Schopenhauer - Tugas Psikologi UNJ - Logika dan Filsafat Manusia

citrayunianti1 9 views 3 slides Apr 13, 2025
Slide 1
Slide 1 of 3
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3

About This Presentation

Tugas Psikologi UNJ - Logika dan Filsafat Manusia


Slide Content

A. Kehendak Buta: Filsafat Arthur Schopenhauer
Yang khas dari filsafat Schoupenhauer adalah kejelasan dan kekonkretanya. Ia
menyerang filsafat Hegel yang dinilai terlalu menutup-nutupi sisi gelap manusia. Ia merasa
betul bahwa “kita harus terlebih dahulu hidup, baru mulai berfilsafat” (primum vivere,
deinde philosophary). Ia mengomentari filsafat Hegel yang mengabaikan kekuatan irrasional
(rasio dan nonintelek), yakni kehendak. Di mata Hegel, “hidup tidak membiarkan kita
berkata sepatah kata pun selain tentang kebaikan” (de vivis nil nisi bonum). Namun,
Schopenhauer memuji semangat Hegel dalam mencari kebenaran. Katanya, “hidup itu
teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang; oleh sebab itu, mari
kita berbicara tentang kebenaran!”
Schopenhauer pun menyerang materialisme. Ia mempertanyakan, “bagaimana kita
bisa menjelaskan bahwa jiwa adalah materi, kalau kita mengetahui materi melalui jiwa,
mengetahui diri kita sendiri?”
Oleh karena itu, Schopenhauer menganjurkan kita untuk memulai berfilsafat secara
langsung, yakni dari diri kita sendiri, dan bukan dari materi. Kita tidak akan pernah bisa
sampai pada hakikat ketiadaan. Semakin kita menyelidikinya, semakin kita sadar bahwa kita
tidak mungkin mencapai sesuatu pun selain citra-citra dan nama-nama. Kita seperti manusia
yang berputar-putar secara sia-sia mengelilingi sebuah benteng untuk mencari pintu
gerbang. Namun, karena pintu itu tidak ditemukan, maka kita selalu membuat sketsa pada
mukanya. Oleh sebab itu, marilah kita melihat ke dalam. Kalau kita mampu menemukan
hakikat jiwa sendiri, kita mungkin akan mempunyai kunci untuk membuka dunia luar.
B. Dunia Sebagai Kehendak
1. Kehendak untuk Hidup
Hampir tanpa kecuali, semua filsuf sebelum Schopenhauer memandang kesadaran
atau intelek atau rasio sebagai hakikat jiwa. Manusia disebut sebagai hewan yang berakal
(animale rationale). Namun, hal tersebut dikritik oleh Schopenhauer. Kesadaran dan intelek
pada dasarnya hanya merupakan jiwa kita. Di bawah intelek sesungguhnya terdapat
kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi, suatu kehendak

dengan keinginan yang kuat. Intelek kemungkinan memang mengendalikan kehendak, tapi
hanya sebagai supir yang mengantarkan tuannya.
Orang yang berebut makanan, mengadakan hubungan seksual, atau perbuatan anak-
anak misalnya—mereka tidak mengandalkan refleksi. Sebab atau sumber dari perbuatan
meraka adalah kehendak yang setengah sadar untuk hidup. Manusia kelihatannya ditarik
dari depan tapi pada kenyataannya meraka didorong dari belakang. Kehendak adalah satu-
satunya unsur yang permanen dan tidak dapat berubah dalam jiwa. Kehendak merupakan
pemersatu kesadaran, pemersatu ide-ide dan pemikiran-pemikiran, serta mengikatnya
dalam kesatuan yang harmonis. Kehendak adalah pusat organ pikiran.
Karakter atau watak merupakan kontinuitas tujuan dan sikap, dan ia terletak di
dalam kehendak, bukan di dalam intelek. Bahasa sehari-hari dengan tepat sekali menunjuk
pada “hati” bukan pada “kepala”.
Tubuh pun merupakan hasil dari kehendak. Darah, yang didorong oleh kehendak,
membangun salurannya sendiri dengan membuat lekukan-lekukan dalam tubuh embrio;
lekukan-lekukan tersebut lama-kelamaan menjadi pembuluh-pembuluh darah dan urat-urat
darah halus.
Intelek bisa letih, kehendak selalu terjaga. Intelek perlu tidur, kehendak bekerja
dalam tidur. Letihnya intelek karena ia berada di dalam otak; tetapi bagi urat-urat yang tidak
berhubungan dengan cerebrum, seperti hati, tidak pernah merasakan lelah. Dalam tidur,
otak memerlukan makanan; namun kehendak tidak memerlukan apapun untuk dimakan.
2. Kehendak untuk Reproduksi
Setiap organisme yang normal, pada saat mencapai tingkat dewasa, segera
mengorbankan dirinya untuk menjalankan tugas reproduksi: mulai dari laba-laba jantan
yang dimangsa oleh betinanya agar bisa berkembang biak, tawon yang bekerja keras
mengumpulkan makanan untuk anak cucunya yang tidak akan pernah dilihatnya, sampai
pada manusia yang bekerja banting tulang untuk memberi makan dan pakaian bagi anak-
anaknya. Reproduksi adalah tujuan utama dan naluri paling kuat dari setiap organisme,
karena hanya dengan cara itu kehendak menaklukan kematian. Dan untuk menjamin
penaklukan atas kematian tersebut, kehendak untuk bereproduksi mengatasi kontrol

pengetahuan dan refleksi. Filsuf pun menjunjung tinggi refleksi, bisa dan mau mempunyai
anak.
Kehendak tidak memerlukan pengetahuan; ia bekerja dalam kegelapan, karena pada
dasarnya ia tidak sadar. Dengan demikian, organ-organ reproduktif sesunggguhnya
merupakan titik pusat dari kehendak, dan membentuk kutub yang berlawanan dengan otak,
yang diwakili oleh pengetahuan.
Sesungguhnya tidak ada perkawinan yang mendatangkan petaka, kecuali perkawinan
karena cinta. Alasannya cukup jelas, bahwa tujuan utama perkawinan adalah perpanjangan
spesies, dan bukanya kesenangan individu. Alam tidak peduli apakah orang tua itu hidup
bahagia atau tidak. Alam hanya peduli dengan reproduksi. Perkawinan karena adat atau
kebiasaan yang ditentukan oleh orang tua lebih sering mendatangkan kebahagiaan daripada
perkawinan karena cinta.
Karena cinta adalah penipuan diri yang dipraktekan oleh alam, maka perkawinan
tidak lain adalah erosi cinta, dan oleh sebab itu mengecewakan. Hanya filsuf yang
berbahagia dalam perkawinan, tapi filsuf sejati tidak akan pernah kawin. Karena nafsu
tergantung pada ilusi yang mempunyai nilai untuk spesies dan untuk individu. Individu
mendapatkan dirinya sebagai korban penipuan spesies. Jika nafsu telah terpuaskan maka ia
akan berhenti.
Tags