"Wahai para pemikir Islam, tafsir ilmi ini merupakan anugerah Tuhan, bagaikan isyarat
suci, dan suatu khabar gembira melalui rumus-rumus ilmiah. Aku lakukan hal ini
berdasarkan petunjuk dari Tuhan (ilham), dan aku yakin sekali bahwa penafsiran bercorak
ilmiah akan sangat bermanfaat bagi umat Islam di kemudian hari. Bahkan, ini akan
menaikkan derajat kaum muslim yang senantiasa terpuruk dalam percaturan global."
Maka model tafsir Al-Jawahir tidak sedikit dianggap sebagai tafsir ilmi yang komprehenshif.
Munculnya kecenderungan tafsir ilmi dalam diri Syaikh Tanthawi Jauhari dimulai ketika
mengajar tafsir di Universitas Dar Al-‘Ulum—Mesir, dan tulisan-tulisannya yang berkaitan
dengan itu juga dimuat di majalah Al-Malaji’ Al-‘Abbasiyyah. Lebih jauhnya, perselisihan
para ulama yang tidak ada ujungnya juga menjadi alasan tersendiri bagi dirinya untu menulis
kitab tafsir Al-Jawahir. Dikatakan dalam mukadimah tafsirnya:
"Ketika umat Islam merenungkan sendi-sendi keagamaan, maka muncullah para pemikir
Islam yang menyusun buku-buku berjilid-jilid. Namun, sangat disayangkan di antara mereka
justru terjadi pertentangan yang sangat tajam, sehingga sulit sekali keluar dari kemelut
perselisihan pendapat ini. Sehingga, sedikit sekali di antara mereka yang berminat dan
mampu untuk memikirkan proses penciptaan alam dan keajaiban-keajaibannya.”
Contoh Penafsiran (Al-An’am 103)
ُ
ريِبَخْلٱ ُفيِطَّللٱ َوُهَو َرْب
َلْأ
ٱ ُكِرْدُي َوُهَو ُرْب
َلْأ
ٱ ُهُكِرْدُت لَّاۖ
َٰ
ص
َٰ
ص
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (103).
Allah tidak mungkin diidrak (dilihat secara detil) melalui penglihatan yang tersusun dari
materi, sebab Allah tidak terbuat dari materi atau jasad yang bisa dilihat, sementara
penglihatan hanya bisa melihat sesuatu "yang berbentuk" (berjisim). Oleh karena itu, kamu
melihat-Nya dengan penglihatan yang tidak bersifat jasmaniah, yakni ketika jiwa mencapai
tingkat kesucian, akalnya mencapai kejernihan berfikir, maka saat itulah kamu akan bisa
melihat Tuhan.
Jangankan melihat Tuhan, terhadap makhluk-makhluk rohani atau gaib lainnya saja, seperti
jin, syetan, malaikat, dan sejenisnya, manusia juga tidak mampu melihat secara kasat mata.
Seandainya ada yang mampu melihatnya, itu pasti mereka menyerupai wajah seseorang
(manusia) yang memungkinkan untuk diindera (Q.s. 6: 9). Apalagi Allah, Dia adalah Dzat
yang jauh lebih agung dibanding malaikat dan jin, yang kedaunya hanyalah ciptaan-Nya,
sehingga menjadi sangat wajar jika Dia tidak bisa dilihat dengan mata.
Sementara terkait dengan ayat-ayat hukum, Thanthawi tidak menjelaskannya dengan panjang
lebar, sebab beliau tetap konsisten terhadap manhaj ilminya.
Walhasil, tafsir al-Jawahir merupakan kitab tafsir yang sangat kental corak ilmiahnya, dengan
berpedoman pada ilmu-ilmu modern. Bahkan, corak tafsir ilmi inilah yang banyak
mempengaruhi ulama-ulama lain. Meskipun di arah yang berlawanan muncul penolakan yang
tidak kalah kuatnya terhadap corak penafsiran ilmiah tersebut.