
disaat terjadinya gagal panen terutama yang diakibatkan oleh
bencana alam, petani tidak akan menanggung kerugian
sendiri karena lahan pertaniannya telah diasuransikan.
Pertanian masuk ke dalam tiga besar sektor unggulan
penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di
Indonesia.
29
Seiring dengan hal itu, terdapat persoalan yang
dapat menjadi ancaman bagi sektor pertanian, antara lain
meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim
global; ketersediaan infrastruktur lahan; kepemilikan lahan
yang sempit; dan lainnya. Perlu upaya stematis dan
melembaga untuk meminimalkan risiko kerugian akibat
ancaman tersebut. Asuransi pertanian merupakan alternatif
manajemen risiko yang layak dipertimbangkan. Asuransi
pertanian berkaitan dengan pembiayaan usaha tani oleh
pihak ketiga dengan jumlah tertentu.
30
Tingginya potensi di sektor pertanian seharusnya
dapat menjadi pendorong bagi pemerintah untuk melakukan
pembangunan yang lebih intensif. Hal ini dibutuhkan
mengingat ketahanan pangan nasional merupakan salah satu

28
Presiden Republik Indonesia, “Peningkatan Produktivitas
Pangan Untuk Wujudkan Ketahanan Pangan.”
29
Andrayani, Asuransi Pertanian Sebagai Sarana Meningkatkan
Kesejahteraan Perani (Analisis Simulasi Pada PT. Saung Mirwan Dan Mitra
Taninya Di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor).
30
Ibid.

77

tujuan dari pembangunan nasional. Pembangunan pada
sektor pertanian semakin mendesak dikarenakan adanya
ancaman yang meningkat pada sektor pertanian dari waktu
ke waktu.
Para petani dalam menjalankan usahanya menghadapi
banyak risiko yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri,
keluarga, dan harta bendanya. Risiko yang dimaksud antara
lain adalah peristiwa yang menimpa hasil pertanian atau
lahan pertanian yang digarapnya. Salah satu usaha untuk
mengatasi kemungkinan menderita kerugian tersebut adalah
melalui asuransi pertanian.
Tujuan program asuransi pertanian dapat dibagi
dalam beberapa kelompok sasaran, sebagai berikut:
31

1. Untuk kelompok sasaran petani adalah:
- Menyadarkan petani terhadap risiko gagal panen
atau gagal usaha peternakan.
- Mendorong petani meningkatkan ketrampilan dan
memperbaiki manajemen usaha pertanian.
- Mengurangi ketergantungan petani permodalan yang
berasal dari pihak lain dan membantu petani
menyediakan biaya produksi atau modal usaha
peternakan.
- Meningkatkan pendapatan petani dari keberhasilan
usaha pertanian atau peternakan secara
berkesinambungan.
2. Untuk kelompok sasaran pemerintah daerah adalah:
- Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab aparat
pemerintahan di daerah tentang pentingnya antisipasi
risiko usaha pertanian di daerahnya.

31
Sahat M. Pasaribu, “Penerapan Asuransi Usaha Tani Padi Di
Indonesia: Alternatif Skenario Melindungi Petani Dan Usaha Tani,”
accessed May 27, 2017,
http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/1539/.

78

- Membantu menyediakan sarana dan akses
permodalan bagi petani jika mengalami risiko usaha
pertanian atau terjadi gagal panen/kegagalan usaha
peternakan.
- Membantu pembangunan ekonomi regional melalui
cabang usaha bisnis asuransi.
- Meningkatkan keberhasilan usaha
pertanian/peternakan, serta ketahanan dan keamanan
pangan secara regional.
- Membuka peluang penyerapan tenaga kerja baru.
3. Untuk kelompok sasaran perusahaan asuransi:
- Membuka peluang cabang usaha baru dalam bentuk
perlindungan risiko usaha pertanian dengan
petani/peternak sebagai nasabah.
- Meningkatkan kemampuan karyawan perusahaan
asuransi dalam manajemen pertanggungan risiko
pada sektor pertanian.
- Memperbaiki iklim usaha perasuransian secara
regional.
- Mendorong peningkatan kegiatan usaha asuransi
dengan basis pertanian yang mampu membuka
lapangan kerja baru.
Selain amanat UU No. 19 Tahun 2013, bagi pemerintah
daerah juga diamanatkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang dijelaskan pada Pasal 22 untuk ikut
mengembangkan sistem jaminan sosial. Sistem jaminan sosial
dimaksud dapat berupa program yang meliputi salah satunya
adalah pengembangan asuransi pertanian. Dalam
pengembangan asuransi pertanian perlu adanya koordinasi
antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi kedua belah
pihak diperlukan sebagai upaya agar dalam setiap kegiatan
atau program yang diprakarsai pemerintah pusat dapat

79

dengan segera direspon secara baik oleh pemerintah daerah
dengan menindaklanjutinya.
Pemerintah pusat dan daerah harus memfasilitasi
setiap program peningkatan kesejahteraan petani, agar para
petani mampu mengakses setiap haknya yang berkaitan
dengan peningkatan hasil produksi pertanian dan
peningkatan pendapatannya. Pemerintah daerah tentunya
akan selalu berada digarda terdepan sebagai faktor kunci
kesuksesan pengimplementasian asuransi pertanian. Hal ini
karena pemerintah daerah di kabupaten/kota mempunyai
data yang lebih detail atau lengkap mengenai jumlah petani
dan luas lahan garapan yang dimiliki petani. Jadi aparat di
pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat menyediakan
data yang dibutuhkan untuk pembayaran premi dan klaim
asuransi pertanian.
2.2. Karakteristik Perjanjian Asuransi Pertanian
Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan Presiden
Joko Widodo menargetkan pengendalian impor pangan
dengan cara meningkatkan produktivitas pangan dalam
negeri, pemberantasan mafia impor, dan juga
mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan
pertanian.
32
Pemerintah berupaya melindungi hasil pertanian
dengan mewujudkan program asuransi pertanian. Sehingga
disaat terjadinya gagal panen terutama yang diakibatkan oleh
bencana alam, petani tidak akan menanggung kerugian
sendiri karena lahan pertaniannya telah diasuransikan.
Menjadikan Indonesia menjadi negara agraris yang
berdaulat pangan sepertinya kembali menjadi cita-cita
pemerintah. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan,
keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang
cukup, aman bermutu dan bergizi seimbang di seluruh
wilayah Indonesia. Pilar ketahanan pangan oleh pemerintah
pada prinsipnya adalah upaya menjaga produktivitas pangan,
mempertahankan stabilitas harga pangan dan

32
Presiden Republik Indonesia, “Peningkatan Produktivitas
Pangan Untuk Wujudkan Ketahanan Pangan.”

80

keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan pangan,
serta melindungi masyarakat yang rentan terhadap krisis
pangan (Gambar 2.1).
33

Terobosan kebijakan yang dilakukan pemerintah
dalam persoalan pangan merupakan upaya untuk
mewujudkan ketahanan pangan nasional. Mengatasi kerugian
petani maka pemerintah membantu mengupayakan
perlindungan usaha tani dalam bentuk asuransi pertanian
sebagaimana tercantum pada UU No. 19 Tahun 2013.
Pelaksanaan asuransi pertanian menurut Pasal 37 ayat (2) UU
No. 19 Tahun 2013 dilakukan untuk melindungi petani dari
kerugian gagal panen akibat bencana alam, serangan
organisme pengganggu tumbuhan, wabah penyakit hewan
menular, dampak perubahan iklim, dan/atau jenis risiko lain
yang diatur dengan Peraturan Menteri.
Secara umum jenis-jenis risiko dapat dikelompokkan
menjadi menjadi 3 (tiga), yaitu:
34

1. Risiko murni adalah suatu risiko yang apabila benar-
benar terjadi akan memberikan kerugian dan apabila
tidak terjadi tidak akan memberikan kerugian.
2. Risiko Spekulatif adalah risiko yang berkaitan dengan
terjadinya dua kemungkinan yaitu kemungkinan untuk
mendapatkan keuntungan dan kemungkinan untuk
mendapatkan kerugian.
3. Risiko individu adalah risiko yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari seperti risiko pribadi, harta dan
tanggung gugat.
Asuransi seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa
asuransi pertanian termasuk asuransi kerugian karena
adanya risiko murni karena kerugian yang diakibatkan

33
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, “Rencana
Strategi Tahun 2015-2019.”
34
Zahry Vandawati Chumaida, “Prinsip Itikad Baik Dan
Perlindungan Tertanggung Pada Perjanjian Asuransi Jiwa” (Surabaya:
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2013), 194.

81

bencana alam seperti banjir, kekeringan dan organisme
pengganggu tumbuhan dapat mengakibatkan kerugian
petani. Perusahaan asuransi pertanian dalam hal ini
memberikan proteksi atau perlindungan bagi usaha tani para
petani. Selanjutnya dalam asuransi usaha tani padi
memberikan proteksi atau perlindungan atas kerusakan pada
tanaman dengan batasan-batasan sebagai berikut :
35

1. Banjir adalah tergenangnya lahan pertanian selama
periode pertumbuhan tanaman dengan kedalaman dan
jangka waktu tertentu, sehingga menurunkan tingkat
produksi tanaman.
2. Kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air
tanaman selama periode pertumbuhan tanaman yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman tidak optimal,
sehingga menurunkan tingkat produksi tanaman.
3. Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah
organisme yang dapat mengganggu dan merusak
kehidupan tanaman atau menyebabkan kematian pada
tanaman pangan, termasuk di dalamnya:
- Hama Tanaman: Penggerek batang, Wereng batang
coklat, Walang sangit, Tikus, dan Ulat grayak dan
Keong mas.
- Penyakit Tanaman: Blast, Bercak coklat, Tungro,
Busuk batang, Kerdil hampa, Kerdil Rumput/Kerdil
Kuning dan Kresek.
Risiko pada asuransi pertanian tidak semua di cover
oleh perusahaan asuransi karena keterbatasan
kemampuannya. Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 19 Tahun
2013 menjelaskan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar
biasa tidak ditanggung oleh asuransi pertanian yang
diakibatkan oleh terjadinya pemusnahan budi daya tanaman
yang disebabkan oleh area endemik, bencana alam periodik,
dan atau rusaknya infrastruktur pertanian. Selanjutnya, tidak

35
Lihat, Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2016 tentang Bantuan Premi Asuransi Usaha Tani Padi.

82

menjamin kerusakan fisik dan/atau kerugian pada tanaman
padi yang dipertanggungkan secara langsung atau tidak
langsung disebabkan oleh hama wereng hijau, kepinding
tanah, ganjur, hama putih palsu, hama putih, ulat tanduk
hijau, ulat jengkal palsu hijau, orong-orong, lalat bibit, dan
burung, bakteri hawar daun, bakteri daun bergaris, hawar
pelepah daun, busuk pelepah daun bendera, bercak
ceroospora, hawar daun jingga.
Asuransi dibedakan menjadi 3 (tiga) penggolongan,
yaitu asuransi sejumlah uang, asuransi kerugian, dan asuransi
sosial/wajib. Asuransi pertanian termasuk dalam golongan
asuransi kerugian dimana dapat diketahui perusahaan
asuransi memberikan ganti rugi kepada petani karena
kerugian atau kerusakan yang diderita pada usaha tani padi.
Dalam Pasal 299, 300, dan 301 KUHD mengatur tentang
asuransi terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian
yang belum dipaneni.
Asuransi pertanian yang diatur pada KUHD bersifat
asuransi sukarela (voluntary insurance) namun tetap
ditawarkan pada petani dan terus disosialisasikan.
Didaftarkannya asuransi pertanian terhadap bahaya-bahaya
yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen
bergantung kepada kehendak para petani yang
bersangkutan.
36
Penyelenggaraan asuransi sukarela semata-
mata didasarkan kehendak bebas atau asas kebebasan
berkontrak (contract vriheid) dari para pihak yang
berkepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat
(1) BW.
37

Asuransi pertanian berbeda dengan asuransi kerugian
yang lain karena adanya bantuan pembayaran premi dari
pemerintah untuk membantu dan mendidik petani dalam
mengikuti asuransi pertanian. Bantuan premi dari
pemerintah diberikan pada para peserta asuransi pertanian.

36
Wawancara dengan staf bagian pemasaran PT. Asuransi Jasa
Indonesia, Soni.
37
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi Dan
Surat Berharga (Bandung: Alumni, 1997), 214.

83

Petani yang akan menjadi peserta asuransi pertanian terlebih
dahulu membentuk kumpulan para petani menjadi sebuah
kelompok tani.
Selanjutnya, perbedaan terletak pada keadaan objek
yang diasuransikan yaitu tanaman padi. Tetapi secara umum,
asuransi pertanian dapat diartikan sebagai suatu sistem
perlindungan terhadap kerugian atau kegagalan produksi
pertanian. Dalam sistem ini sejumlah petani diharapkan akan
bersedia membayar premi asuransi kepada perusahaan
asuransi dan sebagai imbalannya kepada petani yang
bersangkutan akan diberikan suatu jaminan berupa
kompensasi kerugian bila terjadi kegagalan produksi atau
panen.
38
Program asuransi pertanian diutamakan untuk para
petani penggarap lahan milik sendiri atau yang tidak memiliki
lahan usaha tani. Lokasi lahan asuransi pertanian
dilaksanakan pada sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan
yang tersedia sumber-sumber air. Prioritas lokasi asuransi
usaha tani padi pada wilayah sentra produksi padi atau
wilayah penyelenggara upaya khusus padi sehingga program
pemerintah ini akan tepat sasaran.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban memfasilitasi setiap petani
untuk menjadi peserta asuransi pertanian. Kewajiban
pemerintah ini diatur di Pasal 39 ayat (2) UU No. 19 Tahun
2013. Fasilitas dimaksud meliputi: (a) kemudahan
pendaftaran untuk menjadi peserta; (b) kemudahan akses
terhadap perusahaan asuransi; (c) sosialisasi program
asuransi terhadap petani dan perusahaan asuransi; dan/atau
(d) bantuan pembayaran premi.
Menindaklanjuti Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 31
Permentan RI No. 40 Tahun 2015 serta agar pelaksanaan
asuransi usaha tani dapat berjalan lancar dengan hasil yang
baik maka ditetapkan pedoman tentang Asuransi Usaha Tani
Padi sebagai acuan pelaksanaan usaha tani padi yang

38
Prosiding Simposium, Asuransi Agribisnis, 85.

84

anggarannya bersumber dari APBN. Berkenaan dengan hal
tersebut diatas, Kementerian Pertanian mengembangkan
pelaksanaan Asuransi Usaha Tani Padi dan memberikan
bantuan premi kepada petani yang menjadi peserta Asuransi
Usaha Tani Padi.
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam kelembagaan
asuransi pertanian sebagian besar sama dengan persyaratan
jenis asuransi yang sudah umum. Selain itu untuk
memberikan ketegasan dan kejelasan atas objek yang
diasuransikan, maka dalam polis asuransi pertanian harus
dicantumkan: (a) lokasi tanah; (b) luas tanah; dan (c)
pemanfaatan atau jenis aktivitas yang dilakukan oleh pihak
petani dan/atau pengusaha pertanian atas tanah yang
diasuransikan.
39
Pasal 300 KUHD dinyatakan bahwa jangka waktu
perjanjian asuransi dapat mencapai beberapa tahun dan
apabila tidak terdapat ketetapan jangka waktu perjanjian,
maka jangka waktu perjanjian asuransi lazimnya dianggap
satu tahun. Pasal ini mungkin tidak dapat sepenuhnya
diaplikasikan pada semua jenis komoditas pertanian,
mengingat terdapat keragaman yang tinggi pada aspek-
aspek:
40

1. Masa bunting (gestation period) mulai saat penanaman
investasi sampai dengan waktu panen pertama;
2. Jangka berproduksi optimum;
3. Laju peningkatan hasil dari panen pertama sampai waktu
panen berikutnya dengan waktu terjadinya leveling-off
sampai pada saat menurunnya produksi (declining) yang
tidak ekonomis lagi untuk mempertahankan tanaman
yang lama, sehingga diperlukan peremajaan; dan
4. Karakteristik fisik komoditas, misalnya karet harus
mengalami prosesing awal untuk dijadikan sheet,
sedangkan teh harus segera memperoleh perlakuan

39
Ibid., 86–87.
40
Ibid.

85

pengasapan dan kelapa sawit harus diproses dulu menjadi
minyak mentah (crude palm oil).
Pasal 301 KUHD dinyatakan bahwa untuk menghitung
besarnya asuransi harus diketahui selisih harga komoditas
pertanian bila tanpa musibah dengan harga komoditas
apabila terkena musibah. Selanjutnya perusahaan asuransi
diwajibkan membayar asuransi sebesar selisih antara
penerimaan yang diharapkan (unit output fisik bila terjadi
musibah dikali harga komoditas bila tidak terjadi musibah)
dengan penerimaan riil (output fisik bila terjadi musibah
dikali harga komoditas hanya bila terjadi musibah). Agar
pasal ini dapat diterapkan dengan ketelitian yang handal,
tentu harus diketahui cara penjualan output pertanian yang
diasuransikan, maka harus diketahui cara penjualan
komoditas petani, misalnya:
41

1. Kontrak penjualan jangka pendek;
2. Kontrak penjualan jangka panjang;
3. Penjualan non kontrak;
4. Penjualan melalui pasar berjangka (future trading),
penjualan ke luar negeri (ekspor); dan
5. Penjualan di dalam negeri.
Perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung
adalah perusahaan asuransi BUMN yang ditunjuk oleh
pemerintah, yaitu PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo)
seperti dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 19 Tahun
2013. Perusahaan asuransi menerbitkan polis asuransi
pertanian menggunakan wording
42
sesuai pedoman polis
Asuransi Usaha Tani Padi dan telah mendapatkan
pengesahan OJK. Penyaluran bantuan pembayaran premi

41
Ibid.
42
Wording adalah bagian dari polis (perjanjian asuransi) yang
berisi ketentuan, kondisi, dan persyaratan pertanggungan. Wording polis
asuransi usaha tani padi yang diterbitkan oleh PT. Asuransi Jasindo
(Persero) dan telah mendapatkan pengesahan sesuai Surat OJK No. S-
5427/NB.111/2015/ tanggal 08.10.2015.

86

pada peserta asuransi ditunjukkan dengan adanya polis
asuransi pertanian ini.
Asuransi Usaha Tani Padi menje laskan harga
penggantian asuransi pertanian ditetapkan sebesar
Rp.6.000.000,- per hektar per musim tanam. Harga pada
perjanjian asuransi menjadi dasar perhitungan premi dan
batas maksimum ganti rugi. Jangka waktu perjanjian asuransi
pada polis asuransi pertanian diterbitkan untuk satu musim
tanam dengan jangka waktu perjanjian asuransi dimulai pada
tanggal perkiraan tanam dan berakhir pada tanggal perkiraan
panen.
Total premi asuransi pada Asuransi Usaha Tani Padi
sebesar Rp.180.000,- per hektar per musim tanam yang
besaran bantuan premi dari pemerintah Rp.144.000,- per
hektar per musim tanam dan sisanya swadaya petani.
Pelaksanaan Asuransi Usaha Tani Padi melibatkan berbagai
pihak/instansi. Secara umum, mekanisme pelaksanaannya
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Gambar 2: Pelaksanaan AUTP
Dalam pelaksanaan asuransi usaha tani padi diawali
dengan adanya sosialisasi dan dilakukan pendaftaran untuk

87

para peserta asuransi pertanian. Dinas Pertanian Provinsi
menunjuk Dinas Pertanian Kabupaten/Kota yang diteruskan
oleh UPTD (Unit Pelaksana Tugas Dinas) kecamatan dan PPL
(Petugas Penyuluh Lapangan) melakukan proses verifikasi
kelayakan calon peserta asuransi pertanian. Petani/kelompok
tani yang telah menjadi peserta asuransi pertanian
membayarkan premi swadaya pada PT. Asuransi Jasa
Indonesia (Jasindo) dan menandatangani polisnya.
Selanjutnya Dinas Pertanian Provinsi menyerahkan rekap
peserta pada Kementerian Pertanian untuk mendapatkan
bantuan premi yang ditujukan pada perusahaan asuransi
Jasindo.
Asuransi pertanian diharapkan mampu untuk
meningkatkan keberhasilan ketahanan dan keamanan pangan
serta usaha pertanian secara nasional. Pemerintah berupaya
melindungi hasil pertanian dengan mewujudkan program
asuransi pertanian. Sehingga disaat terjadinya gagal panen
para petani tidak akan menanggung kerugian sendiri karena
lahan pertaniannya telah diasuransikan.
2.2.1. Para Pihak dan Hubungan Hukumnya terkait
Asuransi Pertanian
Asuransi termasuk jasa yang bisa dinikmati konsumen
(tertanggung) dengan terlebih dahulu menandatangani polis
sebagai bentuk persetujuan keikutsertaan dengan memenuhi
kewajiban membayar premi setiap bulan atau tahunnya.
Hubungan antara perusahaan asuransi dan nasabahnya
diatur dalam perjanjian yang mengikat dan disepakati oleh
kedua belah pihak.
43

Keterikatan hubungan tertanggung dengan
perusahaan asuransi muncul sejak adanya kata sepakat dari
pihak tertanggung kepada perusahaan asuransi. secara umum
inilah yang disebut sebagai perjanjian konsensual.
Keterikatan itu dibuktikan dengan diterbitkan polis.
Substansi polis tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang

43
Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, 158.

88

asuransi yang diatur pada KUHD, dalam hal ini dijelaskan
pada Pasal 246 KUHD.
Peranan asuransi adalah memberikan suatu janji
(proteksi) kepada pihak lain dalam hal ini tertanggung untuk
mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung.
Janji demikian dapat terwujud apabila didahului dengan
adanya suatu perbuatan hukum ialah perjanjian asuransi
yang diadakan antara pihak-pihak yang merasa terdapat
kemungkinan menderita kerugian dengan pihak yang
bersedia menjamin mengganti kerugian yang mungkin
dideritanya.
44

Asuransi pertanian merupakan suatu proses risk
pooling maupun risk sharing arrangement yang ditujukan
untuk menanggulangi risiko-risiko yang mungkin terjadi
dalam sistem produksi dalam komoditas pertanian.
45
Oleh
karena itu, program asuransi pertanian merupakan wadah
kerjasama antara para petani, pemerintah dan masyarakat
umum terutama yang mempunyai kepentingan dengan
produk-produk pertanian.
46

Dalam perjanjian asuransi pertanian terdapat para
pihak yang menandatangani kesepakatan tersebut yaitu
perusahaan asuransi dan petani/kelompok tani. Perusahaan
asuransi sebagai pihak penanggung adalah perusahaan
asuransi BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah yaitu Jasindo,
sedangkan pihak tertanggung adalah petani yang tergabung
pada kelompok tani menjadi peserta asuransi pertanian.
Kesepakatan antara para pihak di tuangkan pada polis
asuransi pertanian.
Petani yang tergabung dalam kelompok tani dijelaskan
pada Pasal 1 angka 4 Permentan RI No. 40 Tahun 2015 adalah
kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas
dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
sosial, ekonomi, sumber daya, kesamaan komoditas dan

44
Hartono, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi, 85.
45
Prosiding Simposium, Asuransi Agribisnis, 88.
46
Ibid.

89

keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha
anggota. Sedangkan perusahaan asuransi Jasindo adalah
BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah
seperti dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 19 Tahun
2013, dan Pasal 22 Permentan RI No. 40 Tahun 2015.
Polis asuransi ini menggunakan wording sesuai polis
asuransi Asuransi Usaha Tani Padi yang diterbitkan oleh
Jasindo dan telah mendapat pengesahan dari OJK. Total premi
asuransi pertanian pada Asuransi Usaha Tani Padi sebesar
Rp.180.000,- per hektar per meter tanam. Dalam Pasal 39
ayat (2) huruf b UU No. 19 Tahun 2013 dijelaskan tentang
pemerintah sesuai dengan kewenangannya memberikan
fasilitas salah satunya berupa bantuan pembayaran premi.
Bantuan pembayaran premi sebesar Rp.144.000,- per
hektar per musim tanam (80%) yang diberikan oleh pihak
pemerintah pada petani/kelompok tani harus dimanfaatkan
untuk membayar sisanya pada perusahaan asuransi Jasindo.
Sisa premi selanjutnya dibayarkan swadaya oleh petani
sebesar Rp. 36.000,- per hektar per musim tanam (20%).
Bantuan pembayaran premi dari pemerintah dan sisa
kekurangan pembayaran premi swadaya petani langsung
ditujukan pada perusahaan asuransi jasindo.
47

Dalam hubungan para pihak antara petani dan
perusahaan asuransi memiliki hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan.
48
Hak petani asuransi pertanian: (1)
mendapatkan kemudahan pendaftaran menjadi peserta
asuransi; (2) kemudahan akses terhadap perusahaan
ausransi; (3) mendapat penyuluhan dan sosialisasi tentang
asuransi pertanian; (4) menerima polis asuransi pertanian;
(5) berhak menerima bantuan pembayaran premi; dan (6)
mendapat ganti kerugian. Di sisi yang lain, kewajiban petani
asuransi pertanian: (1) membayar premi asuransi; (2)
memberikan informasi tentang usaha tani yang diasuransikan

47
Wawancara dengan staf bagian pemasaran PT. Asuransi Jasa
Indonesia, Soni.
48
Lihat, Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2016 tentang Bantuan Premi Asuransi Usaha Tani Padi.

90

dengan itikad baik; (3) berkewajiban ikut menjaga kondisi
usaha taninya.
Sementara itu, hak perusahaan asuransi: (1)
mendapatkan pembayaran premi; (2) mendapatkan
informasi petani tentang usaha tani yang di asuransikan; dan
(3) menolak atau menyetujui klaim asuransi pertanian. Di sisi
yang lain, kewajiban perusahaan asuransi: (1) memberikan
informasi dan kemudahan pada peserta asuransi pertanian;
(2) melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang asuransi
pertanian, menerbitkan polis asuransi pertanian; (3)
beritikad baik; dan (4) membayar klaim asuransi.
Sesuai dengan isi polis maka tanggung jawab pihak
tertanggung (petani/kelompok tani) adalah membayarkan
premi yang telah ditetapkan untuk memperoleh perlindungan
asuransi oleh pihak penanggung (perusahaan asuransi
Jasindo). Sebaliknya pihak penanggung berhak menerima
premi dan mempunyai kewajiban membayar klaim ganti rugi
jika terjadi akibat gagal panen.
Hubungan hukum yang timbul antara para pihak di
atas telah tertera pada ikhtisar asuransi (policy schedule).
Pasal 1 angka 1 Permentan RI No. 40 Tahun 2015
menjelaskan pengertian asuransi pertanian adalah perjanjian
antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk
mengikatkan diri dalam perjanjian asuransi pertanian risiko
usaha tani. Jadi jelas antara para pihak yang melakukan
perjanjian asuransi memiliki hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakannya.
2.2.2. Objek Pada Asuransi Pertanian
Program asuransi pertanian yang digagas Pemerintah
adalah upaya khusus (upsus) untuk meningkatkan
produktivitas padi. Tetapi, usaha disektor pertanian,
khususnya usaha tani padi dihadapkan pada risiko kerugian
gagal panen yang dapat sewaktu-waktu menimpa para petani.
Melalui asuransi pertanian petani dapat memperoleh ganti
rugi sebagai modal kerja untuk keberlangsungan usaha
taninya.

91

Bahwa risiko di bidang pertanian lebih besar
dibanding dengan non pertanian. Objek pada sektor
pertanian berbeda dengan sektor non pertanian karena
memiliki risiko yang sangat besar disebabkan oleh alam.
Risiko yang lebih besar dihadapi pada periode pra panen
daripada periode pasca panen, dimana produk pertanian ini
sudah meninggalkan ladang usaha tani.
49

Asuransi pertanian dapat diartikan sebagai suatu
sistem perlindungan terhadap kerugian atau kegagalan
produksi pertanian. Dalam sistem ini petani membayar premi
asuransi kepada perusahaan asuransi dan sebagai ganti pada
petani yang bersangkutan akan diberikan suatu perlindungan
berupa ganti kerugian jika terjadi kegagalan produksi atau
panen. Risiko kepentingan yang dimiliki para petani pada
produksi pertaniannya akan dilindungi oleh perusahaan
asuransi.
Kriteria lokasi yang diatur dalam Asuransi Usaha Tani
Padi dilaksanakan pada sawah irigasi (irigasi teknis, irigasi
setengah teknis, irigasi desa/sederhana, dan lahan rawa
pasang surut/lebak yang telah memiliki sistem tata air yang
berfungsi) dan lahan sawah tadah hujan yang tersedia
sumber-sumber air (air permukaan dan air tanah),
diprioritaskan pada: (1) wilayah sentra produksi padi dan
atau wilayah penyelenggaraan upaya khusus (upsus) padi;
dan/atau (2) lokasi terletak dalam satu hamparan.
50

Pasal 37 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2013 menjelaskan
asuransi pertanian melindungi petani dari gagal panen akibat
bencana alam seperti banjir dan kekeringan. Ganti rugi
diberikan kepada peserta Asuransi Usaha Tani Padi yang
kerusakan tanaman padinya diasuransikan dengan kondisi
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
51

49
Prosiding Simposium, Asuransi Agribisnis, 111.
50
Lihat, Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2016 tentang Bantuan Premi Asuransi Usaha Tani Padi.
51
Lihat, Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2016 tentang Bantuan Premi Asuransi Usaha Tani Padi..

92

1. Umur padi sudah melewati 10 hari (10 hari setelah
tanam/HST).
2. Umur padi sudah melewati 30 hari (teknologi tabela).
3. Intensitas kerusakan mencapai =75% dan luas kerusakan
mencapai =75% pada setiap luas petak alami.
Prosedur penyelesaian klaim ganti kerugian asuransi
pertanian di atur pada pedoman Asuransi Usaha Tani Padi.
Peserta asuransi pertanian dapat mengajukan klaim sesuai
dengan ketentuan diatas dan harus melaporkan secepat
mungkin adanya kerugian kepada Jasindo s elambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya kerugian atau
serangan organisme pengganggu tumbuhan. Selanjutnya akan
akan dilakukan verifikasi untuk mendapat persetujuan klaim
dan pelaksanaan pembayaran ganti kerugian.
2.2.3. Premi pada Asuransi Pertanian
Perjanjian asuransi adalah bersifat konsensuil karena
sebagai suatu perjanjian timbal balik. Artinya sejak terjadinya
kata sepakat timbul hak dan kewajiban pihak-pihak. Tetapi
perjanjian asuransi ini baru berjalan, jika hak dan kewajiban
itu dilaksanakan (diwujudkan). Ini berarti sejak dibayarnya
premi oleh tertanggung perjanjian asuransi itu berjalan. Jika
premi belum dibayar, perjanjian asuransi tidak berjalan.
Karena itu premi perlu dilunasi pada saat perjanjian asuransi
itu diadakan, atau pada saat bahaya mulai berjalan.
52

Menurut Pasal 1 angka 29 UU No. 40 Tahun 2014
dijelaskan premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh
perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dan
disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan berdasarkan
perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah
uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mendasari program asuransi
wajib untuk memperoleh manfaat. Hubungan hukum
asuransi ini mengatur penanggung menerima peralihan risiko

52
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2002), 74.

93

dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi
sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar maka
asuransi dapat dibatalkan atau setidaknya asuransi tidak
dapat berjalan.
Dalam Asuransi Usaha Tani Padi dijelaskan harga
pembayaran ganti rugi perjanjian asuransi ditetapkan
sebesar Rp.6.000.000,- per hektar per musim tanam. Harga
pada perjanjian asuransi menjadi dasar perhitungan premi
dan batas maksimum ganti rugi. Jangka waktu perjanjian
asuransi pada polis asuransi pertanian diterbitkan untuk satu
musim tanam dengan jangka waktu perjanjian asuransi
dimulai pada tanggal perkiraan tanam dan berakhir pada
tanggal perkiraan panen.
Premi asuransi pertanian adalah sejumlah uang yang
dibayar sebagai biaya untuk mendapatkan perlindungan
asuransi pertanian. Pada Asuransi Usaha Tani Padi diatur
total premi asuransi sebesar Rp.180.000,- per hektar per
musim tanam. Besaran bantuan premi dari pemerintah
Rp.144.000,- per hektar per musim tanam dan sisanya
swadaya petani Rp.36.000,- per hektar per musim tanam. Jika
luas lahan yang diasuransikan kurang atau lebih dari 1 (satu)
ha, maka besarnya premi (dan ganti rugi) dihitung secara
proporsional.
Bantuan pembayaran premi asuransi pada peserta
asuransi pertanian diatur pada Pasal 39 ayat (2) huruf d UU
No. 19 Tahun 2013. Penyaluran bantuan premi asuransi
untuk dan atas nama petani melalui perusahaan asuransi
pelaksana. Selanjutnya secara swadaya petani membayarkan
sisa kekurangan premi asuransi pada perusahaan asuransi
Jasindo.
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013
Teantang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ditetapkan
harga pembayaran ganti rugi perjanjian asuransi sebesar
Rp.6.000.000,- per hektar per musim tanam. Harga
penggantian kerugian harus dimanfaatkan oleh petani untuk
menutupi biaya modal awal yang mereka keluarkan berkisar

94

Rp.8.000.000 – Rp.10.000.000 per hektar per musim tanam.
53

Diharapkan kedepannya pemerintah dapat memberikan
penggantian kerugian yang sepadan atau setidaknya
mengembalikan untuk modal usaha tanam tani padi kembali.

Gambar 3: Pencairan Bantuan Premi AUTP
Perusahan asuransi meminta tagihan pembayaran
subsidi premi pada pemerintah melalui Kementerian
Pertanian. Direktur Pembiayaan Pertanian, Ditjen Prasarana
dan Sarana Pertanian selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) menetapkan peserta asuransi dan disahkan oleh
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian selaku
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Selanjutnya PPK
memberikan dana bantuan premi asuransi pada perusahaan
asuransi pelaksana untuk dan atas nama kelompok tani.
2.2.4. Polis pada Asuransi Pertanian
Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD, perjanjian
asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang
disebut polis. Polis ini sebagai alat bukti tertulis bahwa telah
terjadi perjanjian asuransi antara penanggung dan
tertanggung. Dalam polis disebutkan semua ketentuan dan

53
Wawancara dengan staf bagian pemasaran PT. Asuransi Jasa
Indonesia, Soni.

95

persyaratan tentang perjanjian asuransi yang telah dibuat.
54

Selanjutnya dijelaskan menurut Pasal 257 KUHD, yaitu:
Perjanjian asuransi diterbitkan seketika setelah
ditutup; hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bertimbal balik pada penanggung dan
tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu,
bahkan sebelum polisnya ditanda tangani.
Ditutupnya perjanjian menerbitkan kewajiban
bagi penanggung untuk menanda tangani polis
tersebut dalam waktu yang ditentukan dan
menyerahkan kepada tertanggung.
Selain syarat-syarat umum dalam polis harus
disebutkan juga isi polis dari berbagai perjanjian asuransi
yang diadakan lebih dulu, dengan ancaman batal jika tidak
disebutkan. Misalnya Pasal 256 angka 5 KUHD menjelaskan
tentang bahaya-bahaya yang ditanggungkan oleh penanggung
yang mengartikan bahwa pada polis harus disebutkan dengan
jelas bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung. Dan
bila bahaya itu atau salah satu dari bahaya-bahaya itu
menimbulkan kerugian pada barang yang diasuransikan
maka penanggung akan memberikan ganti rugi sebesar
kerugian yang dialami atau seperti yang diperjanjikan.
55

Bagi perjanjian asuransi pertanian selain syarat-syarat
tersebut diatas didalam polis harus dimuat juga ketentuan
tambahan yaitu ketentuan Pasal 299 KUHD bagi perjanjian
asuransi hasil panen.
56
Polis asuransi ini menggunakan
wording sesuai polis asuransi Asuransi Usaha Tani Padi yang
diterbitkan oleh Jasindo dan telah mendapat pengesahan
sesuai surat OJK No.S-5427/NB.111/2015 tanggal 08 Oktober
2015. Dalam hal polis asuransi pertanian terdapat syarat-
syarat umum dan khusus yang dijelaskan pada Asuransi
Usaha Tani Padi, berisi sebagai berikut:
1. Kriteria peserta;

54
Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, 58.
55
Ibid.
56
Ibid., 58–59.

96

2. Kriteria lokasi;
3. Risiko yang dijamin;
4. Ganti rugi;
5. Harga pertanggungan;
6. Premi asuransi usaha tani padi; dan
7. Jangka waktu pertanggungan.
Kelompok tani menjadi perwakilan dalam
penandatanganan kesepakatan dengan perusahaan asuransi
yang di tuangkan pada polis asuransi pertanian. Selain
nantinya menjadi bukti untuk penggantian kerugian
pertanian, polis juga berfungsi sebagai alat untuk menghitung
pembayaran ganti kerugian. Selanjutnya petani yang sudah
menjadi peserta asuransi pertanian akan mendapatkan
bantuan pembayaran premi dari pemerintah.
Polis asuransi pertanian diterbitkan untuk satu musim
tanam dengan jangka waktu perjanjian asuransi dimulai pada
tanggal perkiraan tanam dan berakhirnya pada tanggal
perkiraan panen. Dalam satu tahun dapat dilakukan 4
(empat) kali masa tanam padi pada lahan pertanian. Tetapi
waktu yang terbaik untuk melakukan usaha tani padi adalah
3 (tiga) kali masa tanam dalam satu tahun karena untuk
mengurangi intensitas pemakaian lahan yang berakibat risiko
kerusakan lebih besar pada pertanian padi.
57

2.3. Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi terhadap
Asuransi Pertanian
Secara teknis kegiatan usaha di sektor pertanian akan
selalu dihadapkan pada risiko ketidakpastian yang cukup
tinggi. Risiko ketidakpastian tersebut meliputi tingkat
kegagalan panen yang disebabkan oleh bencana alam seperti
banjir atau kekeringan, dan serangan organisme pengganggu
tanaman. Perusahaan asuransi adalah pihak yang akan

57
Wawancara dengan staf bagian pemasaran PT. Asuransi Jasa
Indonesia, Soni.

97

menerima peralihan risiko dari seseorang yang ingin
mengalihkan risikonya.
PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) merupakan
perusahaan asuransi kerugian milik pemerintah (BUMN).
Dengan kedudukan sebagai BUMN Jasindo mempunyai peran
ganda, selain mencari keuntungan (laba) dituntut pula
sebagai agen pembangunan. Sebagai agen pembangunan
jasindo berperan:
58

1. Memberikan proteksi atas aset pemerintah, sehingga
apabila terjadi suatu risiko pembangunan dapat tetap
berjalan
2. Memobilisasi dana masyarakat untuk kepentingan
pembangunan
3. Tetap menjaga agar industri asuransi dapat tetap
dipercaya masyarakat dan sekaligus ikut menumbuh
kembangkan industri asuransi di Indonesia.
Begitu pula masalah perlindungan untuk agribisnis
(khususnya budi daya pertanian) di Indonesia yang sampai
saat ini masih termasuk dalam usaha tani berisiko tinggi
dengan permintaan untuk menutup usaha pertanian ini mulai
banyak bermunculan. Jasindo akan tetap ikut berusaha
mencari jalan keluar terbaik dan menguntungkan semua
pihak. Sehingga dapat diharapkan pembangunan di Indonesia
(khususnya pembangunan pertanian) dapat berjalan dengan
lancar.
59

Perusahaan asuransi Jasindo adalah BUMN yang
ditunjuk oleh pemerintah sebagai perusahaan yang
menangani asuransi pertanian ini seperti dalam Pasal 38 ayat
(1) UU No. 19 Tahun 2013 dan Pasal 22 Permentan RI No. 40
Tahun 2015. Selanjutnya dijelaskan Pasal 38 UU No. 19 Tahun
2013 sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya menugaskan badan

58
Prosiding Simposium, Asuransi Agribisnis, 38.
59
Ibid., 39.

98

usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah dibidang asuransi untuk
melaksanakan Asuransi Pertanian.
(2) Pelaksanaan Asuransi Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam pelaksanaan asuransi pertanian Perusahaan
asuransi pertanian Jasindo menjalankan program asuransi
pertanian tanpa memiliki hubungan dengan konsorsium atau
perusahaan asuransi lainnya. Pemerintah melalui perusahaan
asuransi memberikan beberapa fasilitas pada para petani
untuk diberikan kemudahan dalam mendaftar menjadi
peserta asuransi dan kemudahan berhubungan dengan
perusahaan asuransi. Kewajiban pemerintah ini diatur di
Pasal 39 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2013. Fasilitas dimaksud
meliputi kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta,
kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi, sosialisasi
program asuransi terhadap petani dan perusahaan asuransi,
dan/atau bantuan pembayaran premi.
Perusahaan asuransi Jasindo dengan Dinas Pertanian
dibantu UPTD (unit Pelaksana Tugas Dinas) / PPL (Petugas
Penyuluh Lapangan) melakukan sosialisasi pada sejumlah
daerah di Indonesia khususnya wilayah penghasil padi.
Memberikan pembelajaran akan pentingnya asuransi
pertanian untuk melindungi para petani di lingkungan usaha
taninya. Tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat
kendala pada saat melakukan sosialisasi pada para petani
untuk mengenalkan asuransi pertanian.
60
Tentang risiko-risiko yang diasuransikan oleh para
petani mengartikan bahwa pada polis harus disebutkan
dengan jelas apa saja risiko yang dijamin oleh perusahaan
asuransi. Apabila risiko tersebut atau salah satu dari risiko-
risiko tersebut menimbulkan kerugian pada pertanian yang

60
Wawancara dengan staf bagian pemasaran PT. Asuransi Jasa
Indonesia, Soni.

99

diasuransikan maka perusahaan asuransi akan memberikan
ganti rugi sebesar kerugian yang dialami atau seperti yang
diperjanjikan. Seperti yang dialami kelompok tani Desa
Bukur, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan yang
memperoleh klaim ganti rugi asuransi dari Jasindo akibat
tanaman padinya seluas 10 hektare rusak diserang hama
tikus.
61

Asuransi pertanian di Indonesia bersifat indemnity
based atau ganti rugi, dimana perusahaan asuransi akan
melakukan penggantian berdasarkan kerugian atau
kerusakan yang benar-benar terjadi dan dialami petani.
Dalam hal terjadi kerugian yang diakibatkan oleh risiko yang
dijamin polis maka peserta asuransi pertanian harus
melakukan langkah-langkah klaim sebagai berikut:
1. Melaporkan adanya kerugian / serangan organisme
pengganggu tumbuhan kepada PPL setempat, yang
kemudian bersama-sama dengan P-OPT/PHP melakukan
tindakan pencegahan atas serangan yang terjadi.
2. Melaporkan secepat mungkin adanya kerugian kepada
Jasindo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
terjadinya kerugian / serangan organisme pengganggu
tumbuhan.
3. Bersama-sama dengan P-OPT/PHP membantu petugas
Jasindo untuk melakukan survey ke lokasi kerugian.
4. Melengkapi dokumen pendukung klaim sesuai dengan
pedoman Asuransi Usaha Tani Padi, yaitu:
- Formulir pemberitahuan kerusakan yang telah di isi
dan ditanda tangani;
- Berita acara pemeriksaan kerusakan yang telah di isi
dan ditanda tangani;

61
Suara Merdeka, “Gagal Panen, Petani Bukur Terima Klaim
Asuransi,” Suaramerdeka.Com, accessed August 1, 2017,
http://www.jasindo.co.id/media-corner/berita-jasindo/detail/gagal-
panen-petani-bukur-terima-klaim-asuransi.

100

- Fotokopi polis asuransi/sertifikat polis asuransi
berikut lampirannya;
- Foto-foto kerusakan; dan
- Bukti pembayaran premi 20 %.

Gambar 4: Proses Klaim AUTP
Jika pada pelaksanaan pertanian mengalami
kerugian/kerusakan pada usaha tani padi maka secepatnya
petani melapor pada jasindo selaku perusahaan asuransi.
Selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh pihak perusahaan
asuransi dibantu pihak dari dinas pertanian setempat untuk
turun kelapangan meninjau lahan dan memeriksa data
perihal lahan usaha tani tersebut. Misal dalam kelompok tani
ada 1 (satu) hektar lahan tani yang terbagi 5 (lima) petak
lahan dan klaim kerugian hanya 1 (satu) petak lahan maka
yang diganti kerugian adalah 1 (satu) petak lahan tersebut.
62

Setelah langkah-langkah proses klaim selesai
selanjutnya menunggu untuk memperoleh persetujuan klaim
dari perusahaan asuransi. Jika dinyatakan setuju terhadap

62
Wawancara dengan staf bagian pemasaran PT. Asuransi Jasa
Indonesia, Soni.

101

klaim yang diajukan maka pembayaran ganti rugi seperti
diatur pada pedoman Asuransi Usaha Tani Padi dilaksanakan
sebagai berikut:
1. Pembayaran atas klaim yang diajukan akibat gagal panen
diukur sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi.
2. Pembayaran Ganti Rugi atas klaim dilaksanakan paling
lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak Berita Acara
Hasil Pemeriksaan Kerusakan.
3. Pembayaran Ganti Rugi dilaksanakan melalui pemindah
bukuan ke rekening Tertanggung.
3. Bab III: Perlindungan Hukum bagi Petani terhadap
Perjanjian Asuransi Pertanian pada Program
Ketahanan Pangan oleh Pemerintah
3.1 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Di dalam suatu peraturan, hal yang paling penting
dalam terbentuknya suatu peraturan adalah asas. Asas dapat
diartikan sebagai dasar, landasan, fundamental, prinsip dan
cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan
dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara
khusus cara pelaksanaannya. Asas juga dapat disebut
pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak
berfikir tentang sesuatu.
Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan
hukum konkrit melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya
atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit
yang terdapat didalam dan dibelakang setiap sistem hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam
peraturan konkrit tersebut.
63
Satjipto Raharjo berpendapat
bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum,
namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa
mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya, asas-asas

63
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)
(Yogyakarta: Liberty, 2008), 6.

102

hukum memberikan makna etis kepada setiap peraturan-
peraturan hukum serta tata hukum.
64

Dijelaskan pada Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 bahwa
perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan serta kepastian
hukum. Melihat dari penjelasan tersebut dapat diketahui
bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan
nasional yaitu membangun masyarakat yang adil makmur.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu: berdasarkan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum:
1. Asas manfaat, untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan, untuk memaksimalkan partisipasi seluruh
elemen masyarakat dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh hak dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan, untuk memberikan kedudukan yang
seimbang antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,
dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. Asas kepastian hukum, untuk memberikan rasa keadilan
maka pelaku usaha dan konsumen harus menaati hukum
yang berlaku dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen, dengan demikian negara memiliki kewajiban
untuk memberikan kepastian hukum.
5. Asas keamanan dan kesehatan, untuk memberikan
jaminan atas keselamatan dan keamanan konsumen
dalam pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi.

64
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000), 87.

103

Mencermati asas perlindungan konsumen tersebut
dapat diketahui bahwa perumusannya mengacu pada filosofi
pembangunan nasional yaitu membangun manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu masyarakat adil makmur, baik lahir maupun
batin. Ahmadi Miru mengemukakan bahwa b erdasarkan
substansinya, maka kelima asas tersebut dapat dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu: asas kemanfaatan yang di dalamnya
meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas
keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
asas kepastian hukum.
65

Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum dibagi menjadi “tiga ide dasar hukum” atau
“tiga nilai dasar hukum”,
66 yang berarti dapat disamakan
dengan asas hukum. Diantara ketiga asas tersebut yang sering
menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana
Friedman menyebutkan bahwa “in term of law, justice will be
judged as how law treats people and how it distributes its
benefits and cost” dan dalam hubungan ini Friedman juga
menyatakan bahwa “every function of law, general or specific,
is alocative”.
67

Sebagai asas hukum dan berhubungan dengan gerakan
perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat
didalamnya, menempatkan asas ini menjadi rujukan pertama
dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam
aktivitas terkait dengan perlindungan konsumen. Dalam
prakteknya seringkali ditemui antara tujuan yang satu
dengan yang lain berbenturan, dicontohkan dalam kasus
hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya adil
menurut persepsi hakim tersebut, berakibat sering
merugikan kemanfaatan dari masyarakat luas dan begitu pula

65
Sri Handajani, Gianto Al Imron, and Bambang Sugeng Ariadi,
Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen (Surabaya: Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 2006), 10.
66
Lihat, Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), 95.
67
Peter Mahmud Marzuki, “The Need for The Indonesian
Economic Legal Framework,” Jurnal Hukum Ekonomi 11 (1997): 28.

104

sebaliknya.
68
Sedangkan dalam pola hubungan ini Radbruch
mengatakan bahwa menggunakan asas prioritas dimana
prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan-kemanfaatan-
kepastian hukum.
69

Selanjutnya, tujuan perlindungan konsumen dalam
penjelasan UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa peranti
hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya,
sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim
berusaha yang sehat, lahirnya perusahaan yang tangguh
dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang
dan/atau jasa yang berkualitas.
70
Di Amerika Serikat
misalnya oleh Stern dan Eovaldi dikemukakan tiga tujuan
utama pengaturan perlindungan konsumen, yaitu restricting
the communication of false information, requiring the
disclosure of information about product, dan preventing the
marketing of product that are unsafe or fail to meet
government safety standards.
71

Jelaslah bahwa pengaturan perlindungan konsumen di
Amerika Serikat berkaitan erat dengan kemajuan teknologi,
khususnnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi,
yang pada intinya bermaksud untuk melindungi hak-hak
konsumen sebagai manusia, disamping untuk menciptakan
atau mendorong persaingan yang sehat dalam berusaha.
Masing-masing Undang-undang yang diundangkan
mempunyai tujuan khusus.
72
Hal itu juga tampak dari
pengaturan Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999, yang mengatur
tujuan khusus perlindungan konsumen sekaligus
membedakan dengan tujuan umum sebagaimana

68
Ali, Menguak Tabir Hukum, 95–96.
69
Ibid., 96.
70
Gunawan Widjaja and Ahmad Yani, Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 17.
71
Lihat, Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di
Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), 28.
72
Achmad Ali, Menguak Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian
Filosofis Dan Sosiologis) (Jakarta: Gunung Agung, 2002), 25.

105

dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 8
Tahun 1999.
73

Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan 6 (enam)
tujuan dari perlindungan konsumen, yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari efek negatif pemakaian barang/ jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak -haknya sebagai
konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapat informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindunngan konsumen hingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
dan/atau
6. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang
disebutkan diatas bila dikelompokkan kedalam tiga tujuan
hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk
mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan
huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan
dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan huruf b, termasuk
huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang
diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam
rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak,
oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada

73
Ahmad Miru and Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan
Konsumen (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 34.

106

huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat
dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
74

Keenam tujuan dari UU No. 8 Tahun 1999 dapat
terwujud apabila ada hubungan yang sinergi antara
konsumen dan pelaku usaha yang sadar akan hak dan
kewajibannya masing-masing. Selain itu, pihak pemerintah
sebagai pengawas pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1999 melalui
dinas-dinas terkait juga harus berperan aktif untuk
mewujudkan tujuan tersebut.
3.2 Bentuk Perlindungan Hukum bagi Petani pada
Perjanjian Asuransi Pertanian
Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya
sebatas kepada pembeli, pengertian konsumen sebagaimana
terdapat pada Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tidak
disebutkan kata pembeli melainkan kata pemakai. Pengertian
pemakai dalam pengertian diatas menunjukkan hubungan
konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya karena
berdasarkan hubungan transaksi atau perjanjian jual beli
saja, melainkan lebih daripada hal tersebut seseorang dapat
disebut sebagai konsumen dan dalam hal ini para petani
dapat dikatakan sebagai konsumen.
75

Keikutsertaan petani pada berbagai program dan jenis
asuransi sangat bergantung pada pemahaman petani
terhadap produk yang ditawarkan perusahaan asuransi.
Asuransi dapat dinikmati petani sebagai tertanggung dengan
terlebih dahulu menandatangani polis sebagai bentuk
kesepakatan keikutsertaan asuransi dengan memenuhi
kewajiban membayar premi pada skala waktu tertentu.
Adanya perjanjian asuransi bertujuan memperalihkan risiko
dari tertanggung kepada penanggung, dengan penanggung
menerima sejumlah uang sebagai imbalan sebagai premi.
76

74
Ibid.
75
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen Dan
Tanggung Jawab Produk (Jakarta: Pantai Rei, 2005), 24.
76
Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, 33.

107

Petani pada perjanjian asuransi pertanian ini sebagai
konsumen karena merupakan nasabah dari perusahaan
asuransi Jasindo. Polis asuransi pertanian merupakan
perjanjian baku yang sudah dipersiapkan dan ditetapkan oleh
perusahaan asuransi yang mengikat dan wajib disepakati
petani. Isi perjanjian asuransi pertanian ditetapkan secara
sepihak oleh perusahan asuransi, sedangkan konsumen tidak
turut serta menentukan isi perjanjian tersebut. Setelah
perjanjian asuransi terjadi petani hanya menandatangani
perjanjian asuransi yang dituangkan dalam bentuk polis.
Polis yang merupakan klausula baku sesuai dengan
Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 8
Tahun 1999 disebutkan bahwa pada prinsipnya
pencantuman klausula baku dalam setiap perjanjian baku
tidaklah dilarang, yang dilarang hanyalah pencantuman baku
yang memberatkan dan merugikan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1999.
77
Klausula baku yang dituangkan pada polis sifatnya
tidak melanggar, tetapi jika tidak sesuai aturan yang jelaskan
diatas maka dapat dibatalkan. Petani sebagai kreditur
berkewajiban membayar premi untuk dapat memperoleh
proteksi atau perlindungan dari debitur, sebaliknya
perusahaan asuransi sebagai debitur berkewajiban
memberikan proteksi atau perlindungan untuk ganti
kerugian atas risiko yang diperjanjikan.
Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen
adalah :
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan
haknya;
2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena
sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana

77
Handajani, Al Imron, and Ariadi, Buku Ajar Hukum
Perlindungan Konsumen, 80.

108

haknya disalurkan jika mendapat kesulitan atau
kekurangan dari standar barang atau jasa sewajarnya;
3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi
masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-
haknya;
4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang
berkepanjangan;
5. Posisi konsumen yang lemah.
78

Konsumen dalam hal ini petani memiliki risiko yang
lebih besar dari pada perusahaan asuransi yang disebabkan
posisi tawar yang lemah, maka hak-hak petani sangat riskan
untuk dilanggar. Hak konsumen diatur dalam Pasal 4 UU No.
8 Tahun 1999, yang menyatakan hak konsumen sebagai
berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;

78
Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen Dan
Tanggung Jawab Produk, 42.

109

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 39 ayat (2) UU No. 29 Tahun 2013 menjelaskan
setiap petani yang menjadi peserta asuransi pertanian
mendapatkan fasilitas yang meliputi kemudahan pendaftaran
untuk menjadi peserta, kemudahan akses terhadap
perusahaan asuransi, sosialisasi program asuransi terhadap
petani dan perusahaan asuransi, dan/atau b antuan
pembayaran premi.
Selanjutnya, Pasal 31 UU No. 40 Tahun 2014
menjelaskan sebagai berikut:
(1) Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Perasuransian
wajib menerapkan segenap keahlian,
perhatian, dan kecermatan dalam melayani
atau bertransaksi dengan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
(2) Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Perasuransian
wajib memberikan informasi yang benar,
tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan
kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta mengenai risiko, manfaat,
kewajiban dan pembebanan biaya terkait
dengan produk asuransi atau produk
asuransi syariah yang ditawarkan.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan
reasuransi syariah, perusahaan pialang
asuransi, dan perusahaan pialang
reasuransi wajib menangani klaim dan

110

keluhan melalui proses yang cepat,
sederhana, mudah diakses, dan adil.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah dilarang
melakukan tindakan yang dapat
memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim, atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan
sehingga mengakibatkan kelambatan
penyelesaian atau pembayaran klaim.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penanganan klaim dan keluhan melalui
proses yang cepat, sederhana, mudah
diakses, dan adil sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
Hak-hak dan fasilitas diatas diberikan pada para
petani sebagai bentuk perlindungan hukum menjadi peserta
asuransi pertanian. Pemerintah juga ikut memberdayakan
petani melalui Pasal 55 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2013
dengan memberikan jaminan ketersediaan lahan pertanian
untuk para petani. Adanya pemberdayaan pada petani dalam
kegiatan usaha taninya sesuai dengan salah satu asas yang
ada pada perlindungan konsumen.
Dalam keterkaitan antara hak dan petani, salah satu
cara yang paling utama dalam mencapai keseimbangan
antara perlindungan hukum bagi petani dengan perlindungan
perusahaan asuransi adalah dengan menegakkan hak-hak
petani. Selain memberikan perlindungan ganti kerugian pada
hasil pertanian, pemerintah juga berkewajiban melindungi
hak-hak petani yang melaksanakan asuransi pertanain sesuai
dengan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999. Salah satu hak utama
yang diterima petani adalah menerima pembayaran ganti
kerugian atas lahan pertanian yang sudah di asuransikan dan
mendapatkan bantuan premi.

111

Bentuk perlindungan bagi petani secara umum diatur
pada UU No. 8 Tahun 1999 yang menjelaskan pemberian
jaminan hak-hak konsumen atau petani lebih diperhatikan.
Selain memberikan perlindungan hukum pada para petani
sebagai konsumen, pada perjanjian asuransi pertanian juga
menempatkan para petani pada posisi tawar yang lebih kuat.
Konsumen secara umum dilindungi oleh hukum karena
tujuan hukum adalah memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat.
79

Pelaku usaha dalam hal ini adalah perusahaan
asuransi harus diberikan batasan-batasan dalam kegiatannya.
Sehubungan dengan hal itu, dalam UU No. 8 Tahun 1999 telah
mengatur beberapa perbuatan pelaku usaha yang dilarang.
Larangan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
bisnisnya itu diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 UU
No. 8 Tahun 1999.
UU No. 8 Tahun 1999 membentuk Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masayarakat (LPKSM) untuk
memberikan perlindungan terhadap konsumen. Pasal 31 UU
No. 8 Tahun 1999 menunjukkan bahwa Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk sebagai upaya untuk
mengembangkan perlindungan konsumen. Sedangkan Pasal
44 UU No. 8 Tahun 1999 menjelaskan Pemerintah mengakui
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyara kat
(LPKSM) yang memenuhi syarat.
Bentuk perlindungan hukum petani diatur pada Pasal
1 angka 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan yang menjelaskan adanya lembaga
jasa keuangan yang merupakan lembaga pelaksana kegiatan
di sektor perasuransian. Petani sebagai peserta asuransi
pertanian secara jelas dilindungi karena melakukan kegiatan
di sektor perasuransian. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014

79
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, 11.

112

Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor
Jasa Keuangan.
Perusahaan asuransi wajib menjadi lembaga mediasi
seperti di atur dalam Pasal 54 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014.
Penyelesaian sengketa perasuransian dapat melalui Badan
Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yaitu lembaga yang
membantu tertanggung mendapatkan sebuah kesepakatan
tuntutan ganti rugi/manfaat. Hasil dari penyelesaian sengketa
ini adalah bersifat final dan mengikat kedua belah pihak.
Perusahaan asuransi pertanian harus memberikan
hak-hak petani sesuai dengan polis asuransi pertanian yang
disepakati. Perusahaan asuransi pertanian harus
memperlakukan dan melayani petani secara benar,
memberikan informasi secara transparan, beritikad baik, dan
memberikan ganti kerugian sesuai perjanjian asuransi
pertanian. Selain asuransi pertanian, adanya perlindungan
hukum pada petani akan membuat petani dapat bekerja
secara maksimal dalam menjalankan produksi pertaniannya.
Berbagai langkah dilakukan dalam upaya memberikan
bentuk perlindungan kepentingan pada konsumen. Batasan-
batasan agar perusahaan asuransi dalam kegiatan usahanya
tidak merugikan konsumen merupakan hal penting yang
harus diperhatikan. Dengan adanya batasan-batasan akan
membuat perusahaan asuransi mengetahui kegiatan yang
boleh dan yang dilarang untuk dilaksanakan. Dalam konteks
melindungi kepentingan konsumen serta menciptkan iklim
asuransi yang kondusif, maka berbagai peluang dan
perbuatan yang memungkinkan timbulnya kerugian
konsumen harus dicegah.
3.3 Upaya Hukum bagi Petani p ada Penyelesaian
Sengketa Perjanjian Asuransi Pertanian
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa Indonesia
sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya yang

113

menyangkut harkat dan martabat sesuai dengan Pancasila.
80

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan
Pancasila, maka yang paling penting ialah asas kerukunan
berdasarkan kekeluargaan. Asas kerukunan berdasarkan
kekeluargaan menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian
masalah yang berkaitan dengan masyarakat sedapat mungkin
ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.
81

Petani yang menjadi peserta asuransi pertanian
mendapatkan fasilitas yang diatur pada Pasal 39 UU No. 19
Tahun 2013. Selanjutnya seperti yang dijelaskan diatas yaitu
Pasal 31 UU No. 40 Tahun 2014 para peserta asuransi
pertanian mendapat hak-hak seperti ganti kerugian.
Diperjelas dengan Pasal 31 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2014
tentang salah satu hal yang dilarang dilakukan oleh
perusahaan asuransi adalah tindakan yang dapat
memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim.
Selain melindungi usaha tani dari risiko gagal panen /
kerugian, para petani yang menjadi peserta asuransi
pertanian juga dilindungi akan semua kepentingannya dalam
proses pelaksanaan. Misalnya hak-hak para petani yang
menerima bantuan pembayaran premi dan mendapatkan
pembayaran klaim ganti kerugian. The Guidelines for
Consumer Protection (general principle) Resolusi PBB No.
39/248 Tahun 1985 juga merumuskan berbagai kepentingan
konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:
82

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap
kesehatan dan keamanannya;

80
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 84.

81
Ibid.
82
Lihat, United Nations Guidelines for Consumer Protection
(Resolusi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perlindungan
Konsumen) Nomor 39/248 Tahun 1984 sebagaimana diperluas pada
tahun 1999.

114

2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi
konsumen;
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen
untuk memberikan kemampuan mereka melakukan
pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan
pribadi;
4. Pendidikan konsumen, termasuk pendidikan mengenai
dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi atas pilihan
mereka;
5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau
organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapat dalam
protes pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka;
7. Promosi pola konsumsi yang berkelanjutan.
Perusahaan asuransi tidak dibenarkan melakukan
tindakan memperlambat penyelesaian atau pembayaran
klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan sehingga mengakibatkan keterlambatan
penyelesaian atau pembayaran klaim asuransi dapat dikenai
sanksi berupa peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan
sanksi pencabutan izin usaha dijelaskan pada Pasal 71 ayat
(1) UU No. 40 Tahun 2014.
Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 merumuskan, atas
adanya kerugian konsumen pelaku usaha bertanggung jawab
memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen, akibat mengkonsumsi barang dan/jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan, dan/atau pemberian santunan yang
sesuai denagn ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan asuransi pertanian saat ini belum
pernah terjadi sengketa antara pihak perusahaan asuransi
dan peserta asuransi. Kegiatan asuransi pertanian masih

115

terhitung hal yang baru dalam masyarakat Indonesia
khususnya para petani. Asuransi pertanian baru diuji coba
pada kurun waktu 2011 sampai 2013 dan mulai disosialisasi
pada saat Pemerintahan Presiden Jokowi dan JK untuk
program ketahanan pangan nasional.
83

Seperti dijelaskan di atas, sengketa pada asuransi
pertanian belum pernah terjadi dalam pelaksanaannya.
Tetapi jika terjadi maka penyelesaian sengketa dapat melalui
mediasi terlebih dahulu seperti pada Pasal 54 ayat (4) UU No.
40 Tahun 2014 mengatur tentang adanya penyelesaian
sengketa melalui mediasi antara para pihak yang hasil
kesepakatannya bersifat final dan mengikat. Lembaga resmi
yang ditunjuk pemerintah untuk menyelesaikan sengketa
asuransi melalui jalur arbitrase adalah Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI).
Jika dikemudian hari terjadi sengketa atau
permasalahan antara pihak peserta asuransi dengan
perusahaan asuransi tidak bisa diselesaikan melalui mediasi
maka diketahui bahwa gugatan sengketa konsumen diajukan
melalui peradilan umum, dengan demikian ketentuan hukum
acara yang digunakan mengacu kepada hukum acara perdata
biasa yaitu Herziene Inlands Reglemen (HIR) yang memang
sampai saat ini masih berlaku sebagai hukum positif di
Indonesia. Dalam mengajukan gugatan sengketa konsumen
ada satu persyaratan khusus yaitu harus ada dokumen yang
membuktikan bahwa konsumen benar-benar dirugikan salah
satu diantaranya yaitu bukti transaksi antara konsumen dan
perusahaan asuransi.
Pasal 70 UU No. 19 Tahun 2013 dijelaskan:
(1) Kelembagaan petani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri
atas:
a. Kelompok Tani;
b. Gabungan Kelompok Tani;
c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan

83
Wawancara staf pemasaran PT. Jasa Asuransi Indonesia, Vonny.

116

d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
(2) Kelembagaan Ekonomi Petani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) berupa
badan usaha milik petani.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi
terbentuknya kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi
petani. Pasal 71 UU No. 19 Tahun 2013 menjelaskan Petani
berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam
kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (1). Selanjutnya Pasal 74 UU No. 19 Tahun 2013
menjelaskan kelompok tani dan gabungan kelompok tani
berfungsi sebagai wadah pembelajaran, kerja sama dan tukar
menukar informasi untuk menyelesaikan masalah dalam
melakukan usaha tani sesuai dengan kedudukannya.
Dalam hal ini, jelas bisa dilakukan upaya class action
dalam menyelesaikan kemungkinan adanya sengketa. Para
petani yang tergabung pada kelompok tani dapat melakukan
upaya penyelesaian sengketa melalui gugatan secara class
action yang diatur pada Peraturan Mahkamah Agung No.1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Ketentuan ini mengatur mengenai prosedur atau tata cara
gugatan perwakilan kelompok (class action).
Selain itu, Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun
1999 menjelaskan gugatan class action memiliki 4 (empat)
pihak yang berhak menggugat, yaitu :
84

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya;
2. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama (private class action);
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
atau
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait (public class action).

84
Handajani, Al Imron, and Ariadi, Buku Ajar Hukum
Perlindungan Konsumen, 151.

117

Class action adalah suatu gugatan perdata yang
diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok dan kelompok yang
diwakili.
85
Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun 1999
menyatakan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama. Dengan ini para petani yang
tergabung dalam kelompok tani asuransi pertanian dapat
melakukan upaya penyelesaian gugatan class action jika
terjadi sengketa dengan kepentingan yang sama.
Keuntungan menggunakan prosedur class action, yaitu
proses berperkara menjadi sangat ekonomis (judicial
economy), akses terhadap keadilan (access to justice), serta
mendorong bersikap hati-hati (behaviour modification) dan
mengubah sikap pelaku pelanggaran. Di sisi yang lain,
kelemahannya adalah kelemahan dalam mengelola, dapat
menyebabkan ketidakadilan, d apat mengakibatkan
kebangkrutan pada tergugat, dan publikasi gugatan class
action dapat menyudutkan pihak tergugat menggunakan
prosedur class action.
86

Dalam Pasal 1 huruf b Peraturan Mahkamah Agung
No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok menyebutkan bahwa wakil kelompok adalah salah
satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang
mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang
yang lebih banyak jumlahnya (anggota kelompok). Dengan
demikian pihak yang tidak menderita kerugian tidak dapat
mengajukan gugatan sebagai wakil kelompok yang dirugikan
karena tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai orang
yang berhak mewakili kelompok tersebut berdasarkan pasal
1 huruf b Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan

85
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum
Perlindungan Konsumen (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), 142.
86
Ibid., 147–149.

118

Kelompok. Pihak yang mewakili kelompok yang dirugikan
tersebut juga harus memiliki kejujuran dan kesungguhan
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya,
memiliki kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan bersifat substansial serta kesamaan
jenis tuntutan dengan para anggota kelompok yang
diwakilinya.
87

Unsur-unsur class action terdiri atas: (1) gugatan
secara perdata; (2) wakil kelompok (class representative); (3)
anggota kelompok (class members); (4) manfaat class action;
(5) adanya kerugian; (6) kesamaan peristiwa atau fakta dan
dasar hukum; dan persyaratan mengajukan class action.
88

Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi maka kepadanya dikenakan sanksi-
sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi
pidana. Pemberian sanksi ini penting mengingat bahwa
menciptakan iklim usaha yang sehat membutuhkan
keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi merupakan salah
satu alat untuk mengembalikan keadaan untuk keadaan
semula manakala terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus
sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak
terulang lagi perbuatan yang sama.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
perusahaan asuransi melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan perusahaan
asuransi atau melalui peradilan yang berada dilingkungan
peradilan umum. Demikian juga halnya meng enai
penyelesaian sengketa antara konsumen dan perusahaan
dengan menggunakan class action mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam
Pasal 45 dan Pasal 48 UU No. 8 Tahun 1999.

87
Ibid., 166.
88
Ibid., 142–143.

119

4. Bab IV: Penutup
4.1. Kesimpulan
Pertama, pertanggungjawaban perusahaan asuransi
terkait asuransi pertanian adalah untuk memberikan ganti
kerugian kepada petani apabila terjadi kerugian yang
diakibatkan oleh risiko misalnya banjir, kekeringan dan
serangan organisme pengganggu tumbuhan yang dijamin
pada polis Asuransi Usaha Tani Padi. Untuk itu pemerintah
berupaya meningkatkan ketahanan pangan nasional terutama
yang bersumber dari peningkatan hasil produksi di sektor
pertanian khususnya usaha tani padi. Sesuai karakteristik
asuransi pertanian ini memberikan perlindungan kepada
petani jika terjadi gagal panen dan adanya bantuan
pembayaran premi.
Kedua, perlindungan hukum bagi petani terhadap
perjanjian asuransi pertanian pada program ketahanan
pangan oleh pemerintah adalah dengan memberikan hak-hak
petani seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang. Selain
itu juga memberikan perlindungan lewat adanya Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, bentuk
perlindungan hukum petani juga diatur oleh lembaga jasa
keuangan yang merupakan lembaga pelaksana di sektor
perasuransian. Memberikan fasilitas dan mempermudah
petani dalam mengajukan klaim pada perusahaan asuransi
yang ditunjuk pemerintah yaitu Jasindo.
4.2. Saran
Selain bertanggung jawab memberikan ganti kerugian
pada petani, perusahaan asuransi bersama pemerintah
berkewajiban untuk melakukan sosialisasi tentang risiko-
risiko yang ditanggung petani sebagai upaya meyakinkan
para petani akan pentingnya asuransi pertanian. Sosialisasi
secara berkelanjutan tentang asuransi pertanian diharapkan
dalam waktu jangka panjang banyak manfaat yang bisa
didapatkan dari program ini yaitu menghindari semakin
berkurangnya profesi petani dan lahan pertanian dari tahun

120

ke tahun serta meningkatkan hasil pertanian yang bertujuan
menguatkan ketahanan pangan Indonesia.
Program asuransi pertanian ini perlu untuk
dilanjutkan atau bahkan ditingkatkan sebagai itikad baik
pemerintah untuk memakmurkan petani di Indonesia.
Program asuransi pertanian ini perlu untuk terus dievaluasi
dan diawasi secara berkelanjutan agar menjadi lebih efektif
dan efisien untuk melindungi hak-hak dan kepentingan
petani. Bentuk perlindungan hukum bagi petani harus diatur
dan dijelaskan agar saat terjadinya sengketa dengan cepat
diselesaikan.

Daftar Pustaka
Ali, Achmad. Menguak Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian
Filosofis Dan Sosiologis). Jakarta: Gunung Agung, 2002.
———. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Chandra Pratama,
1996.
Andrayani, Dian. Asuransi Pertanian Sebagai Sarana
Meningkatkan Kesejahteraan Perani (Analisis Simulasi
Pada PT. Saung Mirwan Dan Mitra Taninya Di
Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor). Bogor:
Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian
Bogor, 2013.
Bahua, Mohamad Ikbal. “Pembangunan Ketahanan Pangan Di
Era Otonomi Daerah.” Jurnal Pangan Nasional (2009).
Chumaida, Zahry Vandawati. Hukum Asuransi (Catatan
Perkuliahan). Surabaya: Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, 2013.
———. “Prinsip Itikad Baik Dan Perlindungan Tertanggung
Pada Perjanjian Asuransi Jiwa.” Surabaya: Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, 2013.
Cowells, John G. The Situation in Europe: European Insurance
Perspective. London: The Lloyd London Press, 1977.

121

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian. “Rencana
Strategi Tahun 2015-2019.” Accessed June 1, 2017.
https://www.ekon.go.id/publikasi/download/2053/1
498/renstra-d2-2015-2019.pdf.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Handajani, Sri, Gianto Al Imron, and Bambang Sugeng Ariadi.
Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen. Surabaya:
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006.
Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi Dan Perusahaan
Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Hasyim, Ali. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2002.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi).
Jakarta: Kencana, 2019.
———. “The Need for The Indonesian Economic Legal
Framework.” Jurnal Hukum Ekonomi 11 (1997).
Mayerson, Marc S. “Perfecting and Pursuiting Liability
Insurance Coverage a Primer for Policyholders on
Complying with Notice Obllgation.” Tort & Insurance
Law Journal 12 (1997).
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Liberty, 2008.
Miru, Ahmad, and Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan
Konsumen. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Otoritas Jasa Keuangan. “Statistik Perasuransian Indonesia
Tahun 2015.” Last modified 2015. Accessed August 17,
2017. http://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/asuransi/Documents/Pages/Statistik-

122

Perasuransian-Indonesia-2015.
Pasaribu, Sahat M. “Penerapan Asuransi Usaha Tani Padi Di
Indonesia: Alternatif Skenario Melindungi Petani Dan
Usaha Tani.” Accessed May 27, 2017.
http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/1539
/.
Prakoso, Djoko. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2004.
Presiden Republik Indonesia. “Peningkatan Produktivitas
Pangan Untuk Wujudkan Ketahanan Pangan.”
Accessed April 13, 2017.
http://presidenri.go.id/pangan/1967.html.
Prosiding Simposium. Asuransi Agribisnis. Bogor: Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, 1993.
Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia 6 (Hukum Pertanggungan) . Jakarta:
Djambatan, 1983.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2000.
Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek-Aspek Hukum Asuransi
Dan Surat Berharga. Bandung: Alumni, 1997.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen
Dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Pantai Rei, 2005.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Soetoprawiro, Koerniatmanto. Pengantar Hukum Pertanian.
Jakarta: Gapperindo, 2013.
Suara Merdeka. “Gagal Panen, Petani Bukur Terima Klaim
Asuransi.” Suaramerdeka.Com. Accessed August 1,
2017. http://www.jasindo.co.id/media-corner/berita-
jasindo/detail/gagal-panen-petani-bukur-terima-

123

klaim-asuransi.
Sumaryanto, and A. R. Nurmanaf. “Simpul-Simpul Strategi
Pengembangan Asuransi Pertanian Untuk Usaha Tani
Padi Di Indonesia.” Forum Penelitian Agro Ekonomi 25,
no. 2 (n.d.).
Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum
Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia,
2008.
Widjaja, Gunawan, and Ahmad Yani. Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001.
William, C. Arthur. Risk Management and Insurance. McGraw-
Hill International, 1995.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek van
Koophandel voor Indonesie).
UU No. 8 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3821).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253).
UU No. 19 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5433).
UU No. 40 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618).

124

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok.
Permentan RI No. 40 Tahun 2015 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1063).
Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 02
Tahun 2016 tentang Pedoman Bantuan Premi
Asuransi Usaha Tani Padi.

125

BAGIAN VI
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
1

Moch Choirul Rizal

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail: [email protected]

1. Bab I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Surabaya adalah ibukota Propinsi Jawa Timur,
Indonesia. Kota dengan simbol ikan hiu dan buaya tersebut
merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.
Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3
(tiga) juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis,
perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia
timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan
karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam

1
Diadaptasi dari Moch Choirul Rizal, “Tinjauan Hukum Pidana
Islam terhadap Sanksi Tindak Pidana Pencantuman Klausula Baku pada
Karcis Kendaraan Bermotor kepada Pengelola Jasa Parkir menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”
(Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 1-93,
dan diolah seperlunya. Tugas akhir tersebut juga dipublikasikan dalam
bentuk buku dan artikel yang terbit di jurnal ilmiah. Lihat, Moch Choirul
Rizal, “Sanksi Tindak Pidana Pencantuman Klausula Baku Pada Karcis
Kendaraan Bermotor,” al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 3,
no. 2 (2013): 299–322., dan Moch Choirul Rizal, Klausula Baku Perspektif
Hukum Pidana (Surabaya: Bijak Publishing, 2018), 1–73.

126

perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari
penjajah.
2

Sebagai kota metropolitan, Surabaya menjadi pusat
kegiatan perekonomian di daerah Jawa Timur dan sekitarnya.
Sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang jasa,
industri, dan perdagangan. Banyak perusahaan besar yang
berkantor pusat di Surabaya, seperti PT Sampoerna Tbk,
Maspion, Wing's Group, Unilever, Pakuwon Group, Jawa Pos
Group, dan PT PAL. Pusat perkantoran dan highrise building
(CBD) berada di sekitar Jalan Tunjungan, Basuki Rahmad,
Darmo, Mayjend Sungkono, HR. Muhammad, dan Ahmad Yani.
Kawasan industri di Surabaya di antaranya Surabaya
Industrial Estate Rungkut (SIER), Karangpilang, dan
Margomulyo.
3
Dewasa ini, terdapat puluhan pusat perbelanjaan
modern (mall) ternama, di antaranya: Ciputra World,
Tunjungan Plaza, Pakuwon Trade Center, Mal Galaxy, Golden
City Mall, Bubutan Junction (BG Junction), Royal Plaza, City of
Tomorrow (CiTo), Surabaya Town Square (Sutos), Hi Tech
Mall, Grand City Mall, Maspion Square, MEX Building, Pasar
Atum Mall, ITC Surabaya, Plaza Marina, dan Plaza Surabaya
yang oleh masyarakat Surabaya lebih dikenal dengan Delta
Plaza.
4

Berdirinya mall di Surabaya menarik minat konsumen
–khususnya warga Surabaya dan masyarakat Indonesia
bagian timur pada umumnya– untuk berkunjung sekaligus
berbelanja berbagai kebutuhan. Pada umumnya, konsumen
yang mengunjungi mall banyak memanfaatkan kendaraan
pribadi, baik sepeda motor maupun mobil, sebagai sarana
transportasi untuk menjangkau tempat tujuan. Setiap mall

2
Wikipedia, “Kota Surabaya,” Wikipedia, accessed October 11,
2012, http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya.
3
Ibid.
4
Wikipedia, “Daftar Pusat Perbelanjaan Di Surabaya,” Wikipedia,
accessed October 11, 2012,
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Pusat_Perbelanjaan_di_Surabaya.

127

yang berdiri kokoh selalu tersedia lahan parkir bagi
kendaraan yang digunakan oleh konsumen.
Penyediaan lahan parkir merupakan wujud perhatian
pelaku usaha (pendiri mall) untuk langkah pengaman bagi
kendaraan konsumen yang tengah berkunjung. Adapun salah
satu bentuknya adalah penitipan sepeda motor dan mobil.
Konsumen dikatakan menitipkan kendaraannya ketika
kendaraan yang dimaksud memanfaatkan lahan parkir yang
disediakan pelaku usaha. Lalu, konsumen mendapatkan tanda
bukti penitipan berbentuk semacam lembaran, yang
umumnya disebut dengan karcis.
Namun, niat baik pelaku usaha dalam mengelola jasa
parkir bagi konsumen tidak selamanya terealisasikan. Tak
putus dirundung malang, sepertinya ungkapan ini tepat bagi
konsumen jasa perparkiran. Betapa tidak, selain harus
bersiap merogoh kocek lebih dalam akibat kebijakan tarif
parkir yang berbeda-beda, keamanan konsumen parkir juga
mulai tergerus. Lebih malang lagi, karena setiap mengurus
kehilangan barang di tempat parkir, konsumen harus beradu
mulut dengan operator. Bahkan, acapkali kehilangan barang
atau kendaraan di tempat parkir berakhir tanpa
mendapatkan ganti sepadan.
5

Selama ini, pengelola parkir terkesan enggan
mengganti kehilangan barang atau kendaraan di area parkir.
Artinya, konsumen harus menanggung sendiri r esiko
terjadinya kerusakan dan kehilangan atas kendaraan serta
barang-barang didalamnya.
6 Pengelola jasa parkir selalu
beralasan bahwa itu sesuai dengan perjanjian/klausula yang
mengikat antara pengelola dan konsumen yang telah tertuang
di karcis parkir, yaitu “pengelola parkir tidak
bertanggungjawab terhadap kehilangan barang dan/atau
kendaraan”, dan dengan berbagai macam kalimat yang
menyerupainya.

5
Karunia Asih Rahayu, “Melawan Klausula Baku Tiket Parkir,”
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, accessed October 11, 2012,
http://www.ylki.or.id/melawan-klausula-baku-tiket-parkir.html.
6
Ibid.

128

Pencantuman perjanjian/klausula yang telah tersebut
di atas merupakan salah satu bentuk dari klausula baku.
Artinya ialah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen. Setiap klausula baku yang telah
dibuat oleh pelaku usaha –dalam hal ini adalah pengelola jasa
parkir– merupakan perbuatan yang dilarang, sebagaimana
pada Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8
Tahun 1999) sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa
yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen;

129

f. memberi hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai,
atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Larangan dan persyaratan tentang pencantuman
klausula baku merupakan salah satu wujud keseimbangan
dalam hal kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Kemudian,
ketentuan ini merupakan upaya untuk mencegah munculnya
berbagai tindakan yang merugikan konsumen karena faktor
ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang, dan
sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku
usaha untuk memperoleh keuntungan dengan jalan
melanggar hukum.
7

Berdasarkan pengamatan peneliti, pencantuman
klausula baku pada karcis parkir kendaraan bermotor di
pusat perbelanjaan modern di Surabaya masih tumbuh subur.
Fenomena ini lantas menjadi lazim dan menjadi hal yang

7
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), 27.

130

tampak umum. Padahal, menurut Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999, pencantuman klausula baku termasuk
perbuatan yang dapat diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Terhadap sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 UU No. 8
Tahun 1999, dapat dijatuhkan pidana tambahan, berupa: (a)
perampasan barang tertentu; (b) pengumuman keputusan
hakim; (c) pembayaran ganti rugi; (d) perintah penghentian
kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya; (e) kerugian
konsumen; (f) kewajiban penarikan barang dari peredaran;
atau (g) pencabutan izin usaha.
Meski UU No. 8 Tahun 1999 menyatakan klausula
baku terlarang, batal demi hukum, dan mewajibkan
pengusaha pencantum untuk mencabutnya, ketentuan itu bak
macan kertas. Penyidik Kementerian Perdagangan
(Kemendag) pun belum pernah mengambil langkah represif
bagi pelanggar. Polisi juga tidak terlihat sadar akan
keberadaan ketentuan yang dilarang tersebut. Lebih lanjut,
Pemerintah masih lemah dalam hal penindakan terkait
pelanggaran UU No. 8 Tahun 1999, karena baru sampai
pemahaman akan isi UU No. 8 Tahun 1999.
8

Secara normatif, setiap pelanggaran yang dilakukan
produsen, maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum,
baik sanksi administratif maupun sanksi pidana sebagaimana
ketentuan di atas. Perbuatan yang bertentangan dengan
tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, seperti
pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan bermotor
di pusat perbelanjaan modern di Surabaya dapat
dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan.
9

Istilah kejahatan memiliki makna perbuatan -
perbuatan yang meskipun tidak ditentukan undang-undang

8
Hukumonline, “Penindakan Pencantum Klausula Baku Terlarang
Masih Minim,” Hukumonline, accessed October 11, 2012,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17990/penindakan-
pencantum-klausula-baku-terlarang-masih-minim.
9
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, 94.

131

sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan tata hukum.
10
Dalam ranah hukum
pidana ekonomi, dapat dikatakan pula bahwa pada umumnya
kejahatan itu dilakukan dengan sengaja.
11

Hukum pidana Indonesia memandang, bahwa
pencantuman klausula baku merupakan perbuatan yang
dapat dipidana karena telah terpenuhinya unsur-unsur
perbuatan pidana. Pertama, unsur subjektif, yaitu unsur yang
berasal dari dalam diri pelaku yang meliputi perbuatan yang
disengaja (dolus) atau karena kelalaian (culpa). Kedua, unsur
objektif, yaitu unsur yang berasal dari luar diri perilaku yang
terdiri atas perbuatan manusia, akibat perbuatan manusia,
keadaan-keadaan, adanya sifat melawan hukum, dan adanya
sifat dapat dihukum.
12
Apabila ada perbuatan pidana yang melanggar
ketentuan dalam undang-undang dan terpenuhi unsur-
unsurnya, maka sanksi akan segera menanti. Sanksi
merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan
pada keadaan semula manakala terjadi pelanggaran sekaligus
sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak
terulang lagi perbuatan yang sama.
13
Selain itu, adanya sanksi
dalam UU No. 8 Tahun 1999 tersebut bermaksud untuk
mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku taat hukum
dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi
nasional.
Sementera itu, tindak pidana dalam hukum pidana
Islam dikenal dengan istilah jarimah, yaitu perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan
pidana had atau ta’zir. Sebagaimana hukum pidana di
Indonesia, hukum pidana Islam memandang bahwa suatu

10
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), 71.
11
Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi (Surabaya: Erlangga,
1996), 37.
12
Leden Marpaung, Asas, Teori, Dan Praktik Hukum Pidana
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 9–10.
13
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, 94.

132

perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila
unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur umum berlaku untuk
semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk
masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang
satu dengan yang lainnya.
14

Djazuli mengemukakan, bahwa unsur-unsur umum
untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:
15

1. Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yaitu adanya nash yang
melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
ancaman pidana atas perbuatan-perbuatan tersebut.
2. Unsur material (al-rukn al-madi), yaitu adanya unsur
perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan
perbuatan yang diharuskan.
3. Unsur moral (al-rukn al-adabi), yaitu pelaku kejahatan
adalah orang yang dapat menerima kitab atau dapat
memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah
mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan
yang mereka lakukan.
Tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor di pusat perbelanjaan modern di
Surabaya belum diatur di dalam hukum pidana Islam. Oleh
karena itu, tindak pidana tersebut termasuk dalam jarimah
ta’zir karena tidak ditentukan di dalam al-Qur’an ataupun as-
Sunnah, sehingga penjatuhan pidana jarimah adalah
wewenang ul al-amri (penguasa) berdasarkan dengan
kemaslahatan umat.
Pidana ta’zir dimaksudkan untuk mencegah kerusakan
dan menolak timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya
ta’zir itu demikian, maka jelas sekali hal itu ada dalam al-
Qur’an dan as-sunnah, karena setiap perbuatan yang merusak

14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), 27–28.
15
A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam) (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), 3.

133

dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang.
16

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-
Qashash ayat 77:
        
         
          

Artinya: “Tuntutlah dengan karunia yang
dilimpahkan Allah kepadamu itu kebahagian
akhirat, tapi jangan lupakan bagianmu di dunia
ini. Banyaklah berbuat yang baik, sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah
berbuat kerusakan di dunia ini, sebab Allah tidak
suka kepada orang yang berbuat kerusakan.”
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 60:
…      
Artinya: “…dan janganlah kamu merajalela
berbuat kerusakan di muka bumi.”
Peranan ul al-amri dalam menghukum pelaku jarimah
ta’zir sangatlah penting. Tingkat kejahatan jelas akan
meningkat bila tidak ada alat yang menjerakannya yang
dijalankan oleh para pengelola urusan masyarakat.
17

Sebaliknya, jika ul al-amri bersikap tegas dengan membuat
berbagai peraturan perundang-undangan terhadap perilaku

16
Muslich, Hukum Pidana Islam, 11.
17
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam
(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 3.

134

yang dilarang berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang
dipimpinnya, maka niscaya kemashlahatan akan terjamin.
Tidak lain dan bukan, tujuan umum dari adanya
hukum adalah mewujudkan kemaslahatan bagi kebutuhan-
kebutuhan manusia. Pertama, kebutuhan primer, yaitu
kebutuhan akan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta
benda. Kedua, kebutuhan sekunder, yaitu hilangnya kesulitan
dari manusia, ringannya beban yang manusia pikul, dan
kemudahan manusia dalam kegiatan muamalah dan ibadah.
Ketiga, kebutuhan pelengkap, yaitu segala sesuatu yang dapat
memperindah keadaan manusia, dapat menjadi sesuatu yang
sesuai dengan tuntutan harga diri, dan kemuliaan akhlak.
18

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang timbul
adalah belum mampunya UU No. 8 Tahun 1999 –khususnya
Pasal 62 ayat (1) tentang pemidanaan– untuk menjerat para
pelaku usaha jasa pengelola parkir yang tetap mencantumkan
klausula baku pada karcis kendaraan bermotor. Artinya,
kehadiran pasal tersebut hanya merupakan formalitas belaka
dan bagai harimau tak bertaring. Oleh karena itulah peneliti
tertarik untuk meneliti dan menganalisis lebih lanjut.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar
belakang masalah di atas, peneliti mengidentifikasi beberapa
masalah yang timbul sebagai berikut:
1. Bentuk klausula baku pada karcis kendaraan bermotor di
pusat perbelanjaan modern di Surabaya.
2. Pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor yang dilarang oleh Pasal 18 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999 di pusat perbelanjaan modern di Surabaya.
3. Sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis parkir kendaraan bermotor terhadap pengelola jasa
parkir menurut Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999.

18
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Pusataka
Amani, 2003), 291–299.

135

4. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak
pidana pencantuman klausula baku pada karcis parkir
kendaraan bermotor kepada pengelola jasa parkir dalam
Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999.
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga
bertujuan agar permasalahan ini dapat dikaji dengan baik,
maka peneliti membatasi penelitian karya ilmiah ini dengan
batasan:
1. Sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis parkir kendaraan bermotor terhadap pengelola jasa
parkir menurut Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 62 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 1999.
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak
pidana pencantuman klausula baku pada karcis parkir
kendaraan bermotor kepada pengelola jasa parkir
menurut Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pokok masalah diatas,
maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sanksi tindak pidana pencantuman klausula
baku pada karcis parkir kendaraan bermotor terhadap
pengelola jasa parkir menurut Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal
62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi
tindak pidana pencantuman klausula baku pada karcis
parkir kendaraan bermotor kepada pengelola jasa parkir
menurut Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999?
1.5. Kajian Pustaka
Penelitian yang terkait dengan pelanggaran terhadap
UU No. 8 Tahun 1999 di antaranya telah diteliti oleh:

136

1. Mohammad Nadzir, pada tahun 2003, Jurusan Siyasah
Jinayah, dengan judul “Pelanggaran terhadap Hukum
Tentang Perlindungan Konsumen menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi
Perbandingan).” Dalam definisi operasionalnya, obyek
dalam penelitian tersebut adalah perlindungan konsumen
yang berhubungan dengan produk yang dapat
dikonsumsi.
19
Metodologi yang digunakan pada penelitian
tersebut adalah library research dengan metode analisis
deskriptif.
20
Dari penelitian tersebut didapatkan suatu
kesimpulan bahwa fungsi utama UU No. 8 Tahun 1999
dan hukum Islam adalah sama-sama mengangkat harkat
dan martabat kehidupan konsumen dengan cara
menetapkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
21

2. Dewi Setyaningsih, pada tahun 2005, Jurusan Muamalah,
dengan judul “Pelanggaran Hukum terhadap Larangan
Klausula Baku Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 dalam
Tinjauan Hukum Islam.” Dalam definisi operasionalnya,
obyek dalam penelitian tersebut adalah transaksi jual beli
dalam hukum perjanjian menurut Islam terkait dengan
penerapan klausula baku.
22
Metodologi yang digunakan
pada penelitian tersebut adalah library research dengan
metode analisis deskriptif.
23
Dari penelitian tersebut
didapatkan suatu kesimpulan bahwa hak khiyar (memilih)
ditetapkan oleh hukum Islam bagi orang yang melakukan
transaksi perdata agar tidak dirugikan sewaktu

19
Mohammad Nadzir, “Pelanggaran Terhadap Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Dan Hukum Islam (Studi Perbandingan)” (IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2003), 10.
20
Ibid., 15.
21
Ibid., 81–82.
22
Dewi Setyaningsih, “Pelanggaran Hukum Terhadap Larangan
Klausula Baku Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8
Tahun 1999 Dalam Tinjauan Hukum Islam” (IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2005), 8.
23
Ibid., 12.

137

bertransaksi, sehingga kemaslahatan yang dituju akan
tercapai.
24

3. Lailiya Rachmaliana, pada tahun 2011, Jurusan Muamalah,
dengan judul “Penerapan Klausula Baku pada Proses
Penerbitan Kartu Kredit Bank BNI Syariah Hasanah Card
(Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen).” Peneliti memfokuskan pada perjanjian baku
yang terdapat pada proses penerbitan kartu kredit Bank
BNI Syariah Hasanah Card. Metodologi yang digunakan
dalam penelitian tersebut adalah library research dengan
metode analisis deskriptif. Adapun dari penelitian ini
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa penerapan
klausula baku di Bank BNI Syariah masih belum sesuai
dengan ketentuan hukum Islam pada asas al-Hurriyah
(kebebasan) merupakan prinsip dasar dalam hukum
Islam dan merupakan prinsip dasar dalam hukum
perjanjian.
25
Ketiga hasil penelitian yang telah peneliti sebutkan di
atas memang mempunyai persamaan . Di antara
persamaannya adalah rujukan hukum positif ketiga
penelitian tersebut mengacu pada UU No. 8 Tahun 1999.
Namun, di dalam persamaan itu, terdapat juga beragam
perbedaan. Yang paling terlihat adalah bahwa ketiga
penelitian tersebut memiliki titik fokus kajian yang berbeda.
Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan
pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Penelitian ini menitikberatkan kajiannya pada tindak pidana
dan sanksi pencantuman klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor. Oleh karena hal tersebut, menjadi
alasan yang cukup kuat bagi peneliti untuk melakukan
penelitian lebih lanjut.

24
Ibid., 71.
25
Lailiya Rachmaliana, “Penerapan Klausula Baku Pada Proses
Penerbitan Kartu Kredit Bank BNI Syariah Hasanah Card (Analisis Hukum
Islam Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen)” (IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2011), 11.

138

1.6. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara
garis besar tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi
ini adalah:
1. Untuk mengetahui sanksi tindak pidana pencantuman
klausula baku pada karcis parkir kendaraan bermotor
terhadap pengelola jasa parkir menurut Pasal 18 ayat (1)
jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap
sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis parkir kendaraan bermotor kepada pengelola jasa
parkir menurut Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 62 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 1999.
1.7. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
2 (dua) aspek, yaitu:
1. Aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan disiplin ilmu
hukum pada umumnya dan hukum pidana Islam pada
khususnya. Lebih lanjut, penelitian ini dapat dijadikan
sebagai acuan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Aspek praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
masukan bagi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) dalam hal perlindungan konsumen di Indonesia
dan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan
kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum,
terutama bagi pengelola jasa parkir yang masih
mencantumkan klausula baku pada karcis parkirnya.
1.8. Definisi Operasional
Bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman dan
bias dalam memahami judul, maka perlu dijelaskan beberapa
istilah-istilah atau kata-kata di dalam judul tersebut:

139

1. Hukum pidana Islam adalah hukum yang bersumber dari
al-Qur’an, hadis, dan pendapat para fuqaha’ yang
menghimpun rangkaian pendapat dari Imam Hanafi,
Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hambali yang
berkaitan dengan masalah-masalah pidana, khususnya
tentang jarimah ta’zir.
2. Sanksi adalah pidana pokok dan/atau tambahan yang
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena
melanggar ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
sebagaimana dalam Undang -Undang Perlindungan
Konsumen.
3. Klausula baku adalah ketentuan yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pengelola jasa parkir yang tertuang dalam selembar karcis
parkir yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen
di mana terdapat suatu pengalihan tanggung jawab
pengelola jasa parkir sebagaimana dilarang oleh Pasal 18
ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 1999.
4. Karcis parkir kendaraan bermotor adalah dokumen niaga
berupa selembar kertas yang berisi ketentuan-ketentuan
dan menjadi bukti penitipan kendaraan bermotor pada
lahan parkir di pusat perbelanjaan modern di Surabaya,
diantaranya adalah di BG Junction, Royal Plaza, Hi-Tech
Mall, dan Jembatan Merah Plaza.
5. UU No. 8 Tahun 1999 adalah undang-undang yang
melindungi hak-hak konsumen yang didalamnya memuat
antara lain Pasal-Pasal tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang beserta dengan sanksinya yang berkaitan dengan
pencantuman klausula baku pada karcis parkir kendaraan
bermotor oleh pengelola jasa parkir.
1.9. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris
yang mengkombinasikan antara hasil analisis dari
bibliography research (penelitian kepustakaan) dengan
dukungan data dari lapangan. Dalam metode penelitian ini
akan dikemukakan tentang:

140

1.9.1. Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini, antara
lain, adalah sebagai berikut:
1. Data mengenai contoh bentuk klausula baku pada karcis
parkir kendaraan bermotor di BG Junction, Royal Plaza,
Hi-Tech Mall, dan Jembatan Merah Plaza yang dilarang
oleh Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999.
2. Data mengenai sanksi tindak pidana pencantuman
klausula baku pada karcis parkir kendaraan bermotor
terhadap pengelola jasa parkir menurut Pasal 62 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 1999.
1.9.2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer yang dimaksud adalah dokumen niaga
berupa karcis parkir kendaraan bermotor di pusat
perbelanjaan modern di Surabaya. Sementara itu, data
sekunder dalam penelitian ini adalah publikasi-publikasi
yang erat kaitannya dengan isu hukum yang telah
dirumuskan, antara lain:
1. UU No. 8 Tahun 1999.
2. A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
Dalam Islam), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
3. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.
4. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
5. Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
6. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah),
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
1.9.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data
terkait dengan penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara.

141

Pertama, dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui data yang tertulis yang memuat garis besar
dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini,
dokumentasi yang terkumpul adalah beberapa karcis parkir
kendaraan bermotor di pusat perbelanjaan modern di
Surabaya yang terbagi dalam beberapa wilayah administrasi
di Surabaya, yang meliputi: BG Junction (Surabaya Pusat),
Jembatan Merah Plaza (Surabaya Utara), Royal Plaza
(Surabaya Selatan), dan Hi-Tech Mall (Surabaya Timur).
Pengumpulan data ini dilakukan mulai bulan Oktober sampai
dengan bulan Desember tahun 2012.
Kedua, studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan
data dengan cara memperoleh dari kepustakaan di mana
peneliti mendapatkan teori-teori dan pendapat para ahli serta
beberapa buku referensi yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti.
1.9.4. Teknik Pengolahan Data
Semua data yang terkumpul baik dari segi lapangan
maupun hasil kepustakaan diolah dengan beberapa teknik
sebagai berikut:
1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang
diperoleh terutama dengan segi kelengkapan, kejelasan
makna, keserasian, dan keselarasan antara yang satu
dengan yang lainnya.
2. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data
yang diperoleh dalam kerangka uraian yang telah
direncanakan.
3. Analizing, yaitu melakukan tinjauan hukum terhadap hasil
pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah,
teori, dalil hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai
jawaban dari permasalahan yang dipertanyakan.
1.9.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:

142

1. Teknik deskriptif analisis, yaitu dengan cara menguraikan
bentuk klausula baku pada karcis kendaraan bermotor
beserta dengan sanksinya lalu menganalisis dengan
tinjauan hukum pidana Islam.
2. Teknik analisis verifikatif, yaitu menilai antara teori-teori
dengan fakta dan setelah mengetahui gambaran -
gambaran tersebut maka selanjutnya akan dianalisis.
3. Pola deduktif, yaitu penyajian hasil penelitian yang
dimulai dari fakta-fakta dalam kajian hukum positif dan
selanjutnya dianalisis dengan tinjauan hukum pidana
Islam.
1.10. Sistematika Pembahasan
Bertujuan untuk memudahkan m asalah-masalah
dalam studi ini dan dapat dipahami permasalahannya secara
sistematis dan lebih terarah, maka pembahasannya dibentuk
dalam bab-bab yang masing-masing bab mengandung sub
bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis, yaitu
sebagai berikut:
1. Bab pertama, merupakan gambaran yang memuat pola
dasar penelitian skripsi ini, yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
2. Bab kedua, merupakan kajian teoritis tentang tindak
pidana dan pidana dalam hukum pidana Islam yang
meliputi: definisi tindak pidana, unsur-unsur tindak
pidana, pembagian tindak pidana, pengertian pidana,
tujuan pidana, syarat-syarat pidana, macam-macam
pidana, bentuk-bentuk pidana, pelaksanaan pidana, dan
gugurnya pidana.
3. Bab ketiga, memuat deskripsi data yang berkenaan
dengan hasil penelitian tentang bentuk klausula baku
pada karcis parkir kendaraan bermotor di pusat
perbelanjaan modern di Surabaya beserta sanksinya

143

menurut Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999.
4. Bab keempat, merupakan tinjauan hukum pidana Islam
terhadap sanksi tindak pidana pencantuman klausula
baku pada karcis parkir kendaraan bermotor di pusat
perbelanjaan modern di Surabaya menurut Pasal 62 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 1999.
5. Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan
saran.
2. Bab II: Tindak Pidana dan Pidana dalam Hukum
Pidana Islam
2.1. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam
2.1.1. Pengertian Tindak Pidana
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran
atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau
kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti
membunuh maupun kejahatan terhadap harta benda dibahas
dalam jinayah. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan masalah
jinayah ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang
berkaitan dengan sasaran (objek) badan dan jiwa saja.
26

Terdapat dua istilah penting dalam kajian hukum
pidana Islam, yaitu jinayah dan jarimah. Kedua istilah
tersebut secara etimologis mempunyai arti dan arah yang
sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi sinonim bagi istilah
lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Namun demikian,
kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan dalam hal
penerapan sehari-hari.
27

Secara bahasa, jinayah merupakan kata asal dari kata
kerja jana, yang berarti suatu kerja yang diperuntukkan bagi
seorang laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah.
Sementara itu, secara istilah, jinayah adalah semua perbuatan

26
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) (Bandung:
Pustaka Setia, 2000), 11.
27
Ibid., 11–12.

144

yang diharamkan, yaitu tindakan yang dilarang atau dicegah
oleh syara'. Apabila dilakukan, maka perbuatan tersebut
mempunyai konsekuensi membahayakan bagi agama, jiwa,
akal, kehormatan, dan harta benda.
28
Istilah yang kedua
adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti
perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi, pengertian jarimah
secara bahasa sama halnya dengan pengertian jinayah.
29

Umumnya, kata jarimah dipakai sebagai perbuatan
dosa. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, dan lain
sebagainya. Semua itu disebut dengan istilah jarimah yang
kemudian dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan
tadi. Oleh karena itu, kita menggunakan istilah jarimah
pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan, dan
jarimah-jarimah yang lainnya. Dengan demikian, penyebutan
terhadap bentuk kejahatan tersebut tidak memakai istilah
jinayah pencurian, jinayah pembunuhan, ataupun jinayah
perkosaan.
30
Intinya adalah bahwa kata jarimah identik dengan
pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak
pidana atau pelanggaran. Dalam hukum positif, contoh-
contoh jarimah yang telah disebutkan di atas diistilahkan
dengan tindak pidana pencurian, tindak pidana pembunuhan,
tindak pidana perkosaan, dan lain sebagainya.
31

Ahmad Hanafi menyebutkan bahwa tindak pidana atau
jarimah dalam tinjauan hukum pidana Islam adalah larangan-
larangan syara' yang diancamkan oleh Allah SWT dengan
pidana had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut
adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang,
atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
32

28
Ibid., 12.
29
Ibid., 13.
30
Ibid., 15.
31
Ibid.
32
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), 1.

145

2.1.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai jarimah bila
memang memenuhi unsur-unsur yang telah melekat pada
istilah jarimah itu sendiri. Dalam hukum pidana Islam, unsur-
unsur jarimah terbagi menjadi 2 (dua), yaitu unsur umum
dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada jarimah adalah
sebagai berikut:
33

1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan
tertentu yang disertai ancaman pidana atas perbuatan-
perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur
formal (al-rukn al-syar'i);
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik
berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau
meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini
dikenal dengan istilah unsur material (al-rukn al-madi);
dan
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima
kitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku
kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat
dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini
dikenal dengan istilah unsur moral (al-rukn al-adabi).
Di samping unsur umum di atas, ada unsur khusus
yang hanya berlaku di dalam satu jarimah dan tidak sama
dengan unsur khusus jarimah lain. Misalnya, mengambil
harta orang lain dengan cara sembunyi adalah unsur khusus
untuk jarimah pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur
khusus di dalam perampokan, yaitu mengambil harta orang
lain dengan terang-terangan.
34

2.1.3. Pembagian Tindak Pidana
Bergantung pada sudut pandang mana kita melihatnya
atau aspek yang ditonjolkan, tindak pidana dalam hukum
pidana Islam (jarimah) dapat dibagi menjadi bermacam-

33
Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam), 3.
34
Ibid.

146

macam bentuk dan jenisnya. Ditinjau dari segi beratnya
pidana, jarimah dapat dibagi kepada 3 (tiga). Pertama,
jarimah hudud adalah suatu jarimah yang bentuknya telah
ditentukan syara’, sehingga terbatas jumlahnya. Selain
ditentukan bentuknya, juga ditentukan pidananya secara
jelas, baik melalui al-Qur’an maupun as-Sunnah. Lebih dari
itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak
Allah, yang pada prinsipnya adalah jarimah yang menyangkut
masyarakat banyak, yaitu memelihara kepentingan,
ketentraman, dan keamanan masyarakat.
35

Ciri khas jarimah hudud itu adalah: (1) pidananya
tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa pidananya telah
ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan
maksimal; dan (2) pidana tersebut merupakan hak Allah
semata-mata atau kalau ada hak manusia di samping hak
Allah, maka hak Allah yang lebih menonjol. Artinya, bahwa
pidana tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan
atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara.
36
Adapun
jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud menurut para
‘ulama ada 7 (tujuh) macam, yaitu perzinahan, menuduh
orang zina, minum-minuman keras, pencurian, perampokan,
pemberontakan, dan keluar dari agama Islam.
37

Kedua, jarimah qisas dan diyat adalah jarimah yang
diancam dengan pidana qisas dan diyat. Baik qisas maupun
diyat, keduanya adalah pidana yang sudah ditentukan oleh
syara’. Perbedaanya dengan pidana had adalah bahwa had
merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qisas dan
diyat adalah hak manusia (indvidu).
38

Hak perorangan yang dimaksud di atas hanya
diberikan kepada korban, jika dalam hal ini si korban masih
hidup. Apabila sudah meninggal, maka haknya diberikan dan

35
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 26.
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana
Islam: Fikih Jinayah (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 17–18.
37
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 27.
38
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 18.

147

kepada wali atau ahli warisnya. Oleh karena itu, seorang
kepala negara dalam kedudukannya sebagai penguasa pun
tidak berkuasa memberikan pengampunan bagi pembuat
jarimah. Namun demikian, kalau si korban tidak mempunyai
wali atau ahli waris, maka kepala negara bertindak sebagai
wali bagi orang tersebut.
39

Jarimah yang termasuk dalam kelompok jarimah qisas
dan diyat terdiri atas 5 (lima) macam. Ada 2 (dua) jarimah
masuk dalam kelompok jarimah qisas, yaitu pembunuhan
sengaja dan pelukaan serta penganiayaan sengaja. Adapun 3
(tiga) jarimah yang temasuk dalam kelompok diyat, yaitu
pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan semisengaja, dan
penganiayaan tidak sengaja. Di samping itu, diyat merupakan
pidana pengganti dari pidana qisas yang dimaafkan.
40
Ketiga, jarimah ta’zir adalah jarimah yang pidananya
belum ditentukan oleh syara’ dan untuk penetapan serta
pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa (ul al-amri)
sesuai dengan bidangnya. Misalnya, untuk menetapkan
pidana, maka yang berwenang adalah badan legislatif,
sedangkan yang menegakkan atau mengadili adalah badan
yudisial.
41

Penguasa hanya menetapkan pidana secara global
dalam menentukan pidana tersebut. Artinya, pembuat
undang-undang (badan legislatif) tidak menetapkan pidana
untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya
menetapkan sekumpulan hukum, dari yang seringan-
ringannya sampai yang seberat-beratnya.
42
Berdasarkan uraian di atas, ciri khas dari ta’zir adalah:
(1) pidananya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya,
pidana tersebut belum ditentukan oleh syara’, serta ada batas

39
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 28.
40
Ibid., 29.
41
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 10.
42
Ibid., 19.

148

minimal dan maksimal; dan (2) penentuan pidana tersebut
adalah hak penguasa.
43

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah
ta’zir dan pidananya kepada penguasa adalah agar mereka
dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-
kepentingannya. Selain itu adalah agar negara dapat
menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang
bersifat mendadak.
44

Ditinjau dari segi niatnya, jarimah dapat dibagi kepada
2 (dua) bagian. Pertama, jarimah sengaja. Pada jarimah
sengaja (jaraim maqsudah) si pelaku dengan sengaja
melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa
perbuatannya itu dilarang.
45
Dari definisi tersebut dapatlah
diketahui bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi 3
(tiga) unsur. Apabila salah satu dari ketiga unsur ini tidak
ada, maka perbuatan tersebut termasuk jarimah yang tidak
sengaja. Unsur-unsurnya adalah ada kesengajaan, ada
kehendak yang bebas dalam melakukannya , dan ada
pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan.
46

Kedua, jarimah tidak sengaja. Jarimah tidak sengaja
dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengerjakan
perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut
terjadi sebagai akibat kekeliruannya.
47
Dari definisi tersebut
terlihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari pelaku merupakan
faktor penting untuk jarimah tidak sengaja ini.
48
Kesalahan
atau kekeliruan sebagaimana tersebut di atas ada 2 (dua)
macam, yaitu pelaku sengaja melakukan perbuatan yang
akhirnya menjadi jarimah, tetapi jarimah ini sama sekali tidak
diniatkannya. Kekeliruan macam yang pertama ini juga ada 2

43
Ibid.
44
Ibid., 20.
45
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 13.
46
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 22.
47
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 13.
48
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 23.

149

(dua) macam, yaitu keliru dalam perbuatan dan keliru dalam
dugaan. Selain itu, pelaku tidak sengaja berbuat dan jarimah
yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. Dalam hal ini,
jarimah tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya atau
ketidakhati-hatiannya.
49

Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah dapat
dibagi kepada 2 (dua) bagian. Pertama, jarimah tertangkap
basah, yaitu jarimah di mana pelakunya tertangkap pada
waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya, tetapi
dalam masa yang dekat. Kedua, jarimah yang tidak tertangkap
basah, yaitu jarimah di mana pelakunya tidak tertangkap
pada waktu melakukan perbuatan tersebut, melainkan
sesudahnya dengan lewatnya waktu yang tidak sedikit
(lama).
50
Ditinjau dari segi cara melakukannya, aspek yang
ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si
pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah itu
dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang
ataukah si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang
diperintahkan. Ditinjau dari segi cara melakukannya, jarimah
dapat dibagi kepada 2 (dua) bagian. Pertama, jarimah positif
(ijabiyyah), yaitu si pelaku secara aktif mengerjakan
perbuatan yang dilarang, atau dalam bahasa hukum positif
dinamai delict commisionis. Kedua, jarimah negatif
(salabiyyah), yaitu si pelaku pasif, tidak berbuat sesuatu atau
dalam hukum positif dinamai delict ommisionis, seperti tidak
menolong orang lain yang sangat membutuhkan padahal dia
sanggup melaksanakannya.
51

Pembagian jarimah yang juga penting adalah yang
bertolak dari aspek korban kejahatan. Sehubungan dengan
ini, dari aspek korban kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
macam. Pertama, jarimah masyarakat, yaitu suatu jarimah di
mana pidana terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga

49
Ibid.
50
Ibid., 24.
51
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 23.

150

kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai
perorangan atau mengenai ketentraman masyarakat dan
keamanannya. Kedua, jarimah perseorangan, yaitu suatu
jarimah di mana pidana terhadapnya dijatuhkan untuk
melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya
apa yang menyinggung perseorangan juga berarti
menyinggung masyarakat.
52

Ditinjau dari segi tabiatnya atau motifnya, jarimah
dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam. Pertama, jarimah
politik, yaitu jarimah yang dilakukan dengan maksud-maksud
politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang
sah pada waktu situasi yang tidak normal, seperti
pemberontakan bersenjata. Kedua, jarimah biasa, yaitu
jarimah yang tidak bermuatan politik, seperti mencuri ayam
atau barang-barang lainnya atau membunuh atau
menganiaya orang-orang kebanyakan (orang biasa).
53
2.2. Pidana dalam Hukum Pidana Islam
2.2.1. Pengertian Pidana
Pidana dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafal
‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang
sinonimnya adalah khalafahu wa ja’a bi’aqabihi, yang artinya
adalah mengiringinya dan datang dibelakangnya. Dalam
pengertian yang hampir mirip dan mendekati pengertian
istilah, kemungkinan lafal tersebut bisa diambil dari lafal
‘aqaba yang sinonimnya adalah jazahu sawaun bima fa’ala,
yang artinya adalah membalasnya sesuai dengan apa yang
dilakukannya.
54
Khusus dalam masalah jarimah, maka ada 2 (dua) hal
yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu mata rantai
yang tidak akan pernah terputus, yaitu kejahatan dan

52
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 17.
53
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 25.
54
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 136.

151

pidana.
55
Perintah dan larangan saja tidak akan berarti sama
sekali dan tidak cukup mendorong seseorang untuk
meninggalkan suatu perbuatan atau melaksanakannya, untuk
itu diperlukan sanksi berupa pidana bagi siapa saja yang
melanggarnya.
56

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil intisari
bahwa pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan
dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada
seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan
perbuatan atau peristiwa pidana.
57

2.2.2. Dasar Hukum Pemberlakuan Pidana
Dasar-dasar penjatuhan atau pemberlakuan pidana di
antaranya adalah al-Qur’an surat S}ad ayat 26:
        
          
         
 
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan

55
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 41.
56
Abdurrahman Al-Maliki, Nidzam Al-‘Uqubat (Sistem Sanksi
Dalam Islam) (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 2.
57
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 37.

152

Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan.”
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam
upaya menyelamatkan manusia, baik perseorangan maupun
masyarakat, dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang
menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan
masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik berdasarkan al-
Qur’an, hadis, maupun berbagai ketentuan dari ul al-amri
atau lembaga legislatif yang mempunyai wewenang
menetapkan pidana bagi pelaku jarimah ta’zir.
58
Tujuannya
adalah untuk menyelamatkan umat manusia dari ancaman
kejahatan.
2.2.3. Tujuan Pidana
Tujuan utama dari penetapan dan penerapan pidana
dalam syariat Islam, pertama, pencegahan. Pengertian
pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi
perbuatan jarimah-nya, atau agar ia tidak terus-menerus
melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku,
pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain
selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah,
sebab ia bisa mengetahui bahwa pidana yang dikenakan
kepada pelaku akan dikenakan terhadap orang lain yang juga
melakukan perbuatan yang sama.
59

Sebagaimana penjelasan di atas, kegunaan pencegahan
adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan
orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan
diri dari lingkungan jarimah.
60 Dengan demikian, efeknya
adalah kepentingan masyarakat akan ketenangan,
kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian dapat
terwujudkan.
61

58
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 60.
59
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 255.
60
Ibid.
61
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 138.

153

Tujuan yang kedua dari penjatuhan pidana adalah
mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan
menyadari kesalahannya. Dengan adanya pidana ini,
diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran
bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan pidana,
melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap
jarimah serta dengan harapan mendapat ridha dari Allah
SWT.
62
Di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam
dalam menjatuhkan pidana juga bertujuan membentuk
masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya
dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.
63

2.2.4. Syarat-Syarat Pidana
Jika pidana itu diakui keberadaannya, maka
konsekuensinya adalah penerapan atau pelaksanaannya
harus memenuhi 3 (tiga) syarat. Pertama, hukum harus ada
dasarnya dari syara’. Hukum dianggap mempunyai dasar
apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’, seperti
al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, atau undang-undang yang
ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil ‘amri), seperti
dalam pidana ta’zir. Dalam hal pidana ditetapkan oleh ulil
‘amri, maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan, maka
ketentuan hukum tersebut menjadi batal.
64

Kedua, hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau
perorangan. Ini mengandung arti bahwa pidana harus
dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan
tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini
merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh
syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan
masalah pertanggungjawaban.
65

62
Ibid.
63
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 257.
64
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 141.
65
Ibid., 142.

154

Ketiga, pidana harus berlaku umum. Ini berarti pidana
harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi,
apa pun pangkat, jabatan, status, dan kedudukannya. Di
depan hukum semua orang statusnya sama, tidak ada
perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat
dengan rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat
jelata.
66

2.2.5. Macam-Macam Pidana
Pidana dalam hukum pidana Islam dapat dibagi
kepada beberapa bagian, dengan meninjaunya dari beberapa
segi. Dalam hal ini ada 5 (lima) penggolongan. Pertama,
ditinjau dari segi pertalian antara satu pidana dengan pidana
yang lainnya, pidana dapat dibagi kepada 4 (empat) bagian,
yaitu sebagai berikut:
67

1. Pidana pokok (al-‘uqubat al-ashliyah), yaitu pidana yang
asal bagi satu kejahatan, seperti pidana mati bagi
pembunuh dan pidana jilid seratus kali bagi pezina ghayr
muhsan.
2. Pidana pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah), yaitu pidana
yang menempati tempat pidana pokok apabila pidana
pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan
hukum, seperti pidana diyat/denda bagi pembunuh
sengaja yang dimaafkan qisas-nya oleh keluarga korban
atau pidana ta’zir apabila karena suatu alasan hukum
pokok berupa had tidak dapat dilaksanakan.
3. Pidana tambahan (al-‘uqubat al-taba’iyah), yaitu pidana
yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengkuti
pidana pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh
untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
4. Pidana pelengkap (al-‘uqubat al-takmiliyah), yaitu pidana
yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap pidana yang
telah dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri

66
Ibid.
67
Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam), 28–29.

155

yang telah dipotong di lehernya. Pidana ini harus
berdasarkan keputusan hakim tersendiri, sedangkan
pidana pengganti tidak memerlukan keputusan hakim
tersendiri.
Kedua, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam
menentukan berat ringannya pidana, maka pidana dapat
dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut:
68

1. Pidana yang hanya mempunyai 1 (satu) batas. Artinya,
tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti
pidana jilid sebagai pidana had (80 kali atau 100 kali).
2. Pidana yang mempunyai batas tertinggi dan batas
terendah, di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih
pidana yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti
pidana penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
Ketiga, ditinjau dari segi keharusan atau besarnya
pidana untuk memutuskan dengan pidana tersebut, pidana
dapat dibagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut:
69

1. Pidana yang sudah ditentukan ( al-‘uqubah al-
muqaddarah), yaitu pidana-pidana yang jenis dan
kadarnya telah ditentukan oleh syara’ dan hakim
berkewajiban untuk memutuskannya tanpa mengurangi,
menambah, atau menggantinya dengan pidana yang lain.
2. Pidana yang belum ditentukan (al-‘uqubah al-ghair al-
muqaddarah), yaitu pidana yang diserahkan kepada
hakim untuk memilih jenisnya dari sekumpulan pidana-
pidana yang ditetapkan oleh syara’ dan menentukan
jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku
dan perbuatannya.
Keempat, ditinjau dari segi tempat dilakukannya
pidana, maka pidana dapat dibagi kepada 3 (tiga) bagian,
yaitu sebagai berikut:
70

68
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 261–262.
69
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 144.

156

1. Pidana badan, yaitu pidana yang dijatuhkan atas badan,
seperti pidana mati, dera, penjara, dan sebagainya.
2. Pidana jiwa, yaitu pidana yang dikenakan atas jiwa
seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan,
dan teguran.
3. Pidana harta, yaitu pidana yang dikenakan terhadap harta
seseorang, seperti diyat dan perampasan harta.
Kelima, ditinjau dari segi macamnya jarimah yang
diancamkan pidana, pidana dapat dibagi kepada 4 (empat)
bagian, yaitu sebagai berikut:
71

1. Pidana hudud, yaitu pidana yang ditetapkan atas jarimah-
jarimah hudud.
2. Pidana qisas dan diyat, yaitu pidana yang ditetapkan atas
jarimah-jarimah qisas dan diyat.
3. Pidana kifarat, yaitu pidana yang ditetapkan atas jarimah-
jarimah qisas dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
4. Pidana ta’zir, yaitu pidana yang ditetapkan untuk jarimah-
jarimah ta’zir.
2.2.6. Bentuk-Bentuk Pidana
Pembagian pidana ditinjau dari segi macamnya
jarimah merupakan pembagian yang sangat penting, karena
sebenarnya inilah substansi dari pidana dalam hukum pidana
Islam. Pertama, pidana-pidana untuk jarimah hudud yang
jumlahnya ada 7 (tujuh) macam, yaitu:
72

1. Pidana untuk jarimah zina, yaitu dera (jilid), pengasingan,
atau rajam;
2. Pidana untuk jarimah qazaf (penuduh zina), yaitu pidana
pokok berupa jilid atau pidana tambahan berupa
pencabutan hak sebagai sanksi;

70
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 262.
71
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 144.
72
Ibid., 145–152.

157

3. Pidana minum-minuman keras, yaitu pidananya adalah 80
(delapan puluh) kali jilid;
4. Pidana untuk jarimah pencurian, yaitu pidananya adalah
potong tangan;
5. Pidana untuk jarimah perampokan, yaitu pidananya
adalah hukuam mati, mati dan salib, potong tangan dan
kaki, atau pengasingan;
6. Pidana untuk jarimah riddah (murtad), yaitu pidana
pokoknya berupa pidana mati, atau pidana tambahan
berupa penyitaan harta benda; dan
7. Pidana untuk jarimah pemberontakan, yaitu pidananya
adalah pidana mati.
Kedua, pidana-pidana untuk jarimah qisas dan diyat.
Pidana jarimah qisas dan diyat adalah pidana yang ditetapkan
atas jarimah-jarimah qisas dan diyat. Jarimah bentuk ini ada 5
(lima) macam, yaitu pembunuhan sengaja, menyerupai
sengaja, karena kesalahan (tidak sengaja), penganiayaan
sengaja, atau karena kesalahan (tidak sengaja). Pidana-pidana
yang diancamkan pada jarimah ini adalah sebagai berikut:
73

1. Pidana qisas, yaitu pidana yang berlaku untuk jarimah
pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja. Baik
pembunuhan maupun penganiayaan korban atau walinya
diberi wewenang untuk memberikan pengampunan
terhadap pelaku. Apabila ada pengampunan, maka pidana
qisas menjadi gugur dan diganti dengan pidana diyat;
2. Pidana diyat, yaitu pidana pokok untuk jarimah
pembunuhan dan penganiayaan menyerupai sengaja dan
tidak sengaja;
3. Pidana kifarat, yaitu pidana yang dijatuhkan atas
pembunuhan karena kekeliruan (tidak sengaja) dan
menyerupai sengaja. Adapun jenis pidananya adalah
membebaskan seorang hamba yang mukmin. Apabila

73
Ibid., 153–157.

158

hamba tidak ada, maka pidananya diganti dengan puasa
dua bulan berturut-turut; dan
4. Pidana hilangnya hak waris dan hak wasiat, yaitu
merupakan pidana tambahan, di samping pidana pokok
untuk jarimah pembunuhan.
Ketiga, pidana-pidana untuk jarimah ta’zir. Pidana
ta’zir ini jumlahnya cukup banyak, mulai pidana yang paling
ringan hingga yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara
yang termasuk jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk
memilih di antara beberapa pidana tersebut, mana yang
paling sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh pelaku.
Jenis-jenis pidana ta’zir ini adalah sebagai berikut:
74
1. Pidana mati, yaitu pidana yang dijatuhkan kepada pelaku
jarimah ta’zir yang sangat membahayakan kepentingan
umum. Dalam hal ini, ul al-amri harus menentukan jenis-
jenis jarimah yang dapat dijatuhi pidana mati;
2. Pidana jilid, yaitu merupakan pidana pokok dalam syari’at
Islam. Dalam hal ini, tidak ada batas tertentu untuk pidana
ta’zir yang berupa jilid dan ul al-‘amri bisa menjatuhkan
pidana yang lebih banyak, apabila dipandang perlu demi
keselamatan masyarakat;
3. Pidana kawalan, yaitu pidana dikenakan pada pelaku
jarimah ta’zir yang berbahaya, atau pelaku yang berulang-
ulang melakukan jarimah yang berbahaya;
4. Pidana pengasingan, yaitu pidana dikenakan pada pelaku
jarimah ta’zir yang dapat diduga perbuatannya itu dapat
mempengaruhi masyarakat umum;
5. Pidana salib, yaitu pidana bagi pelaku jarimah ta’zir di
mana dalam pelaksanaannya tidak dibarengi atau
didahului dengan pidana mati, melainkan terhukum
disalib dalam keadaan hidup;

74
Ibid., 157–163.

159

6. Pidana pengucilan, yaitu pidana yang dijatuhkan terhadap
pelaku yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu,
misalnya tidak ikut berperang dalam membela negara;
7. Pidana berupa ancaman, teguran, atau peringatan yang
akan membawa hasil dan bukan hanya omong kosong;
8. Pidana denda, dalam hal ini dapat merupakan pidana
pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan
dengan pidana pokok lainnya; dan
9. Pidana-pidana lain yang sifatnya spesifik dan tidak bisa
diterapkan pada setiap jarimah ta’zir. Di antara pidana
tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan,
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan alat-alat yang
digunakan untuk melakukan jarimah, penayangan gambar
penjahat di muka umum atau di televisi, dan lain
sebagainya.
2.2.7. Pelaksanaan Pidana
Hukum pidana Islam membagi jarimah kepada 3 (tiga)
bagian berdasar kepada segi pelaksanaan pidananya, yaitu
jarimah hudud, jarimah qisas dan diyat, serta jarimah ta’zir.
Bagi para pelaku yang terbukti melakukan jarimah tersebut,
maka mereka akan mendapatkan pidananya yang telah
ditetapkan, dan bagi yang tidak terbukti, ia akan
dibebaskan.
75

Pertama, pelaksanaan pidana dalam jarimah hudud.
Literatur fiqh telah menjadi bukti adanya kesepakatan para
fuqaha bahwa yang berwenang menjalankan pelaksanaan
hudud yaitu ul al-amri atau wakilnya, dalam hal ini bisa hakim
atau petugas yang diberi wewenang menjalankan eksekusi
terhadap pelanggaran jarimah hudud tersebut. Tiap
pelaksanaan pidana ini harus ada izin dari ul al-amri atau
wakilnya yang telah ditunjuk.
76

Kepala negara atau wakilnya diberikan wewenang
untuk melaksanakan pidana terhadap pelanggaran jarimah

75
Ibid., 170.
76
Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 51.

160

hudud, karena jarimah jenis ini merupakan pelanggaran
terhadap hak Allah atau kepentingan umum (masyarakat).
Dengan demikian, maka pelaksanaan pidananya harus
diserahkan kepada wakil masyarakat, yaitu ul al-amri. Di
samping itu, pelaksanaan pidana hudud memerlukan
pertimbangan-pertimbangan yang matang, sehingga tidak
terjadi kelebihan atau ketidaktepatan, oleh karena itu
pelaksanaan pidana harus diserahkan kepada ul al-amri atau
wakilnya.
77

Kedua, pelaksanaan pidana dalam jarimah qisas dan
diyat. Menurut prinsipnya, pelaksanaan pidana adalah
wewenang penguasa. Namun, dalam jarimah qisas dan diyat,
pelaksanaan pidananya dapat dilakukan oleh korban jarimah
atau wakilnya. Menurut pendapat fuqaha, wali korban dapat
melaksanakan pidana qisas, tapi harus di bawah pengawasan
ul al-amri, hal ini untuk menghindari kezaliman.
78
Tetapi,
apabila wali korban tidak mampu melaksanakan atau
dipandang tidak mampu, maka ia harus mewakilkan kepada
orang yang memang ahli dan ditugaskan oleh ul al-amri
sebagai pelaksana pidana.
79

Ketiga, pelaksanaan pidana dalam jarimah ta’zir.
Adapun pelaksanaan pidana ta’zir ini adalah mutlak menjadi
hak dan wewenang ul al-amri, seperti hakim dan petugas
hukum lainnya. Apabila dilaksanakan orang lain yang tidak
mempunyai wewenang melaksanakannya, maka ia dapat
dikenakan sanksi. Alasannya, setiap pidana itu diadakan
bertujuan untuk melindungi masyarakat. Oleh karena ul al-
amri itu wakil rakyat, maka hanya dia yang berwenang
melaksanakan ta’zir ini.
80

77
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 170.
78
Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 51.
79
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 172.
80
Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 51–52.

161

2.2.8. Gugurnya Pidana
Kaitan dengan hapusnya pidana karena keadaan
pelaku, pidana tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari
pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa,
mabuk, atau masih di bawah umur. Berbeda dengan
hapusnya pidana karena sebab-sebab tersebut, maka yang
dimaksud dengan gugurnya pidana di sini adalah tidak dapat
dilaksanakannya pidana-pidana yang telah dijatuhkan atau
diputuskan oleh hakim, berhubung tempat (badan atau
bagiannya) untuk melaksanakan pidana sudah tidak ada lagi,
atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
81

Adapun sebab-sebab gugurnya pidana tersebut
adalah:
82

1. Meninggalnya pelaku. Apabila sanksi berupa pidana
badan atau pidana yang berhubungan dengan diri
terhukum, maka pidana tersebut menjadi gugur dengan
meninggalnya terhukum, karena pelaksanaannya tidak
mungkin lagi. Tetapi, kalau sanksi tersebut berupa pidana
diyat atau perampasan harta, maka masih dapat
dijalankan.
2. Hilangnya anggota badan yang akan di-qisas. Apabila
anggota badan seorang terhukum yang akan dikenakan
qisas hilang, tetapi ia masih hidup, maka gugurlah pidana
qisas yang dijatuhkan kepada terhukum.
3. Taubatnya terhukum. Di kalangan fuqaha sudah
disepakati bahwa taubat bisa menghilangkan pidana
jarimah gangguan keamanan (hirabah), yaitu pidana yang
berhubungan dengan hak masyarakat. Sementara itu,
mengenai hak-hak manusia, maka taubat tidak
menghapuskannya.
4. Perdamaian yang diadakan antara pembuat dengan
korban atau walinya bisa menggugurkan pidana, namun

81
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 173.
82
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 345–352.

162

hanya terbatas pada jarimah qisas dan diyat. Hak qisas
bisa dihindarkan dengan mendapat ganti rugi berupa
diyat atas sejumlah harta yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
5. Pengampunan, yang merupakan salah satu faktor
gugurnya pidana, baik diberikan oleh korban atau walinya
atau oleh penguasa negara. Gugurnya pidana karena
faktor pengampunan ini hanya berlaku pada jarimah
qisas, diyat, dan ta’zir.
6. Diwariskannya hak qisas. Pidana qisas menjadi gugur, jika
pidana tersebut diwariskan kepada orang yang tidak bisa
mengenakan qisas atas terhukum, atau jika pembuat
sendiri mewarisi seluruh qisas atau sebagiannya.
7. Daluwarsa, yaitu berlakunya sesuatu waktu tertentu atas
keputusan adanya pidana tanpa dilaksanakannya pidana
tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut, maka
pelaksanaan pidana menjadi terhalang.
3. Bab III: Tindak Pidana Pencantuman Klausula
Baku pada Karcis Parkir Kendaraan Bermotor
menurut UU No. 8 Tahun 1999
3.1. Klausula Baku yang Dilarang oleh UU No. 8 Tahun
1999
3.1.1. Pengertian Klausula Baku
Hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan
sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian
perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan
kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban
konsumen, hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara
mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu.
83
Di
antara banyaknya pengaturan sebagaimana disebutkan di
atas, UU No. 8 Tahun 1999 mewujudkan adanya pemenuhan

83
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, 45.

163

hak konsumen dengan mengatur tentang larangan
pencantuman klausula baku yang merugikan konsumen.
Klausula baku, sebenarnya dikenal sejak zaman
Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya, pernah
memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya
ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa
memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut.
84
Dalam
perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh
produsen atau penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar
masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih
detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan
perjanjian baku pun makin bertambah luas.
Di Indonesia, dalam praktiknya, klausula baku
merupakan perjanjian yang prosedur pembuatannya bersifat
sepihak. Hal ini berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 8 Tahun
1999 yang mendefinisikan bahwa klausula baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Sutan Remi Sjahdeini mengartikan, perjanjian baku
merupakan perjanjian yang hampir seluruh klausul -
klausulnya dibakukan oleh pemakainya. Dengan demikian,
pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang
untuk merundingkan atau meminta perubahan. Sjahdeini
menekankan, yang dibakukan itu bukan formulir perjanjian
tersebut, melainkan klausul-klausulnya.
85

Pembuat undang-undang ini menerima kenyataan
bahwa pemberlakuan standar kontrak adalah suatu
kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Sebab, sebagaimana
dikatakan oleh Sutan Remi Sjahdeini, perjanjian baku adalah
suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan

84
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 138.
85
Ibid.

164

masyarakat.
86
Namun, dirasa perlu untuk mengaturnya,
sehingga tidak disalahgunakan dan/atau menimbulkan
kerugian bagi pihak lain. Tinggal bagaimana pengawasan
penggunaan standar kontrak itu tidak dijadikan sebagai alat
untuk merugikan orang lain.
87

Larangan dan persyaratan tentang pencantuman
klausula baku merupakan salah satu wujud keseimbangan
dalam hal kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Kemudian,
ketentuan ini merupakan upaya untuk mencegah munculnya
berbagai tindakan yang merugikan konsumen karena faktor
ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang, dan
sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku
usaha untuk memperoleh keuntungan dengan jalan
melanggar hukum.
88

3.1.2. Problematika Penggunaan Klausula Baku
Konsultan perusahaan yang membuat klausula baku
berusaha sedemikian rupa mengamankan dan melindungi
kepentingan kliennya dari kemungkinan kerugian yang
timbul jika perjanjian akhirnya tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Dengan demikian, isi perjanjian seperti ini
umumnya cenderung menguntungkan pihak perusahaan.
Karena itu pulalah, masalah klausula baku ini berkaitan erat
dengan perlindungan konsumen dan menjadi salah satu
ruang lingkup pembahasan perlindungan konsumen, yaitu
melindungi konsumen dari kemungkinan diterapkannya
syarat-syarat yang merugikan atau tidak adil di dalam
perjanjian.
89

Tentu saja fenomena di atas tidak selamanya
berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya klausula baku adalah
untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang
bersangkutan. Selain itu, bentuk perjanjian tersebut sangat

86
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, 25.
87
Ibid.
88
Ibid., 27.
89
Ibid.

165

menguntungkan, jika dilihat dari berapa banyak waktu,
tenaga, dan biaya yang dapat dihemat.
90

Praktik penggunaan klausula baku ini kemudian
menimbulkan masalah hukum, bukan saja mengenai kejadian
yang dicerminkan pada hak dan kewajiban para pihak,
melainkan juga lebih mendasar lagi, yaitu mengenai
keabsahan perjanjian itu sendiri. Ronny Bako berpendapat,
“klausula baku merupakan perjanjian paksa.”
91
Bahkan,
menurut Sluiter, standar kontrak ini bukanlah perjanjian,
sebab di sini pengusaha berkedudukan sebagai pembuat
undang-undang.
92

Klausula baku mengandung ketidakseimbangan hak
dan kewajiban para pihak sebagaimana yang diatur di dalam
klausul tersebut. Artinya, pengusaha cenderung melindungi
kepentingannya sedemikian rupa dengan menetapkan
sejumlah hak sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan
(konsumen). Sebaliknya, pengusaha meminimalkan
kewajiban-kewajiban sendiri dan mengatur sebanyak
mungkin kewajiban pihak lawan.
93

3.1.3. Klausula Baku pada Karcis Kendaraan Bermotor
Pencantuman klausula baku pada karcis parkir
kendaraan bermotor di pusat perbelanjaan modern di
Surabaya masih tumbuh subur. Fenomena ini lantas menjadi
lazim dan menjadi hal yang tampak umum. Padahal, menurut
Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999, pencantuman
klausula baku termasuk perbuatan yang dapat diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
94

90
Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, 139.
91
Lihat, Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia,
15.
92
Lihat, Ibid.
93
Ibid.
94
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 62 ayat (1).

166

Sebagaimana pengamatan yang terdokumentasikan
oleh peneliti, pencantuman klausula baku pada karcis parkir
kendaraan bermotor benar-benar masih terjadi. Dalam hal
ini, dokumentasi yang terkumpul adalah empat lembar karcis
parkir kendaraan bermotor di pusat perbelanjaan modern di
Surabaya yang terbagi dalam beberapa wilayah administrasi
di Kota Surabaya, yang meliputi: (1) BG Junction (Surabaya
Barat); (2) Jembatan Merah Plaza (Surabaya Utara); (3) Royal
Plaza (Surabaya Selatan); dan (4) Hi-Tech Mall (Surabaya
Timur).
95

Redaksi klausula baku yang tercantum pada karcis
parkir kendaraan bermotor sebagaimana terdokumentasikan
oleh peneliti adalah sebagai berikut: (1) “Segala kerusakan
ataupun kehilangan dari (bagian dari) kendaraan menjadi
tanggung jawab dari pengendara.” (BG Junction, Surabaya
Pusat); (2) “Asuransi kendaraan dan barang-barang
didalamnya serta semua risiko atas segala kerusakan dan
kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-
barang didalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan
itu sendiri.” (Jembatan Merah Plaza, Surabaya Utara); (3)
“Segala kerusakan pada kendaraan, kerusakan/kehilangan
kelengkapan kendaraan maupun barang-barang didalamnya
menjadi TANGGUNG JAWAB PEMILIK kendaraan.” (Royal
Plaza, Surabaya Selatan); dan (4) “Manajemen Hi-Tech Mall
menyatakan TIDAK BERTANGGUNG JAWAB atas segala
bentuk kehilangan dan atau kerusakan kendaraan atau
barang-barang lainnya. Kehilangan dan atau kerusakan
kendaraan dan atau barang-barang lainnya MENJADI
TANGGUNG JAWAB PEMILIK KENDARAAN .” (Hi-Tech Mall,
Surabaya Timur).
96

95
Wikipedia, “Kota Surabaya.”
96
Hasil dokumentasi redaksi dan bentuk klausula baku pada
karcis parkir kendaraan bermotor di pusat perbelanjaan modern di
Surabaya. Pengumpulan data ini dilakukan mulai bulan Oktober sampai
dengan bulan Desember tahun 2012.

167

3.2. Tindak Pidana Pencantuman Klausula Baku pada
Karcis Kendaraan Bermotor Menurut UU No. 8
Tahun 1999
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaarfeit,
kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin,
delictum. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS
Belanda, maka istilah aslinya pun sama, yaitu strafbaarfeit.
Sekarang ini, semua undang-undang telah memakai istilah
tindak pidana, seperti Undang-Undang Tindak Pidana
Ekonomi, Undang-Undang Tindak Pidana Suap, dan
seterusnya.
97

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.
98
Dapat dikatakan
juga sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana. Larangan yang dimaksud
ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang. Sedangkan
ancaman pidananya ditujukan kepada orang (subjek hukum)
yang menimbulkan kejadian itu.
99

Hukum pidana Indonesia memandang, suatu
perbuatan dapat dipidana jika telah terpenuhinya unsur-
unsur perbuatan pidana yang dimaksud. Semua unsur tindak
pidana yang akan dijelaskan di bawah ini merupakan satu
kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa
menyebabkan terdakwa dibebaskan Pengadilan.
100

Unsur yang pertama adalah unsur subjektif, yaitu
unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum
pidana menyatakan, bahwa “tidak ada hukuman kalau tidak

97
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), 94.
98
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia
(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 59.
99
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 59.
100
Marpaung, Asas, Teori, Dan Praktik Hukum Pidana, 10.

168

ada kesalahan.” Unsur subjektif ini meliputi perbuatan yang
disengaja (dolus) atau perbuatan karena kelalaian (culpa).
101

Perbuatan yang disengaja (dolus) adalah suatu
perbuatan kriminal yang dilakukan dengan sengaja bilamana
pembuat delik menyadari perbuatannya dan ingin
melakukannya, atau bilamana ia menyadari bahwa dengan
perbuatannya atau pengabaiannya dapat menimbulkan
konsekuensi (akibat) yang dilarang dan menyetujui
terjadinya.
102
Sementara itu, perbuatan karena kelalaian
(culpa) adalah suatu macam perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana yang kurang berhati-hati, sehingga
akibat yang tidak disengaja terjadi.
103

Unsur yang kedua adalah unsur objektif, yaitu unsur
yang berasal dari luar diri pelaku. Unsur ini terdiri dari atas
perbuatan manusia, akibat perbuatan manusia, keadaan-
keadaan, adanya sifat melawan hukum, dan adanya sifat
dapat dihukum.
104

Perbuatan manusia dapat berupa: (a) act
(commissions), yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;
dan (b) omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif
yang wujudnya adalah perbuatan yang mendiamkan atau
membiarkan. Di samping itu, akibat perbuatan manusia yang
membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,
juga menjadi bagian dari unsur objektif suatu tindak
pidana.
105

Kemudian, bagian dari unsur subjektif berikutnya
adalah keadaan-keadaan (circumstances), yaitu keadaan yang
mempengaruhi pada saat perbuatan itu dilakukan dan/atau
saat setelah perbuatan dilakukan. Terakhir adalah adanya
sifat melawan hukum, yaitu apabila perbuatan itu

101
Ibid., 9–10.
102
A Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), 273.
103
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 72.
104
Marpaung, Asas, Teori, Dan Praktik Hukum Pidana, 9–10.
105
Ibid.

169

bertentangan dengan hukum yang berkenaan dengan suatu
larangan atau perintah dan adanya sifat dapat dihukum, yaitu
berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si
pelaku dari hukuman.
106

Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 membuat sejumlah
larangan penggunaan klausula baku dalam standar kontrak,
yaitu sebagai berikut:
107

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa
yang dibeli oleh konsumen;
4. menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi manfaat jasa atau

106
Ibid.
107
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 18 ayat (1) dan (2).

170

mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai,
atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan
oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula
baku yang bertentangan dengan undang-
undang ini.
Klausula baku yang tercantum pada karcis kendaraan
bermotor telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a UU No. 8 Tahun 1999, yaitu “pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha.” Pencantuman klausula baku sebagaimana ketentuan
di atas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999:

171

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat
(2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Perumusan delik pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: (a) pelaku
usaha; (b) menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan; (c) membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian; dan
(d) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
3.3. Sanksi Tindak Pidana Pencantuman Klausula Baku
pada Karcis Kendaraan Bermotor Menurut UU No.
8 Tahun 1999
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya
secara sepintas bahwa hukuman ditujukan terhadap pribadi
orang yang melakukan pelanggaran pidana. Hukuman atau
sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukuman
pidana dengan bagian hukum yang lain. Hukuman dalam
hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan
pergaulan hidup yang teratur.
108

Hukum pidana pada umumnya mempunyai 3 (tiga)
teori yang mendasari diadakannya suatu hukuman. Pertama,
teori imbalan (absolute), yaitu dasar hukuman harus dicari
dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah
menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai
imbalannya si pelaku juga harus diberi penderitaan. Kedua,
teori maksud (relative), yaitu hukuman dijatuhkan untuk
melaksanakan maksud dari hukuman itu untuk memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu.
Ketiga, terori gabungan, yaitu penjatuhan hukuman adalah

108
Marpaung, Asas, Teori, Dan Praktik Hukum Pidana, 105.

172

untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat
dan memperbaiki pribadi si penjahat.
109

Berdasarkan pada titel II Buku I KUHP yang berjudul
“Hukuman” (straffen), tergambar sistem hukuman pidana
yang diturut di Indonesia. Dalam Pasal 10 KUHP terdapat 4
(empat) macam hukuman pokok, yaitu: (1) hukuman mati;
(2) hukuman penjara; (3) hukuman kurungan; dan (4) denda.
Ada juga 3 (tiga) macam hukuman tambahan, yaitu: (1)
pencabutan hak-hak tertentu; (2) perampasan barang-barang
tertentu; dan (3) pengumuman putusan hakim.
110

Model pengaturan sanksi pidana dalam pelbagai
ketentuan undang-undang di Indonesia dapat dilihat dari
beberapa segi: (1) stelsel alternatif, yaitu norma dalam
undang-undang ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada
norma dalam undang-undang yang berbunyi “… diancam
dengan pidana penjara atau pidana denda …”; (2) stelsel
kumulatif, yaitu ditandai dengan ciri khas adanya kata “dan”.
Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan
pidana dua-duanya; dan (3) stelsel alternatif-kumulatif, yaitu
ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu undang-undang yang
menganut stelsel ini, memberikan kebebasan hakim untuk
menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukah
kumulatif (menggabungkan).
111

Hukum perlindungan konsumen di samping
mempunyai aspek keperdataan, juga mempunyai aspek
kepidanaan. Oleh karena itu, hukum perlindungan konsumen
adalah juga bagian dari hukum pidana. Artinya, perbuatan
produsen yang merugikan atau melanggar hak konsumen
yang bertentangan dengan norma hukum pidana dapat

109
Ibid., 105–107.
110
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, Pasal
10.
111
Didik Endro Purwoleksono, “Pengaturan Sanksi Pidana Dalam
Ketentuan UU (Bagian III),” Gagasan Hukum, last modified 2008, accessed
March 27, 2013,
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/15/pengaturan-sanksi-
pidana-dalam-ketentuan-uu-bagian-iii/.

173

dikategorikan sebagai tindak pidana, karena itu diselesaikan
dengan hukum pidana dan memakai instrumen pidana.
112

Salah satu perbuatan produsen yang melanggar hak
konsumen yang dapat dikenai sanksi pidana adalah
pencantuman klausula baku pada karcis parkir kendaraan
bermotor. Pencantuman klausula baku merupakan salah satu
wujud ketidakseimbangan dalam hal kedudukan antara
konsumen dan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha
untuk memperoleh keuntungan dengan jalan melanggar
hukum.
113

Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 telah mengatur
sedemikian rupa, bahwa perbuatan produsen atau pelaku
usaha yang tetap mencantumkan klausula baku dalam bentuk
pengalihan tanggung jawab dapat dipidana:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat
(2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Secara teoritis, model pengaturan sanksi pidana pada
ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 di atas
termasuk dalam stelsel alternatif, yaitu norma dalam undang-
undang ditandai dengan kata “atau”.
114
Dengan demikian, di
sini sikap memilih pidana denda benar -benar atas
pertimbangan Hakim secara cermat dan objektif serta praktis
daripada pidana penjara atau karena memperhitungkan

112
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, 59.
113
Ibid., 27.
114
Purwoleksono, “Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan
UU (Bagian III).”

174

untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana
penjara.
115

4. Bab IV: Analisis Tindak Pidana Pencantuman
Klausula Baku pada Karcis Parkir Kendaraan
Bermotor
4.1. Analisis Tindak Pidana dan Pidana Pencantuman
Klausula Baku pada Karcis Kendaraan Bermotor
4.1.1. Analisis terkait Tindak Pidana
Penyediaan lahan parkir merupakan wujud perhatian
pelaku usaha (pendiri mall) untuk langkah pengaman bagi
kendaraan konsumen yang tengah berkunjung. Adapun salah
satu bentuknya adalah penitipan sepeda motor dan mobil.
Konsumen dikatakan menitipkan kendaraannya ketika
kendaraan yang dimaksud memanfaatkan lahan parkir yang
disediakan pelaku usaha. Lalu, konsumen mendapatkan tanda
bukti penitipan berbentuk semacam lembaran, yang
umumnya disebut dengan karcis.
Namun, niat baik pelaku usaha dalam mengelola jasa
parkir bagi konsumen tidak selamanya terealisasikan. Tak
putus dirundung malang, sepertinya ungkapan ini tepat bagi
konsumen jasa perparkiran. Betapa tidak, selain harus
bersiap merogoh kocek lebih dalam akibat kebijakan tarif
parkir yang berbeda-beda, keamanan konsumen parkir juga
mulai tergerus. Lebih malang lagi, karena setiap mengurus
kehilangan barang ditempat parkir, konsumen harus beradu
mulut dengan operator. Bahkan, acapkali kehilangan barang
atau kendaraan di tempat parkir berakhir tanpa
mendapatkan ganti sepadan.
116

Berdasarkan pengamatan peneliti, pencantuman
klausula baku pada karcis parkir kendaraan bermotor di
pusat perbelanjaan modern di Surabaya masih tumbuh subur.
Fenomena ini lantas menjadi lazim dan menjadi hal yang

115
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana
Dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 50.
116
Rahayu, “Melawan Klausula Baku Tiket Parkir.”

175

tampak umum. Padahal, menurut Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999, pencantuman klausula baku terma suk
perbuatan yang dapat diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Hukum pidana Indonesia memandang, suatu
perbuatan dapat dipidana jika telah terpenuhinya unsur-
unsur perbuatan pidana yang dimaksud. Unsur yang pertama
adalah unsur subjektif, yaitu unsur yang berasal dari dalam
diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan, bahwa “tidak
ada hukuman kalau tidak ada kesalahan.” Unsur subjektif ini
meliputi perbuatan yang disengaja (dolus) atau perbuatan
karena kelalaian (culpa). Dalam hal ini jelas, bahwa pengelola
jasa parkir telah memenuhi unsur yang pertama ini, yaitu
dengan sengaja mencantumkan klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor yang dilarang oleh Pasal 18 ayat (1)
huruf a UU No. 8 Tahun 1999.
Unsur yang kedua adalah unsur objektif, yaitu unsur
yang berasal dari luar diri pelaku. Unsur ini terdiri dari atas
perbuatan manusia, akibat perbuatan manusia, keadaan-
keadaan, adanya sifat melawan hukum, dan adanya sifat
dapat dihukum.
Perbuatan manusia dapat berupa: (a) act
(commissions), yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;
atau (b) omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan
negatif yang wujudnya adalah perbuatan yang mendiamkan
atau membiarkan. Dalam hal ini, perbuatan pengelola jasa
parkir dengan mencantumkan klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor merupakan perbuatan aktif (delik
commisionis).
Di samping itu, akibat perbuatan manusia yang
membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,
juga menjadi bagian dari unsur objektif suatu tindak pidana.
Dalam hal ini, tindakan pengelola jasa parkir dengan
mencantumkan klausula baku pada karcis kendaraan

176

bermotor membawa akibat kerugian pada diri konsumen
karena kedudukannya yang tak seimbang (asas kebebasan
berkontrak) dengan pelaku usaha.
Bagian dari unsur objektif selanjutnya adalah
keadaan-keadaan, yaitu keadaan yang menyertai suatu delik
seperti cara melakukan. Dalam hal ini, cara yang dilakukan
oleh pelaku usaha yang merupakan tindak pidana adalah
dengan mencantumkan klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor yang jelas-jelas telah dilarang oleh Pasal 18 ayat (1)
huruf a UU No. 8 Tahun 1999.
Unsur selanjutnya adalah adanya sifat melawan
hukum, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini jelas, bahwa pelaku
usaha dengan melawan hukum (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU
No. 8 Tahun 1999) tetap mencantumkan klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor.
Berdasarkan analisis di atas, telah dengan jelas terlihat
bahwa pengelola jasa parkir telah melakukan suatu tindak
pidana di mana unsur-unsur tindak pidananya (baik subjektif
maupun objektif) telah terpenuhi. Semua unsur tindak pidana
yang akan telah dijelaskan di atas merupakan satu kesatuan.
Artinya, salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat
menyebabkan terdakwa dibebaskan Pengadilan. Dengan
demikian, berdasarkan analisis di atas, jelas bahwa pengelola
jasa parkir dapat terkena sanksi pidana berdasarkan putusan
pengadilan.
4.1.2. Analisis terkait Pidana
Hukum perlindungan konsumen di samping
mempunyai aspek keperdataan, juga mempunyai aspek
kepidanaan. Oleh karena itu, hukum perlindungan konsumen
adalah juga bagian dari hukum pidana. Artinya, perbuatan
produsen yang merugikan atau melanggar hak konsumen
yang bertentangan dengan norma hukum pidana dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana, karena itu diselesaikan
dengan hukum pidana dan memakai instrumen pidana.

177

Salah satu perbuatan produsen yang melanggar hak
konsumen yang dapat dikenai sanksi pidana adalah
pencantuman klausula baku pada karcis parkir kendaraan
bermotor. Pencantuman klausula baku merupakan salah satu
wujud ketidakseimbangan dalam hal kedudukan antara
konsumen dan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha
untuk memperoleh keuntungan dengan jalan melanggar
hukum.
Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 telah mengatur
sedemikian rupa, bahwa perbuatan produsen atau pelaku
usaha yang tetap mencantumkan klausula baku dalam bentuk
pengalihan tanggung jawab dapat dipidana:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat
(2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Secara teoritis, model pengaturan sanksi pidana pada
ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 di atas
termasuk dalam stelsel alternatif, yaitu norma dalam undang-
undang ditandai dengan kata “atau”.
117
Dengan demikian, di
sini sikap memilih pidana denda benar -benar atas
pertimbangan Hakim secara cermat dan objektif serta praktis
daripada pidana penjara atau karena memperhitungkan
untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana
penjara.
118

Menurut David Tench, penerapan hukum pidana
dalam upaya mewujudkan dan menegakkan hak -hak

117
Purwoleksono, “Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan
UU (Bagian III).”
118
Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan
Pemidanaan, 50.

178

konsumen merupakan langkah yang ampuh dalam
menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku
ekonomi, khususnya berkaitan dengan penegakan hak-hak
konsumen. Bahkan, lebih jauh, bahwa kehadiran hukum
pidana merupakan keharusan dalam menegakkan hak-hak
konsumen.
119

4.2. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Tindak
Pidana dan Pidana Pencantuman Klausula Baku
pada Karcis Kendaraan Bermotor
4.2.1. Analisis terkait Tindak Pidana
Klausula baku yang tercantum pada karcis kendaraan
bermotor telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a UU UU No. 8 Tahun 1999, yaitu pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha. Pencantuman klausula baku sebagaimana ketentuan di
atas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Hukum pidana Islam memandang, bahwa suatu
perbuatan bisa dikatakan sebagai tindak pidana (jarimah)
bila memang memenuhi unsur-unsur yang telah melekat
pada istilah jarimah itu sendiri. Dalam hukum pidana Islam,
unsur-unsur jarimah terbagi menjadi dua, yaitu unsur umum
dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada jarimah adalah
sebagai berikut:
1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan
tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-
perbuatan tersebut (al-rukn al-syar'i).
120
Dengan
demikian, sudah terpenuhilah unsur yang pertama ini,
bahwa pencantuman klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor merupakan perbuatan yang dilarang

119
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, 60.
120
Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam), 3.

179

dan diancam pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal
18 ayat (1) jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999;
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik
berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau
meninggalkan perbuatan yang diharuskan (al-rukn al-
madi).
121
Dengan demikian, juga sudah terpenuhilah
unsur yang kedua ini, bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan yang dilarang dengan tetap mencantumkan
klausula baku pada karcis kendaraan bermotor; dan
3. Pelaku kejahatan adalah mukallaf, sehingga mereka dapat
dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan (al-rukn al-
adabi).
122 Demikian pula sudah terpenuhilah unsur yang
ketiga ini, bahwa pelaku usaha (korporasi) dapat dituntut
atas perbuatan yang dinilai telah melanggar ketentuan-
ketentuan pidana, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 62
ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999.
Di samping unsur umum di atas, ada unsur khusus
yang hanya berlaku di dalam satu jarimah dan tidak sama
dengan unsur khusus jarimah lain.
123
Dalam hal ini, unsur-
unsur khusus tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: (a) pelaku
usaha; (b) menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan; (c) membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian; dan
(d) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Hukum pidana Islam memandang, jarimah dapat
dibagi menjadi bermacam-macam sesuai dengan aspek yang
dilihat. Oleh karena itu, menurut peneliti, perlu untuk
mengidentifikasi tindak pidana pencantuman klausula baku
pada karcis kendaraan bermotor berdasarkan tinjauan
hukum pidana Islam. Berikut adalah macam-macam jarimah
dalam hukum pidana Islam dilihat dari berbagai seginya:

121
Ibid.
122
Ibid.
123
Ibid.

180

1. Ditinjau dari segi beratnya hukuman, jarimah dapat dibagi
kepada 3 (tiga) bagian, yaitu jarimah hudud, qisas-diyat,
dan ta’zir.
124
Dalam hal ini, tindak pidana pencantuman
klausula baku pada karcis kendaraan bermotor termasuk
dalam kategori jarimah ta’zir. Sebab, hukumannya belum
ditentukan oleh syara’ dan untuk penetapan serta
pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa (ul al-amri)
sesuai dengan bidangnya;
2. Ditinjau dari segi niatnya, jarimah dapat dibagi kepada 2
(dua) bagian, yaitu jarimah sengaja dan jarimah tidak
sengaja.
125
Dalam hal ini, tindak pidana pencantuman
klausula baku pada karcis kendaraan bermotor termasuk
dalam kategori jarimah sengaja (jaraim maqsudah), yaitu
si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya,
sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang;
3. Ditinjau dari segi cara melakukannya, jarimah dapat
dibagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu jarimah positif
(ijabiyyah) dan jarimah negatif (salabiyyah).
126
Dalam hal
ini, tindak pidana pencantuman klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor termasuk dalam kategori jarimah
positif, yaitu si pelaku secara aktif mengerjakan perbuatan
yang dilarang, atau dalam bahasa hukum positif dinamai
delict commisionis;
4. Ditinjau dari segi objeknya, jarimah dapat dibagi menjadi
2 (dua), yaitu jarimah masyarakat dan jarimah
perseorangan.
127
Dalam hal ini, tindak pidana
pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor termasuk dalam kategori jarimah masyarakat,
yaitu suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya
dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik
jarimah tersebut mengenai perorangan atau mengenai
ketentraman masyarakat dan keamanannya; dan

124
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 26–48.
125
Ibid.
126
Ibid.
127
Ibid., 24–25.

181

5. Ditinjau dari segi tabiatnya atau motifnya, jarimah dapat
dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu jarimah politik dan
jarimah biasa.
128
Dalam hal ini, tindak pidana
pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor termasuk dalam kategori jarimah biasa, yaitu
jarimah yang tidak bermuatan politik.
4.2.2. Analisis terkait Pidana
Khusus dalam masalah jarimah, maka ada 2 (dua) hal
yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu mata rantai
yang tidak akan pernah terputus, yaitu kejahatan dan
hukuman.
129
Perintah dan larangan saja tidak akan berarti
sama sekali dan tidak cukup mendorong seseorang untuk
meninggalkan suatu perbuatan atau melaksanakannya, untuk
itu diperlukan sanksi berupa hukuman bagi siapa saja yang
melanggarnya.
130
Dengan demikian, hukuman adalah suatu
penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan
yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut
hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa
pidana.
131

Hukuman bagi pelaku pencantuman klausula baku
pada karcis kendaraan bermotor diancam dengan pidana
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat
(2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana

128
Ibid., 25.
129
Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 41.
130
Al-Maliki, Nidzam Al-‘Uqubat (Sistem Sanksi Dalam Islam), 2.
131
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 137.

182

denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Hukum pidana Islam memandang, jika hukuman itu
diakui keberadaannya, maka konsekuensinya adalah
penerapan atau pelaksanaannya harus memenuhi 3 (tiga)
syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Hukum dianggap mempunyai dasar kepada sumber -
sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, atau
undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang (ul al-amri) seperti dalam hukuman ta’zir.
Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pencantuman klausula
baku pada karcis kendaraan bermotor merupakan
undang-undang yang ditetapkan oleh ul al-amri.
2. Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau
perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus
dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana
dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Dalam
hal ini, sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku
pada karcis kendaraan bermotor memang diperuntukkan
hanya kepada pelaku usaha yang melakukan perbuatan
terlarang tersebut.
3. Hukuman harus berlaku umum, yaitu hukuman harus
berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi,
apa pun pangkat, jabatan, status, dan kedudukannya.
Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi
kepada beberapa bagian, dengan meninjaunya dari beberapa
segi. Dalam hal ini, ada lima penggolongan.
1. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan
hukuman yang lainnya, hukuman dapat dibagi kepada 4
(empat) bagian, yaitu hukuman pokok (al-‘uqubat as}-
as}liyah), hukuman pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah),
hukuman tambahan ( al-‘uqubat at-taba’iyah), dan
hukuman pelengkap (al-‘uqubat at-takmiliyah). Dalam hal
ini, sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor sebagaimana dalam Pasal 62

183

ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 termasuk dalam kategori
hukuman pokok;
2. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan
berat ringannya hukuman, maka hukuman dapat dibagi
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukuman yang hanya
mempunyai satu batas dan hukuman yang mempunyai
batas tertinggi dan terendah. Dalam hal ini, tindak pidana
sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor termasuk dalam hukuman
yang mempunyai batas tertinggi dan terendah, di mana
hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang
sesuai antara kedua batas tersebut;
3. Ditinjau dari segi keharusan atau besarnya hukuman
untuk memutuskan dengan hukuman tersebut, hukuman
dapat dibagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu hukuman yang
sudah ditentukan (al-‘uqubah al-muqaddarah) dan
hukuman yang belum ditentukan (al-‘uqubah al-ghair al-
muqaddarah). Dalam hal ini, sanksi tindak pidana
pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor termasuk dalam hukuman yang belum
ditentukan oleh syara’;
4. Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka
hukuman dapat dibagi kepada 3 (tiga) bagian, yaitu
hukuman badan, jiwa, dan harta. Dalam hal ini, sanksi
tindak pidana pencantuman klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor merupakan kombinasi dari hukuman
jiwa dan harta; dan
5. Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan
hukuman, hukuman dapat dibagi kepada 3 (tiga) bagian,
yaitu hukuman hudud, qisas-diyat, dan ta’zir. Dalam hal
ini, sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor termasuk dalam hukuman
yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir.
Sebagaimana judul pada subbab ini, membawa
konsekuensi bahwa fokus tinjauan adalah pada segi
macamnya jarimah yang diancamkan hukuman. Dalam hal ini,

184

sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor termasuk dalam hukuman yang
ditetapkan untuk jarimah ta’zir. Di mana memang tindak
pidana yang dimaksud belum diatur di dalam nash, sehingga
menjadi kewenangan ul al-amri untuk menghukuminya.
Peranan ul al-amri dalam menghukum pelaku jarimah
ta’zir sangatlah penting. Tingkat kejahatan jelas akan
meningkat bila tidak ada alat yang menjerakannya yang
dijalankan oleh para pengelola urusan masyarakat.
132

Sebaliknya, jika ul al-amri bersikap tegas dengan membuat
berbagai peraturan perundang-undangan terhadap perilaku
yang dilarang berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang
dipimpinnya, maka niscaya kemashlahatan akan terjamin.
Sebagaimana ketentuan pada Pasal 62 ayat (1) UU No.
8 Tahun 1999, bahwa pelaku tindak pidana diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Dalam tinjauan
hukum pidana Islam, pemenjaraan adalah menghalangi atau
melarang seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Oleh
karena itu, sanksi penjara harus bisa menjadi sanksi yang
dapat mencegah.
133
Kiranya itulah yang dimaksud oleh
pembuat undang-undang di Indonesia akan manfaat dari
hukuman penjara tersebut.
Adanya pilihan terhadap sanksi (stelsel alternatif)
sebagaimana Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999, yaitu
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
sebanyak-banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk
memutuskannya. Menurut tinjauan hukum pidana Islam,
otoritas tersebut juga berada ditangan hakim. Karena tindak
pidana tersebut merupakan kategori jarimah ta’zir, maka
diserahkan kepada ul al-amri sesuai dengan bidangnya, yaitu

132
Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, 3.
133
Al-Maliki, Nidzam Al-‘Uqubat (Sistem Sanksi Dalam Islam),
257–258.

185

badan yudisial (hakim) yang bertugas sebagai penegak
hukum.
134

Pada kenyataannya, hukuman bagi jarimah ta’zir
merupakan wewenang sepenuhnya bagi ul al-amri. Dalam
menjatuhkan hukuman, ul al-amri akan mempertimbangkan
satu hal yang amat penting, yaitu kemaslahatan. Menurut
Abdul al-Wahhab Khallaf, dalam proses penetapan hukum
Islam yang tidak ditegaskan oleh teks syariah (ta’zir),
maslahat menjadi kerangka acuan, yang wujud nyatanya
berupa potensi menolak keburukan atau kerusakan dan
menghadirkan kebaikan atau kemanfataan.
135

Tidak dapat dinafikan, tujuan diadakannya hukuman
bagi pelaku tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis kendaraan bermotor telah memenuhi apa yang
menjadi tujuan adanya hukuman dalam hukum pidana Islam.
Pertama, menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan
jarimah-nya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan
jarimah tersebut. Kedua, mendidik pelaku jarimah agar ia
menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya.
Ketiga, di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam
dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk
masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya
dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.
Dengan demikian, tujuan umum dari adanya hukum
untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan bagi
kebutuhan-kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan akan agama,
jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda dapat terealisasikan
dan mendapatkan jaminan. Di samping itu, upaya untuk
menolak segala bentuk keburukan dan menghadirkan
kemanfaatan semakin besar adanya dengan terwujudkannya

134
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah, 10.
135
Lihat, Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan
Perundang-Undangan Pidana Khusus Di Indonesia (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2010), 43.

186

suatu hukum yang mengandung asas kepastian, kemanfaatan,
dan keadilan.
5. Bab V: Penutup
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan data yang terkumpul dari dokumentasi
dan beberapa buku literatur sebagai bahan kepustakaan,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor oleh pengelola jasa parkir merupakan tindak
pidana yang dapat diancam dengan sanksi sesuai dengan
Pasal 18 ayat (1) huruf a jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999. Sanksi tindak pidana tersebut adalah dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). Model pengaturan sanksi pidana tersebut
termasuk dalam stelsel alternatif yaitu norma dalam
undang-undang ditandai dengan kata “atau”. Dengan
demikian, di sini sikap memilih pidana denda benar-benar
atas pertimbangan hakim secara cermat dan objektif.
2. Sanksi tindak pidana pencantuman klausula baku pada
karcis parkir kendaraan bermotor kepada pengelola jasa
parkir dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999
menurut tinjauan hukum pidana Islam termasuk dalam
sanksi yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir, di mana
tindak pidana yang dimaksud belum diatur di dalam nash,
sehingga menjadi kewenangan ulil ‘amri untuk
menghukuminya.
5.2. Saran
Berdasarkan bukti dari dokumentasi karcis parkir dan
analisis kepustakaan terhadap masalah sanksi tindak pidana
pencantuman klausula baku pada karcis kendaraan bermotor
oleh pengelola jasa parkir, peneliti menyarankan kepada:
1. Pelaku usaha jasa parkir di pusat perbelanjaan modern
(mall) di Surabaya untuk menghentikan praktik-praktik
yang merugikan dan melanggar hak-hak konsumen

187

dengan mencantumkan klausula baku pada karcis
kendaraan bermotor;
2. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Surabaya untuk mengambil langkah represif bagi
pelanggar;
3. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Kepolisian
Resor Kota Besar Surabaya agar segera sadar akan
keberadaan ketentuan yang dilarang tersebut; dan
4. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) agar
menjadi controller dan fighter terkait dengan berbagai
penyimpangan dan pelanggaran hak-hak konsumen
sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh UU No. 8
Tahun 1999, misalnya saja pencantuman klausula baku
pada karcis kendaraan bermotor oleh pengelola jasa
parkir di mall-mall di Kota Surabaya.

Daftar Pustaka
Al-Maliki, Abdurrahman. Nidzam Al-‘Uqubat (Sistem Sanksi
Dalam Islam). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Asmawi. Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-
Undangan Pidana Khusus Di Indonesia. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan
Pelatihan Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010.
Djazuli, A. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
Dalam Islam). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Doi, Abdur Rahman I. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam.
Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Farid, A Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika,
1995.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah).
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,

188

2010.
———. Hukum Pidana Ekonomi. Surabaya: Erlangga, 1996.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1990.
Hukumonline. “Penindakan Pencantum Klausula Baku
Terlarang Masih Minim.” Hukumonline. Accessed October
11, 2012.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17990/p
enindakan-pencantum-klausula-baku-terlarang-masih-
minim.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah Hukum Islam. Jakarta:
Pusataka Amani, 2003.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Marpaung, Leden. Asas, Teori, Dan Praktik Hukum Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
———. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih
Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Nadzir, Mohammad. “Pelanggaran Terhadap Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen Menurut Undang -Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Dan Hukum Islam (Studi
Perbandingan).” IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Purwoleksono, Didik Endro. “Pengaturan Sanksi Pidana
Dalam Ketentuan UU (Bagian III).” Gagasan Hukum. Last
modified 2008. Accessed March 27, 2013.

189

http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/15/pen
gaturan-sanksi-pidana-dalam-ketentuan-uu-bagian-iii/.
Rachmaliana, Lailiya. “Penerapan Klausula Baku Pada Proses
Penerbitan Kartu Kredit Bank BNI Syariah Hasanah Card
(Analisis Hukum Islam Dan Undang -Undang
Perlindungan Konsumen).” IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2011.
Rahayu, Karunia Asih. “Melawan Klausula Baku Tiket Parkir.”
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Accessed October
11, 2012. http://www.ylki.or.id/melawan-klausula-
baku-tiket-parkir.html.
Rizal, Moch Choirul. Klausula Baku Perspektif Hukum Pidana.
Surabaya: Bijak Publishing, 2018.
———. “Sanksi Tindak Pidana Pencantuman Klausula Baku
Pada Karcis Kendaraan Bermotor.” al-Daulah: Jurnal
Hukum dan Perundangan Islam 3, no. 2 (2013): 299–322.
Setyaningsih, Dewi. “Pelanggaran Hukum Terhadap Larangan
Klausula Baku Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No. 8 Tahun 1999 Dalam Tinjauan Hukum
Islam.” IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010.
Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana
Dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Wikipedia. “Daftar Pusat Perbelanjaan Di Surabaya.”
Wikipedia. Accessed October 11, 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Pusat_Perbelanjaan
_di_Surabaya.
———. “Kota Surabaya.” Wikipedia. Accessed October 11,
2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya.

190

191

TENTANG PENERBIT

Excellent 12: Solidaritas untuk Penelitian Hukum
terbentuk atas inisiasi para dosen muda pada Fakultas Syariah
IAIN Kediri. Kehadiran forum ini dimaksudkan untuk
melakukan penelitian-penelitian hukum secara interdisipliner
sekaligus melakukan penguatan internal mengenai
penggunaan metode penelitian hukum melalui diskusi,
workshop, seminar, konferensi, dan publikasi.
Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
merupakan bagian dari Fakultas Syariah IAIN Kediri yang
dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan tridharma
perguruan tinggi di bidang hukum dan hak asasi manusia
melalui pemantauan, penelitian, publikasi, pemberdayaan
masyarakat, peningkatan kapasitas internal, dan kerjasama
strategis. Informasi selengkapnya mengenai pusat studi ini
dapat dilihat pada website: puskumham.iainkediri.ac.id atau e-
mail ke: [email protected].
Lembaga Studi Hukum Pidana (LSHP) berdiri pada tanggal
1 Februari 2020. LSHP merupakan lembaga independen dan
nirlaba yang mengarusutamakan isu hukum pidana melalui
pemantauan, penelitian, publikasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Berbagai kabar dan produk LSHP dapat dilihat
pada website: www.lshp.or.id. Untuk keperluan korespondensi
dan mendukung kerja-kerja LSHP, silakan kontak melalui e-
mail: [email protected].

Ragam Metode Penelitian Hukum-Ragam Metode Penelitian Hukum

About This Presentation

Slide Content

Tags

Categories

Download

Quick Actions

Statistics

Related Slideshows

Ragam Metode Penelitian Hukum-Ragam Metode Penelitian Hukum

About This Presentation

Slide Content

Slide 2

Slide 4

Slide 6

Slide 7

Slide 8

Slide 9

Slide 10

Slide 11

Slide 12

Slide 13

Slide 14

Slide 15

Slide 16

Slide 17

Slide 18

Slide 19

Slide 20

Slide 21

Slide 22

Slide 23

Slide 24

Slide 25

Slide 26

Slide 27

Slide 28

Slide 29

Slide 30

Slide 31

Slide 32

Slide 33

Slide 34

Slide 35

Slide 36

Slide 37

Slide 38

Slide 39

Slide 40

Slide 41

Slide 42

Slide 43

Slide 44

Slide 45

Slide 46

Slide 47

Slide 48

Slide 49

Slide 50

Slide 51

Slide 52

Slide 53

Slide 54

Slide 55

Slide 56

Slide 57

Slide 58

Slide 59

Slide 60

Slide 61

Slide 62

Slide 63

Slide 64

Slide 65

Slide 66

Slide 67

Slide 68

Slide 69

Slide 70

Slide 71

Slide 72

Slide 73

Slide 74

Slide 75

Slide 76

Slide 77

Slide 78

Slide 79

Slide 80