refarat neurologi YOP oleh YOP dibuat di FK USU

YogiPrimaZulkifli 7 views 11 slides Jan 29, 2025
Slide 1
Slide 1 of 11
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11

About This Presentation

ad


Slide Content

1
Refarat Kepada Yth:
Divisi Neurologi
Korelasi Kadar Zinc Serum dan Bangkitan Kejang Demam
Penyaji : dr.Yogi Prima Z
Pembimbing: dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
Supervisor: dr. Johannes H Saing, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
dr. Cynthea Prima Destariani, M.Ked(Ped), Sp.A
Pendahuluan
Kejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur serta
tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. tubuh rektal di atas 38
C
atau suhu
tubuh aksila 37,8
C
. Pada umumnya kejang demam terjadi pada umur 3 bulan sampai 5
tahun, dan terbanyak pada umur 14-18 bulan.
1,2
Kejang demam merupakan kelainan
tersering pada anak 2%-5% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara
2%-5% pada anak umur kurang dari lima tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam
dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80%-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang
demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam 9%-10%.
1,3
Prognosis kejang demam baik, namun 25%-50% kejang demam akan mengalami
bangkitan kejang demam berulang dan 4% pasien kejang demam dapat mengalami
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Insiden epilepsi akibat kejang
demam berkisar antara 2%-5% dan meningkat hingga 9%-13% bila terdapat faktor
risiko berupa riwayat keluarga dengan epilepsi, perkembangan abnormal sebelum
kejang demam pertama, atau mengalami kejang demam kompleks.
3
Selain itu, bangkitan
kejang
demam berulang dapat menimbulkan kekhawatiran orangtua pasien. Kepustakaan
menyebutkan bahwa 47%-77% orangtua pasien kejang demam sangat mengkhawatirkan
anaknya dan beranggapan bahwa penyakit anaknya berat dan berakhir dengan
kematian.
4
Kejang demam dapat terjadi karena adanya pengaruh beberapa hal, yaitu
umur, faktor risiko saat kehamilan maupun persalinan yang menyebabkan trauma otak,
suhu badan, faktor genetik, infeksi berulang dan ketidakseimbangan neurotransmitter
inhibitor dan eksitator.
5
Zinc (Zn) merupakan antagonis N metil-D-aspartat (NMDA)
sehingga kadar zinc rendah diduga dapat mengaktivasi reseptor NMDA dan berperan
dalam pengaturan eksitabilitas jalur sistem saraf pusat. Penelitian oleh Burhanoglu

2
(1996) mendapatkan adanya penurunan kadar zinc serum dan cairan serebrospinal pada
pasien kejang demam. Sebaliknya, konsentrasi tembaga, magnesium, dan protein tidak
mengalami penurunan.
6
Penelitian Ganesh dan Janakiraman di India tahun 2005-2006
mendapatkan adanya hubungan antara kadar zinc serum dengan kejang demam dengan
OR 1.5.
7
Data dari International Conference of Zinc and Human Health tahun 2000
menyimpulkan bahwa diperkirakan 48% populasi dunia mempunyai risiko. terjadi
defisiensi zinc, penelitian di Surakarta tahun 1988 pada 156 responden anak dan dewasa
didapatkan 87,2% mengalami defisiensi zinc.
8
Penelitian belah lintang di Teheran
(1997) pada 881 pelajar dengan usia rata-rata 13,2 tahun didapatkan 31,1% mengalami
defisiensi zinc.
9

Di Mexico (2001) insiden defisiensi zinc 40% di daerah perkampungan
sedangkan 18% di daerah perkotaan.
10
Penelitian oleh Huwae tahun 2006 pada 111 anak
usia 6 tahun-8 tahun di Grobogan Jawa Tengah didapatkan 40% anak mengalami
defisiensi zinc.
11
Penelitian tentang hubungan kadar serum zinc dengan bangkitan
kejang demam belum banyak dilakukan dan belum diketahui besarnya peranan kadar
zinc serum terhadap terjadinya bangkitan kejang demam.
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah melihat korelasi kadar zinc serum dan
bangkitan kejang demam.
Definisi Kejang demam
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) kejang demam
merupakan gangguan neurologis akut yang paling umum terjadi pada bayi dan anak-
anak disebabkan tanpa adanya infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam terjadi pada
umur 3 bulan sampai 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia 3
tahun. Kejang demam dapat terjadi bila suhu tubuh diatas 38
0
C dan suhu yang tinggi
dapat menimbulkan serangan kejang. Setiap anak dengan kejang demam memiliki
ambang kejang yang berbeda dimana anak dengan ambang kejang yang rendah terjadi
apabila suhu tubuh 38 derajat Celsius tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang
yang tinggi terjadi pada suhu 40 derajat Celsius bahkan bisa lebih dari itu. Demam dapat
terjadi setiap saat dan bisa terjadi pada saat setelah kejang serta anak dengan kejang
demam memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit demam kontrol.
1-4
Klassifikasi Kejang Demam
Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam dibagi
menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile seizure atau kejang demam
sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana adalah kejang general yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),

3
bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik) serta tidak berulang dalam waktu 24 jam
dan hanya terjadi satu kali dalam periode 24 jam dari demam pada anak yang secara
neorologis normal. Kejang demam sederhana merupakan 80% yang sering terjadi di
masyarakat dan sebagian besar berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti
sendiri. Sedangkan kejang demam kompleks memiliki ciri berlangsung selama lebih dari
15 menit, kejang fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum didahului kejang
parsial dan berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam. Pada kejang demam
sederhana umumnya terdiri dari tonik umum dan tanpa adanya komponen fokus dan
juga tidak dapat merusak otak anak, tidak menyebabkan gangguan perkembangan,
bukan merupakan faktor terjadinya epilepsi dan kejang demam kompleks umumnya
memerlukan pengamatan lebih lanjut dengan rawat inap 24 jam.
2,3
Modifikasi kriteria
Livingston sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam
sederhana sebagai berikut:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan-4 tahun
2. Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang tirnbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu
normal tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Etiologi Kejang Demam
Penyebab kejang demam hingga saat ini belum diketahui dengan pasti.
Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi dikarenakan pada suhu yang
tidak terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan
kejang demam diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti
otitis media akut, bronkitis dan tonsilitis. Sedangkan Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejang demam antara lain obat-
obatan, ketidak seimbangan kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis,
demam, patologis otak dan eklamsia (ibu yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea
gravidarum).
3-6
Faktor Resiko Kejang Demam
Faktor resiko merupakan penyebab langsung atau suatu pertanda terhadap hal
yang merugikan dan memudahkan terjadinya suatu penyakit serta mempunyai hubungan

4
yang spesifik dengan akibat yang dihasilkan. Anak yang mengalami kejang demam
kemungkinan besar akan menjadi penderita epilepsi jika adanya kelainan neurologis
sebelum kejang demam pertama dan kejang demam bersifat kompleks.
Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.Resiko kekambuhan kejang demam merupakan kejang demam yang terjadi
kedua kalinya sebanyak setengah dari pasien tersebut. Usia pada saat kejang
demam pertama merupakan faktor resiko yang paling penting dalam
kekambuhan ini, karena semakin muda usia pada saat kejang demam pertama,
semakin tinggi resiko keambuhan terjadi dan sebagai perbandingan, sebanyak
20% yang memiliki kekambuhan kejang demam pertama adalah usia tua lebih
dari 3 tahun.
2.Resiko epilepsi merupakan resiko mengembangnya kejang setelah terjadi
kejang demam dan berdampak pada keterlambatan perkembangan atau
pemeriksaan neurologis yang abnormal sebelum terjadi kejang demam,
riwayat kejang demam kompleks dan terjadi kejang demam berkepanjangan
serta menjadi resiko epilepsi. Resiko epilepsi ini merupakan faktor bawaan
yang sudah ada sebelumnya seperti perinatal, genetik atau keturunan.
3.Resiko perkembangan, kecacatan perilaku dan akademik pada anak kejang
demam adalah tidak lebih besar dari pada populasi umum dan anak dengan
kejang demam berkepanjangan dapat mengembangkan konsekuensi
neurologis jangka panjang.
4.Status demam epileptikus adalah kejang demam yaang memiliki durasi lebih
dari 30 menit dan merupakan bentuk paling parah dan berpotensi mengancam
nyawa dengan konsekuensi jangka panjang dan bersifat gawat darurat. Anak
dengan kejang demam pertama memiliki potensi status demam epileptikus
dimana dikaitkan dengan usia yang lebih muda dan suhu tubuh lebih rendah
serta durasi yang lebih lama.
5.Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat kejang
demam (pada masa kanak-kanak), saudara kandung dengan riwayat kejang
demam dan orang tua dengan riwayat epilepsi tanpa demam. Hal ini
menunjukkan bahwa anak yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga
terdekat mempunyai resiko untuk bangkitan kejang demam 4,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat dan faktor riwayat
kejang pada ibu, ayah dan saudara kandung menunjukkan hubungan yang
bermakna karena mempunyai sel yang kosong.

5
Manifestasi Klinis Kejang Demam
Kejang pada anak dapat terjadi bangkitan kejang dengan suhu tubuh mengalami
peningkatan yang cepat dan disebabkan karena infeksi di luar susunan saraf pusat seperti
otitis media akut, bronkitis, tonsilitis dan furunkulosis. Kejang demam biasanya juga
terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada saat demam dan berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, tonik dan fokal atau akinetik. Pada
umumnya kejang demam dapat berhenti sendiri dan pada saat berhenti, anak tidak dapat
memberikan reaksi apapun untuk sejenak tetapi
Setelah beberapa detik atau bahkan menit kemudian anak akan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf menjelaskan bahwa tanda pada anak yang mengalami kejang
adalah sebagai berikut :
(1) suhu badan mencapai 39 derajat Celcius;
(2) saat kejang anak kehilangan kesadaran,
(3) tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala terkulai ke belakang disusul
munculnya gejala kejut yang kuat;
(4) warna kulit berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik ke atas;
(5) gigi terkatup dan terkadang disertai muntah;
(6) napas dapat berhenti selama beberapa saat;
(7) anak tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.
Patofisiologi Kejang Demam
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting
adalah glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan
diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipercah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit
lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya. Pada
keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang
anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan

6
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang.
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan
dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih dari 15
menit biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi
hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan oleh matabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan
pada neuron dan terdapat gangguan perederan darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggalkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang
berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
Karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
di otak hingga terjadi epilepsi.
Gambar 1. Patofisiologi Kejang
Suhu bukan merupakan faktor risiko terjadinya bangkitan kejang demam.
Suhu badan saat timbul bangkitan kejang demam pertama pada pasien dengan mutasi
gen lebih rendah dibandingkan pasien tanpa mutasi gen (38°C dibanding 39°C). Pasien
dengan mutasi gen memiliki ambang kejang rendah akibat adanya channelopathy.
Channelopathy dapat mengakibatkan temperature sensitive sehingga dengan suhu tidak
tinggi sudah terjadi bangkitan kejang demam.

7
Tidak ada perbedaan bermakna antara suhu badan pada kejang demam
pertama maupun kejang demam berulang. Adanya gangguan perkembangan otak tidak
terbukti sebagai faktor risiko bangkitan kejang demam. Beberapa penelitian yang
dilakukan tahun 1985 sampai 1999 mendapatkan bahwa berat lahir rendah, prematuritas,
partus macet, dan partus sungsang, merupakan faktor risiko bangkitan kejang demam.
Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan gangguan perkembangan otak yang
mengakibatkan ambang kejang menurun.
14,15
Paparan asap rokok selama kehamilan
menurunkan oksigenasi dan mengganggu aliran darah janin sehingga menyebabkan
gangguan perkembangan otak. Usia <15 bulan, berat lahir <2 kg, dan suhu awal <38°C
merupakan faktor risiko bangkitan kejang demam khususnya tipe kejang demam
kompleks. Bayi dengan berat lahir rendah cenderung mengalami prematuritas atau
retardasi pertumbuhan intrauterin sehingga lebih rentan terhadap risiko hipoksia.
Penelitian Huang dkk
17
mendapatkan faktor risiko bangkitan kejang demam adalah
riwayat keluarga mengalami kejang demam (OR 3,1) dan infeksi berulang (OR 1,71).
Pasien dengan dua atau lebih faktor risiko memiliki kemungkinan 28% mengalami
bangkitan kejang demam setidaknya satu kali. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko
berulang adalah keluarga memiliki riwayat kejang demam, usia saat kejang demam
pertama kurang dari 12 bulan, serta derajat dan lamanya demam.1,13 Ada anggota
keluarga pasien (first degree relative) dengan riwayat pernah menderita kejang demam
dan adanya channelopathy mempunyai risiko hampir 3 kali untuk terjadi bangkitan
ulang kejang demam. Pada pasien kejang demam berulang lebih banyak didapatkan
adanya mutasi gen pintu voltase kanal ion natrium dibanding pasien tanpa kejang
demam berulang (77,8% berbanding 22,2%).
18
Hubungan Kadar Zinc Serum dengan Bangkitan Kejang Demam
Tidak ada korelasi antara kadar zinc serum dengan bangkitan kejang demam.
Namun demikian, kadar zinc serum bersama variabel lainnya dapat dipakai sebagai
faktor diskriminan terjadinya bangkitan kejang demam. Ganesh dan Janakiraman
melakukan penelitian pada 38 anak dengan bangkitan kejang demam sebagai kasus dan
38 anak dengan demam kurang dari tiga hari tanpa bangkitan kejang yang datang di
poliklinik rawat jalan sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar zinc
serum pada anak dengan bangkitan kejang demam lebih rendah daripada anak dengan
demam tanpa bangkitan kejang. Anak dengan kadar zinc serum rendah memiliki risiko
1,5 kali untuk mengalami bangkitan kejang demam.
7
Sebagian besar neurotransmiter (Ach, GABA) berperan dalam mengatur
aliran ion melalui kanal ion pada membran, sehingga menyebabkan terjadinya
depolarisasi atau hiperpolarisasi membrane. Na, K, Ca dan Cl merupakan ion-ion yang

8
keluar masuk sel melalui proses kanal ion (“ligand gated ion channels” atau “voltage
gated ion channels”).
Gangguan sensitivitas Zn2+ merupakan aspek penting yang mempengaruhi plastisitas
transmisi GABAergik. Selain itu didapatkan bahwa status epileptikus berhubungan
dengan turunnya sensitivitas Zn2+ reseptor GABA. Perubahan tersebut dapat terjadi
karena gangguan ekspresi beberapa sub unit yang berpengaruh terhadap sensitivitas
reseptor Zn2+. GABA merupakan derivat asam amino g-aminobutirat atau 4-
aminobutirat, merupakan inhibitor pada saat transmisi (penyaluran) presinaps di sistem
saraf pusat dan retina. GABA dibentuk dari dekarboksilasi glutamat oleh ensim
glutamat dekarboksilase (GAD). GABA di daur ulang pada CNS melalui reaksi yang
dikenal sebagai “GABA shunt” dalam sel glial dan diubah menjadi glutamin. Neuron
yang menghasilkan GABA dikenal sebagai GABAergik serta mempunyai 2 reseptor
yaitu GABA - A yang mempengaruhi kanal Cl dan GABA - B yang mempengaruhi
kanal K.
Takeda dkk melakukan penelitian pada tikus berusia 12 minggu dan 8 minggu
yang mengalami defisiensi zinc dan tidak mengalami defisiensi zinc sebagai kontrol.
Konsentrasi zinc diukur pada area korteks serebri, hipokampus, dan serebellum. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi zinc di ketiga area tersebut pada tikus usia
12 minggu dengan defisiensi zinc tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan
kontrol. Sedangkan pada tikus usia 8 minggu dengan defisiensi zinc didapatkan
penurunan konsentrasi zinc di vesikel pre sinap dan dapat mempengaruhi pelepasan
glutamat dari neuron terminal di hipokampus.
20
Hal ini menunjukkan bahwa pada masa pertumbuhan cepat seperti masa
kehamilan dan masa bayi, otak lebih rentan terhadap defisiensi zinc. Zinc dalam vesikel
lebih responsif terhadap terjadinya defisiensi zinc pada usia lebih muda. Pendapat lain
menyebutkan bahwa pada masa pasca natal awal, defisiensi zinc mengurangi kadar
mRNA dan protein untuk sub unit reseptor NMDA yaitu NR1, NR2A, dan NR2B. Pada
masa developmental window, ekspresi sub unit reseptor NMDA sangat sensitif terhadap
perubahan kadar zinc. Kadar zinc bebas dalam hipokampus tidak mengalami penurunan
meskipun dilakukan restriksi asupan zinc selama 4 minggu, namun demikian penurunan
ekspresi sub unit NR1 dapat menetap meskipun defisiensi zinc telah dikoreksi selama 65
hari. Kadar NR1 otak menetap di bawah 40% dibanding kontrol setelah dilakukan
koreksi. Penelitian kami mendukung teori bahwa defisiensi zinc yang terjadi pada masa
pertumbuhan cepat akan lebih bermakna menimbulkan gangguan fungsi otak. Hubungan
antara kadar zinc dalam diit dengan kadar zinc bebas dan implikasinya terhadap
pengaturan reseptor NMDA masih belum jelas.
21
Hal yang sama disebutkan oleh
Sandstead dkk
22
bahwa konsentrasi zinc pada bayi baru lahir lebih rendah dibanding

9
dewasa. Bayi kurang bulan memiliki afinitas zinc lebih rendah daripada bayi cukup
bulan. Defisiensi zinc akan meningkatkan uptake zinc dan berpengaruh terhadap otak
terutama pada respon sinap di hipokampus. Pengaturan reseptor NMDA dapat
dipengaruhi oleh kadar zinc maupun afinitas zinc terhadap reseptor glutamat. Szewczyk
dkk
23
melakukan penelitian pada otak tikus dan mendapatkan bahwa zinc dalam vesikel
sinap paling berperan dalam proses neurotransmisi. Zinc yang dilepaskan
mempengaruhi eksitabilitas otak melalui modulasi kanal ion dan reseptor asam amino
termasuk reseptor AMPA, NMDA, dan GABA. Pendapat tersebut didukung oleh Lee
dkk24 yang menyatakan bahwa zinc dalam vesikel merupakan zinc bebas, tidak terikat
protein, dan dilepaskan dari vesikel sinap apabila terjadi eksitasi neuron. Proses tersebut
kemudian mempengaruhi beberapa aktivitas kanal ion. Kandungan zinc dalam vesikel
sinap tersebut dipengaruhi oleh adanya zinc transporter 3 (ZnT3) dalam vesikel sinap.
Gen ZnT3 dalam vesikel sinap ini tidak mempengaruhi kandungan zinc non vesikuler.
Zinc di vesikel terdapat dalam jumlah relatif kecil dibandingkan total zinc dalam otak
namun merupakan faktor utama dari seluruh zinc otak yang reaktif secara histokimia.
25
Rerata kadar zinc serum pada pasien kejang demam lebih rendah dibandingkan kadar
zinc serum pada pasien demam tanpa bangkitan kejang demam, tetapi secara statistik
tidak bermakna.
Kesimpulan
Kadar zinc serum bersama dengan variabel lainnya yaitu faktor genetik,
infeksi berulang, penyulit dalam kehamilan maupun persalinan, suhu badan, gangguan
perkembangan otak, dan umur dapat dipakai sebagai prediktor terhadap bangkitan
kejang demam dengan kekuatan 81,9% meskipun kadar zinc serum memiliki peranan
kecil. Pada pasien dengan bangkitan kejang demam, belum perlu dilakukan
pemeriksaan kadar zinc serum.
DAFTAR PUSTAKA
1.Widodo DP. Kejang demam : apa yang perlu diwaspadai? Dalam: Penanganan
demam pada anak secara profesional. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVII. Jakarta; 2005.58-66.
2.Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB
Saunders Co;2007.h.2457-71.
3.Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam: Baram TZ,
Shinnar S, penyunting, Febrile Seizures. San Diego : Academic press;2002.h.1- 25.

10
4.Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Camfield CS, MacSween J. Treatment of
febrile seizures: the influence of treatment efficacy and side-effect profile on value to
parents. Pediatrics 2001;108:1080-8.
5.Fisher RS, Wu J. Basic electrophysiology of febrile seizures. Dalam: Baram TZ,
Shinnar S, penyunting. Febrile Seizures. San Diego : Academic press;2002.h.231- 47.
6.Burhanoglu M, Tutunouglu S, Coker C, Tekgul H, Ozgur T. Hypozincemia in febrile
convulsion. Eur J Pediatr 1996;155:498-501.
7.Ganesh R, Janakiraman L. Serum zinc level in children with simple febrile seizure.
Clin Pediatr (Phila) 2008;47:164-6.
8.Satoto. Zinc deficiency among Indonesian children. Dalam: Joint Symposium
between Department of Nutrition & Department of Paediatrics Faculty of Medicine,
Sebelas Maret University and The Center of Human Nutrition, University of
Shiffield, UK. Surakarta;2001.
9.Mahmoodi MR, Kimiagar SM. Prevalence of zinc deficiency in junior high school
student of Teheran City. Bio Trace Elem Res 2001;81:93-103.
10.Rosado JL. Zinc and cooper : proposed fortification levels and recommended zinc
compounds. J Nutr 2003;133:2985-9.
11.Huwae FJ. Hubungan antara kadar zinc dengan memori jangka pendek pada anak
sekolah dasar. Tesis. 2006.
12.Bahtera T. Faktor risiko kejang demam berulang sebagai prediktor bangkitan kejang
demam berulang. Kajian mutasi gen pintu voltase kanal ion natrium. (Disertasi).
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2007.
13. Chan KK, Cherk SWW, Chan CH, Ng DKK, Ho JCS. A retrospective review of first
febrile convulsion and its risk factors for recurrence in Hong Kong children. HK J
Paediatr 2007;12:181-7.
14.Camfield P, Camfield C, Gordon K. Antecedents and risk factors for febrile seizures.
Dalam: Baram TZ, Shinnar S, penyunting. Febrile Seizures. San Diego: Academic
press;2002.h.1-25.
15.Vestergaard M, Wisborg K, Henriksen TB, Secher NJ, Ostergaard JR, Olsen J.
Prenatal exposure to cigarettes, alcohol, and coffee and the risk for febrile seizures.
Pediatrics 2005;116:1089-94.
16.Ling SG. Clinical characteristics and risk factors for a complex first febrile
convulsion. Singapore Med J 2001;42:264-7.
17.Huang CC, Wang ST, Chang YC, Huang MC, Chi YC, Tsai JJ. Risk factors for a
first febrile convulsion in children : a population study in southern Taiwan. Epilepsia
1999;40:719-25.

11
18.Daoud A. Febrile convulsion : review and update. Journal of Pediatric Neurology
2004;2:14.
19.Ruiz A, Walker MC, Fabian-Fine R, Kullman D. Endogenous zinc inhibits GABAA
receptors in a hippocampal pathway. J Neurophysiol 2004;91: 1091-6.
20.Takeda A, Tamano H, Tochigi M, Oku N. Zinc homeostasis in the hippocampus of
zinc-deficient young adult rats. Neurochem Int 2005;221-5.
21. Levenson CW. Regulation of the NMDA receptor: implications for
neuropsychological development. Nutri Rev 2006;64:428-32.
22. Sandstead HH, Frederickson CJ, Penland JG. History of zinc as related to brain
function. J. Nutr. 2000;130:496- 502.
23. Szewczyk B, Sowa M, Czupryn A, Wieronska JM, Branski P, Sadlik K, et al.
Increase in synaptic hippocampal zinc consentration following chronic but not acute
zinc treatment in rats. Brain Res 2006;1090:69-75.
24.Lee JY, Cole TB, Palmiter RD, Koh JY. Accumulation of zinc in degenerating
hippocampal neurons of ZnT3- Null mice after seizures : evidence against synaptic
vesicle origin. J Neurosci 2000;20:1-5.
25.Frederickson CJ, Suh SW, Silva D, Thompson RB. Importance of zinc in the central
nervous system : the zinc-containing neuron. J. Nutr. 2000;130:1471-83
Tags