Tujuan Pembangunan Ke Tiga: Perlindungan Sosial yang Adaptif

DadangSolihin 0 views 24 slides Oct 29, 2025
Slide 1
Slide 1 of 24
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24

About This Presentation

Tujuan Pembangunan Ke Tiga: Perlindungan Sosial yang Adaptif yang menjadi salah satu pilar dalam RPJPN 2025–2045. Perlindungan sosial bukanlah sekadar instrumen teknokratis, melainkan denyut nadi peradaban bangsa yang sedang menapaki jalan menuju Indonesia Emas.

Sejarah bangsa telah membuktikan,...


Slide Content

1

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series

Tujuan Pembangunan Ke Tiga:
Perlindungan Sosial yang Adaptif
oleh
Dr. Dadang Solihin, SE, MA
Taprof Bidang Sosial Budaya Lemhannas RI
Tulisan 4 dari 19

Pendahuluan
Perlindungan sosial yang adaptif adalah denyut nadi dari peradaban bangsa yang bercita-cita
besar menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini bukan sekadar instrumen kebijakan teknokratis,
melainkan strategi kebangsaan yang mengikat seluruh elemen negara untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun
2024, arah tujuan pembangunan ke-3 menegaskan bahwa perlindungan sosial harus menjadi
jaring pengaman sekaligus jembatan transformatif, agar tidak ada satu pun anak bangsa yang
tercecer dalam arus perubahan global.
Sejarah panjang perjalanan bangsa menunjukkan bahwa daya tahan Indonesia dalam
menghadapi krisis selalu berakar pada solidaritas sosial. Ketika krisis ekonomi 1998 melanda,
rakyat bertahan karena nilai gotong royong masih hidup. Saat pandemi COVID-19
mengguncang dunia, program perlindungan sosial menjadi benteng terakhir bagi jutaan
keluarga dari kemiskinan ekstrem. Dari pengalaman itu, jelas bahwa perlindungan sosial
bukanlah sekadar intervensi jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang bagi
keberlanjutan bangsa. Oleh karena itu, transformasi menuju perlindungan sosial yang adaptif

2

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
adalah panggilan sejarah, agar kita dapat menjemput Indonesia Emas dengan pondasi
keadilan yang kokoh.
RPJPN 2025–2045 merumuskan indikator strategis yang harus dicapai (Tabel 15): tingkat
kemiskinan nasional ditekan hingga 0,5–0,8 persen; cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan
diperluas hampir 100 persen; serta persentase penyandang disabilitas yang bekerja di sektor
formal meningkat dari 22 persen menjadi 60 persen. Angka-angka ini bukan sekadar statistik,
melainkan representasi dari tekad kolektif bangsa untuk menghadirkan martabat bagi setiap
warganya. Penurunan kemiskinan hingga mendekati nol adalah perwujudan nyata dari sila ke-
5 Pancasila. Cakupan jaminan sosial universal adalah implementasi dari amanat konstitusi
Pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan negara bertanggung jawab memelihara fakir miskin dan
anak terlantar. Sedangkan pemberdayaan penyandang disabilitas adalah bukti bahwa negara
hadir secara inklusif, mengakui setiap manusia sebagai subjek pembangunan yang setara.
Tabel 15
Perlindungan Sosial yang Adaptif
No. Indikator Baseline 2025 Sasaran 2045
8. Tingkat kemiskinan (%) 7,0 – 8,0 0,5 – 0,8
9. Cakupan kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (%) 43,19 99,5
10. Persentase penyandang disabilitas bekerja di sektor formal
(%) Persentase penyandang disabilitas bekerja di sektor
formal (%)
22,0 60,0
Sumber: RPJPN 2025–2045

Namun, adaptivitas dalam perlindungan sosial tidak berhenti pada skema konvensional. Dunia
yang semakin kompleks menuntut desain kebijakan yang lincah, berbasis data, dan proaktif
terhadap risiko baru. Perubahan iklim, misalnya, berpotensi menjerumuskan jutaan orang ke
jurang kemiskinan akibat bencana alam, gagal panen, atau hilangnya mata pencaharian.
Disrupsi teknologi dan digitalisasi juga menciptakan risiko baru, mulai dari gig workers tanpa
perlindungan hingga lansia yang tertinggal dari layanan berbasis digital. Maka, sistem
perlindungan sosial adaptif harus mampu menjawab kerentanan baru tersebut: jaminan
untuk pekerja informal, perlindungan bagi korban bencana iklim, hingga program literasi
digital bagi kelompok rentan.
Dalam kerangka global, agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) menempatkan
perlindungan sosial sebagai instrumen utama untuk menghapus kemiskinan, mengurangi
ketimpangan, dan menjamin kesejahteraan. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia, dituntut menjadi teladan bagaimana negara berkembang mampu
membangun sistem perlindungan sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itu, komitmen pada
RPJPN 2025–2045 selaras dengan SDGs bukan sekadar diplomasi internasional, tetapi juga
strategi untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global sebagai negara yang tangguh,
inklusif, dan berkeadilan.
Lemhannas RI, sebagai kawah candradimuka pemimpin bangsa, memiliki peran vital dalam
memastikan perlindungan sosial ditempatkan sebagai strategi ketahanan nasional. Pendidikan
kepemimpinan strategis yang diselenggarakan Lemhannas mengajarkan bahwa ketahanan
nasional tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga oleh

3

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
kemampuan bangsa menjaga solidaritas sosial. Perlindungan sosial adaptif adalah bagian dari
soft power Indonesia, yang menjadikan bangsa ini tahan banting di tengah guncangan global.
Di sini, pemimpin nasional dilatih untuk memahami bahwa setiap kebijakan perlindungan
sosial adalah kebijakan keamanan nasional dalam arti yang paling luas.
Pendekatan adaptif juga berarti integrasi lintas sektor. Perlindungan sosial tidak bisa
dipandang sebagai urusan Kementerian Sosial semata, tetapi harus menjadi orkestrasi
nasional. Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, BPJS, pemerintah daerah,
dunia usaha, hingga komunitas lokal harus bekerja dalam satu ekosistem. Digitalisasi data
sosial melalui registrasi sosial ekonomi (Regsosek) menjadi tulang punggung, memungkinkan
intervensi yang cepat, tepat sasaran, dan transparan. Dengan begitu, perlindungan sosial
bukan hanya jaring pengaman, tetapi juga tangga mobilitas sosial yang mengangkat rakyat dari
kerentanan menuju kemandirian.
Transformasi menuju perlindungan sosial adaptif menuntut kepemimpinan visioner yang
berani menembus zona nyaman birokrasi. Reformasi regulasi, inovasi pendanaan, dan
keberanian mengambil langkah-langkah terobosan harus dilakukan. Misalnya, pemanfaatan
pajak karbon untuk mendanai perlindungan sosial berbasis lingkungan, atau skema public-
private partnership untuk memperluas jangkauan jaminan sosial. Inilah wujud kepemimpinan
yang transformatif: menjadikan perlindungan sosial bukan beban fiskal, tetapi investasi
produktif yang menghasilkan generasi sehat, terdidik, dan produktif.
Perlindungan sosial adaptif juga adalah narasi kebangsaan yang membangun kohesi sosial. Di
tengah fragmentasi akibat politik identitas, program perlindungan sosial yang inklusif
memperkuat rasa persaudaraan. Ketika setiap warga merasakan hadirnya negara dalam
kehidupannya, maka tumbuhlah rasa memiliki terhadap republik ini. Dengan demikian,
perlindungan sosial menjadi vaksin kebangsaan yang melindungi Indonesia dari virus
disintegrasi.
Visi Indonesia Emas 2045 menuntut bangsa ini tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga
berdaulat secara sosial. Kesejahteraan tidak boleh menjadi hak segelintir orang, melainkan
milik bersama seluruh rakyat. Perlindungan sosial adaptif adalah instrumen untuk memastikan
bahwa pertumbuhan ekonomi tidak melahirkan ketimpangan baru, tetapi menghadirkan
kesejahteraan yang merata. Di sinilah letak heroisme pembangunan bangsa: tidak
membiarkan siapa pun tertinggal.
Pada akhirnya, perlindungan sosial adaptif adalah janji sejarah yang kini diterjemahkan dalam
strategi pembangunan jangka panjang. Sebagaimana para pendiri bangsa merumuskan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai kompas kebangsaan, generasi kini merumuskan RPJPN 2025–
2045 sebagai panduan menuju abad emas. Melalui perlindungan sosial yang adaptif, bangsa
ini sedang menulis kisah heroik baru: kisah tentang Indonesia yang mampu menghadirkan
keadilan, menjaga persatuan, dan berdiri tegak sejajar dengan bangsa maju.
Indonesia Emas 2045 bukan sekadar angka dalam kalender, tetapi misi peradaban.
Perlindungan sosial adaptif adalah jalannya. Dengan keyakinan, keberanian, dan
kebersamaan, kita pastikan bahwa 100 tahun Indonesia merdeka bukan hanya perayaan
simbolik, tetapi perwujudan nyata dari cita-cita kemerdekaan: merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur.

4

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series

3.1 Menurunkan Kemiskinan sebagai Agenda Ketahanan Nasional
Menurunkan kemiskinan hingga mendekati nol bukan sekadar ambisi statistik, melainkan
panggilan sejarah dan amanat konstitusi yang harus diwujudkan dalam perjalanan bangsa
menuju Indonesia Emas 2045. RPJPN 2025–2045 melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun
2024 menargetkan penurunan tingkat kemiskinan nasional dari kisaran 7–8 persen pada 2025
menjadi hanya 0,5–0,8 persen pada 2045. Target ini adalah lompatan besar yang akan
menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang mampu menekan angka
kemiskinan hingga hampir hilang dari peta sosialnya. Lemhannas RI memandang bahwa
pengentasan kemiskinan bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan fondasi
ketahanan nasional yang menentukan daya tahan bangsa dalam menghadapi dinamika global
yang semakin kompleks.
Kemiskinan, dalam perspektif Lemhannas RI, adalah kerentanan struktural yang dapat
melemahkan integrasi nasional. Bangsa yang masih menyisakan kantong-kantong kemiskinan
akan menghadapi ancaman ganda: kerentanan sosial di dalam negeri dan kerentanan
geopolitik di luar negeri. Kelompok masyarakat miskin rentan dimobilisasi oleh ideologi
transnasional, provokasi radikal, hingga praktik politik uang yang melemahkan demokrasi.
Secara ekonomi, kemiskinan membatasi produktivitas, memperbesar beban fiskal, dan
menurunkan daya saing bangsa. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan harus ditempatkan
sebagai agenda ketahanan nasional yang bersifat strategis dan berkelanjutan.
Melalui kajian strategis, Lemhannas RI mendorong kebijakan yang mengintegrasikan
pemerataan pembangunan, keadilan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Pemerataan
pembangunan diperlukan agar pertumbuhan tidak hanya terkonsentrasi di perkotaan dan
kawasan Jawa, tetapi juga menjangkau desa, wilayah terluar, dan kawasan Indonesia Timur.
Keadilan sosial berarti memastikan bahwa distribusi hasil pembangunan merata, sehingga
setiap warga negara dapat menikmati akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa rakyat bukan hanya
penerima bantuan, melainkan aktor pembangunan yang aktif.
Dalam kerangka Astagatra, pengentasan kemiskinan menyentuh seluruh dimensi kehidupan
bangsa. Dari trigatra—geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam—penurunan
kemiskinan berarti memanfaatkan potensi wilayah secara adil, mengelola bonus demografi
dengan bijak, dan mengoptimalkan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Dari
pancagatra—ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan—
pengentasan kemiskinan berarti memperkuat ideologi Pancasila dengan keadilan sosial,
menstabilkan politik dengan menekan kesenjangan, memperkokoh ekonomi melalui
produktivitas rakyat, menjaga sosial budaya dengan memperkuat kohesi, serta memperkuat
pertahanan dan keamanan dengan mengurangi potensi konflik berbasis ketimpangan.
Pengalaman global memberikan inspirasi sekaligus pembanding. Cina, dalam dua dekade
terakhir, berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem lebih dari 800 juta orang melalui
kombinasi industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan program perlindungan sosial.
Vietnam, sebagai salah satu negara ASEAN, berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari lebih
dari 30 persen pada 1990-an menjadi kurang dari 5 persen pada 2020, berkat reformasi
struktural ekonomi dan kebijakan pendidikan yang inklusif. Indonesia memiliki peluang yang

5

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
sama, dengan catatan strategi pengentasan kemiskinan harus bersifat lintas sektor, adaptif
terhadap perubahan global, dan berpijak pada nilai kebangsaan.
Lemhannas RI menekankan bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan harus terintegrasi
dengan agenda pembangunan SDM unggul. Pendidikan berkualitas, kesehatan yang
terjangkau, dan keterampilan vokasi yang relevan dengan pasar kerja adalah instrumen utama
untuk memutus rantai kemiskinan antar-generasi. Pengentasan kemiskinan tidak boleh
berhenti pada bantuan sosial jangka pendek, melainkan harus diarahkan pada pemberdayaan
jangka panjang. Inilah yang membedakan antara sekadar mengurangi angka kemiskinan
dengan membangun bangsa yang benar-benar tangguh.
Selain itu, pengentasan kemiskinan juga harus menyesuaikan diri dengan tantangan baru abad
ke-21. Disrupsi teknologi dan otomatisasi berpotensi menggantikan jutaan pekerjaan
tradisional, sehingga pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi semakin penting. Perubahan
iklim berpotensi memperdalam kemiskinan, khususnya di wilayah pesisir dan pedesaan yang
rentan. Pandemi global seperti COVID-19 memberi pelajaran bahwa kelompok miskin adalah
yang paling rentan terhadap guncangan kesehatan dan ekonomi. Oleh karena itu, sistem
perlindungan sosial yang adaptif harus berjalan beriringan dengan strategi pemberdayaan
agar rakyat miskin tetap terlindungi sekaligus memiliki jalan keluar dari jerat kemiskinan.
Lemhannas RI melalui pendidikan kepemimpinan nasional berperan memastikan bahwa para
pemimpin bangsa memiliki perspektif strategis dalam memandang kemiskinan. Pemimpin
tidak boleh melihat pengentasan kemiskinan semata sebagai urusan kementerian teknis,
melainkan sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional. Melalui kajian strategis,
Lemhannas memberikan masukan agar kebijakan pengentasan kemiskinan berorientasi pada
integrasi nasional, mempersempit ketimpangan, dan memperkuat kohesi sosial. Melalui
diplomasi akademik, Lemhannas juga mendorong agar pengentasan kemiskinan ditempatkan
dalam agenda global, sehingga Indonesia dapat belajar sekaligus berbagi pengalaman dengan
negara lain.
Untuk memperkuat argumentasi akademik, berikut tabel indikator strategis pengentasan
kemiskinan dalam RPJPN 2025–2045:
Tabel 16
Indikator Strategis Pengentasan Kemiskinan
No Indikator Baseline
2025
Sasaran
2045
1. Tingkat Kemiskinan (%) 7,0 – 8,0 0,5 – 0,8
2. Persentase Penduduk dengan Akses Layanan Dasar (Pendidikan
& Kesehatan)
75,0 100,0
3. Persentase Rumah Tangga dengan Akses Air Bersih & Sanitasi
Layak (%)
80,0 100,0
4. Persentase Pekerja di Sektor Formal (%) 43,0 70,0
5. Rasio Ketimpangan (Indeks Gini) 0,38 0,30
6. Persentase Rumah Tangga Miskin Menerima Bantuan Sosial
Tepat Sasaran (%)
70,0 100,0
Sumber: RPJPN 2025–2045, diolah

6

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series

Tabel ini menegaskan bahwa penurunan kemiskinan tidak dapat dicapai tanpa memperluas
akses layanan dasar, memperbaiki kualitas infrastruktur sosial, meningkatkan formalitas
pekerjaan, menekan ketimpangan, dan memastikan perlindungan sosial tepat sasaran. Semua
indikator tersebut adalah elemen penting dari ketahanan nasional yang menjamin bahwa
rakyat Indonesia hidup lebih sejahtera, adil, dan setara.
Perjuangan menurunkan kemiskinan hingga mendekati nol adalah perjuangan heroik bangsa.
Ia membutuhkan kerja keras, kebijakan strategis, serta kepemimpinan visioner yang berakar
pada nilai-nilai kebangsaan. Guru yang mendidik anak-anak miskin di pelosok, tenaga
kesehatan yang melayani daerah terpencil, pemimpin daerah yang membangun infrastruktur
dasar, hingga kebijakan nasional yang menyalurkan bantuan tepat sasaran—semua adalah
bagian dari pasukan perjuangan tanpa senjata yang berjuang di medan sosial dan ekonomi.
Lemhannas RI memastikan bahwa perjuangan ini tidak tercerabut dari akar kebangsaan.
Pengentasan kemiskinan adalah jalan untuk mewujudkan sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia juga merupakan perwujudan cita-cita kemerdekaan:
melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Dengan pengentasan kemiskinan, bangsa
Indonesia tidak hanya mengurangi penderitaan, tetapi juga membangun fondasi kokoh bagi
kemandirian, kedaulatan, dan kemajuan.
Ketika angka kemiskinan turun hingga 0,5 persen pada 2045, Indonesia akan memasuki era
baru sebagai negara maju yang tangguh. Tidak ada lagi rakyat yang tertinggal, tidak ada lagi
anak yang putus sekolah karena kemiskinan, tidak ada lagi keluarga yang terjebak dalam
lingkaran kemiskinan antar-generasi. Inilah wujud nyata dari Indonesia Emas 2045: bangsa
yang adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di mata dunia. Lemhannas RI berdiri di garis
depan untuk memastikan arah ini, dengan visi kebangsaan yang menempatkan pengentasan
kemiskinan sebagai bagian integral dari strategi ketahanan nasional.
Penurunan kemiskinan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika regional ASEAN yang
juga mencatat pencapaian signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Vietnam adalah contoh
nyata bagaimana strategi pembangunan inklusif dapat menurunkan angka kemiskinan secara
drastis. Pada awal 1990-an, lebih dari 30 persen penduduk Vietnam hidup di bawah garis
kemiskinan. Melalui kebijakan Doi Moi yang mengombinasikan reformasi ekonomi, perluasan
akses pendidikan, dan penguatan pertanian rakyat, angka tersebut berhasil ditekan hingga di
bawah 5 persen pada 2020 (World Bank, 2021). Artinya, dalam waktu sekitar 30 tahun,
Vietnam berhasil mengeluarkan puluhan juta warganya dari jerat kemiskinan, sekaligus
memperkuat ketahanan sosialnya. Indonesia yang menargetkan penurunan kemiskinan
hingga 0,5–0,8 persen pada 2045 memiliki jalur yang sebanding, tetapi dengan tantangan yang
lebih kompleks karena jumlah penduduk yang jauh lebih besar dan disparitas antarwilayah
yang lebih tinggi.
Malaysia juga memberi pelajaran penting. Pada tahun 1970, angka kemiskinan nasional
Malaysia mencapai lebih dari 49 persen. Melalui New Economic Policy (NEP) yang
menekankan industrialisasi, pembangunan infrastruktur, serta program afirmatif bagi
kelompok rentan, Malaysia berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi sekitar 5,6 persen
pada 2019 sebelum pandemi. Transformasi struktural ekonomi yang bergeser dari agraris ke
industri manufaktur dan jasa menjadi pendorong utama keberhasilan Malaysia. Keberhasilan
ini menunjukkan bahwa strategi terpadu, termasuk industrialisasi yang ramah tenaga kerja

7

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
serta kebijakan redistribusi yang terukur, dapat menghasilkan penurunan kemiskinan yang
berkelanjutan.
Jika dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia, Indonesia berada di jalur yang menjanjikan
tetapi membutuhkan konsistensi yang kuat. Indonesia berhasil menurunkan tingkat
kemiskinan dari sekitar 24 persen pada 1998 menjadi sekitar 9,5 persen pada 2018, dan
kembali ke kisaran 9–10 persen pada masa pandemi COVID-19 sebelum menurun ke sekitar
7,5–8 persen pada 2025 sebagaimana proyeksi baseline RPJPN. Laju penurunan ini signifikan,
tetapi jika dibandingkan dengan kecepatan Vietnam atau transisi struktural Malaysia,
Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mempercepat pencapaian sasaran.
Perbandingan ini memperlihatkan bahwa Vietnam menonjol dengan strategi reformasi
pertanian dan UMKM berbasis komunitas, Malaysia unggul dengan industrialisasi dan
kebijakan redistributif, sementara Indonesia harus menggabungkan keduanya dalam konteks
populasi besar, wilayah luas, dan kompleksitas sosial yang tinggi. Lemhannas RI menegaskan
bahwa strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan keadilan distribusi, pemerataan
pembangunan antarwilayah, serta penguatan SDM unggul agar produktivitas meningkat.
Dengan target penurunan kemiskinan hingga 0,5 persen pada 2045, Indonesia bertekad
melampaui pencapaian Vietnam dan Malaysia, sekaligus menempatkan dirinya sebagai
negara dengan standar kesejahteraan tinggi di ASEAN. Perbandingan regional ini juga
menegaskan bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan akan memperkuat posisi Indonesia
sebagai pemimpin kawasan, karena bangsa yang berhasil menyejahterakan rakyatnya akan
memiliki legitimasi moral dan politik untuk memimpin ASEAN dalam menghadapi tantangan
global.

3.2 Jaminan Sosial sebagai Instrumen Perlindungan Negara
Jaminan sosial ketenagakerjaan adalah instrumen strategis yang menegaskan kehadiran
negara dalam melindungi rakyatnya, dan dalam RPJPN 2025–2045 ditargetkan cakupannya
meningkat dari 43,19 persen pada 2025 menjadi 99,5 persen pada 2045. Target ambisius ini
bukan semata angka administratif, melainkan sebuah visi besar: menjadikan Indonesia negara
maju dengan perlindungan menyeluruh yang memastikan setiap pekerja, baik formal maupun
informal, memiliki rasa aman dalam bekerja, berproduksi, dan berkontribusi bagi bangsa.
Dalam perspektif Lemhannas RI, jaminan sosial adalah pilar ketahanan nasional. Negara yang
gagal menghadirkan perlindungan sosial yang adil dan merata akan menghadapi risiko
instabilitas sosial, meningkatnya ketidakpuasan, hingga turunnya legitimasi politik. Sebaliknya,
jaminan sosial yang kuat menjadi fondasi kohesi sosial, memperkuat ikatan antara negara dan
rakyat, serta memastikan keberlangsungan pembangunan jangka panjang. Dengan kata lain,
jaminan sosial bukan sekadar fungsi teknis, tetapi bagian integral dari strategi menjaga NKRI
tetap kokoh dan berdaulat.
Sejarah pembangunan negara-negara maju membuktikan bahwa sistem jaminan sosial yang
solid adalah syarat mutlak bagi stabilitas dan kemakmuran. Jerman dengan sistem asuransi
sosialnya sejak era Bismarck menunjukkan bagaimana jaminan ketenagakerjaan menjadi basis
solidaritas nasional. Skandinavia membuktikan bahwa cakupan universal dalam jaminan sosial
memperkuat kepercayaan publik kepada negara, mendorong produktivitas, dan menekan

8

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
ketimpangan. Indonesia, dengan basis Pancasila dan UUD 1945, menegaskan bahwa jaminan
sosial adalah perwujudan sila ke-5: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, Indonesia menghadapi tantangan besar. Sektor informal yang masih mendominasi
struktur ketenagakerjaan menjadi penghalang utama perluasan cakupan. Rendahnya
kesadaran masyarakat tentang manfaat jaminan sosial, keterbatasan kepatuhan pembayaran
iuran, dan belum meratanya akses di wilayah 3T adalah masalah yang harus diatasi.
Lemhannas RI menekankan bahwa tantangan ini tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan
administratif semata, melainkan membutuhkan strategi lintas sektor: penguatan regulasi,
integrasi data nasional melalui Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), inovasi pembiayaan
melalui social impact bonds, serta pemanfaatan teknologi digital untuk memperluas layanan.
Jaminan sosial juga harus adaptif terhadap perubahan dunia kerja yang dipicu revolusi industri
4.0, disrupsi digital, dan perubahan iklim. Pekerjaan berbasis platform digital, pekerja lepas,
hingga wirausaha sosial memerlukan skema perlindungan baru yang fleksibel. Pandemi
COVID-19 menjadi pelajaran keras bahwa sistem perlindungan yang fragmentaris tidak
mampu merespons krisis dengan cepat. Oleh karena itu, keberlanjutan pembiayaan dan
desain kebijakan yang adaptif adalah keharusan. Lemhannas RI mendorong agar jaminan
sosial diposisikan bukan hanya sebagai instrumen perlindungan, tetapi juga manajemen risiko
bangsa menghadapi ketidakpastian global.
Konteks regional juga memperkuat urgensi ini. Negara-negara ASEAN seperti Malaysia telah
mencapai cakupan jaminan sosial pekerja formal di atas 70 persen, sementara Vietnam gencar
memperluas perlindungan bagi pekerja informal sebagai bagian dari reformasi sosial. Jika
Indonesia mampu mencapai cakupan 99,5 persen pada 2045, maka posisinya sebagai
pemimpin regional dalam perlindungan sosial akan semakin kuat, sekaligus meningkatkan
daya tawar dalam diplomasi global.
Jaminan sosial sebagai instrumen perlindungan negara juga harus dipahami sebagai investasi
sosial jangka panjang. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa negara dengan sistem
perlindungan sosial kuat memiliki stabilitas fiskal lebih baik karena masyarakat terlindungi dari
risiko ekstrem yang dapat mengguncang ekonomi. OECD menegaskan bahwa jaminan sosial
yang universal meningkatkan partisipasi angkatan kerja karena rakyat merasa aman
menghadapi risiko masa depan. Dengan demikian, setiap rupiah yang dialokasikan untuk
jaminan sosial adalah investasi untuk memperkuat produktivitas, stabilitas, dan legitimasi
bangsa.
Lemhannas RI, melalui pendidikan kepemimpinan strategis, riset kebijakan, dan diplomasi
akademik, memastikan bahwa perluasan jaminan sosial ditempatkan dalam kerangka
ketahanan nasional. Pemimpin masa depan harus melihat bahwa perlindungan sosial adalah
instrumen strategis, bukan sekadar program sosial. Kajian Lemhannas menekankan
pentingnya keterpaduan lintas sektor, keberlanjutan pembiayaan, serta integrasi kebijakan
pusat dan daerah. Melalui forum internasional, Lemhannas juga dapat memperkuat posisi
Indonesia sebagai negara yang berkomitmen pada pembangunan inklusif dan berkeadilan.
Untuk memperkuat narasi akademik, berikut disajikan tabel indikator capaian jaminan sosial
ketenagakerjaan dalam RPJPN 2025–2045:

9

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series

Tabel 17
Indikator Capaian Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
No Indikator Baseline 2025 Sasaran 2045
1. Cakupan kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (%) 43,19 99,5
2. Persentase pekerja formal terlindungi (%) 60,0 100,0
3. Persentase pekerja informal terlindungi (%) 25,0 85,0
4. Tingkat kepatuhan iuran peserta (%) 65,0 95,0
5. Indeks keberlanjutan dana jaminan sosial 0,75 1,00
6. Persentase pekerja usia produktif memiliki perlindungan
pensiun (%)
40,0 90,0
Sumber: RPJPN 2025–2045, diolah

Tabel ini memperlihatkan bahwa perluasan jaminan sosial bukan hanya soal jumlah peserta,
tetapi juga kualitas perlindungan, kepatuhan, keberlanjutan, dan inklusivitas. Seluruh
indikator ini harus bergerak secara simultan agar sistem jaminan sosial benar-benar menjadi
benteng ketahanan bangsa.
Perjuangan memperluas cakupan jaminan sosial adalah perjuangan heroik era modern. Guru,
petani, buruh, pedagang, hingga pekerja digital adalah pejuang ekonomi bangsa yang harus
dilindungi. Negara hadir bukan hanya untuk melindungi perbatasan, tetapi juga melindungi
rakyat dari ketidakpastian hidup. Lemhannas RI menegaskan bahwa perlindungan sosial
adalah manifestasi nyata dari semangat kebangsaan, wujud nyata bahwa negara dan rakyat
berdiri dalam satu kesatuan.
Jika pada 2045 cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan benar-benar mencapai 99,5 persen,
maka bangsa Indonesia akan menatap masa depan dengan rasa percaya diri yang tinggi. Tidak
ada lagi pekerja yang dibiarkan tanpa perlindungan, tidak ada lagi keluarga yang jatuh miskin
karena kehilangan pencaharian, dan tidak ada lagi rakyat yang merasa sendirian menghadapi
risiko hidup. Inilah wujud konkret dari keadilan sosial dan ketahanan nasional yang akan
mengantar Indonesia menjadi negara besar, berdaulat, dan bermartabat di mata dunia.
Model jaminan sosial di Jerman adalah salah satu yang tertua dan paling mapan di dunia,
dikenal sebagai sistem Bismarckian Welfare State. Sejak abad ke-19, Jerman telah
membangun fondasi perlindungan sosial yang mencakup jaminan kesehatan,
ketenagakerjaan, pensiun, dan kecelakaan kerja. Ciri utama model Jerman adalah basisnya
pada kontribusi iuran yang dibayarkan bersama oleh pekerja dan pemberi kerja, dikelola
dalam kerangka hukum yang ketat, serta dilandasi oleh prinsip solidaritas sosial. Saat ini,
cakupan jaminan sosial di Jerman mendekati 100 persen penduduk usia kerja, dengan
kepatuhan iuran yang tinggi karena mekanisme administrasi yang rapi dan transparan.
Implikasinya terhadap stabilitas ekonomi sangat besar: masyarakat merasa terlindungi dari
risiko, konsumsi domestik terjaga, dan daya tahan fiskal negara tetap kuat karena sistem
dikelola dengan prinsip keberlanjutan.

10

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
Sementara itu, model jaminan sosial di negara-negara Skandinavia—Norwegia, Swedia,
Denmark, dan Finlandia—menggambarkan paradigma universal welfare state. Negara hadir
sepenuhnya dalam menyediakan perlindungan sosial yang dibiayai melalui pajak progresif.
Skema ini tidak hanya mencakup jaminan ketenagakerjaan, tetapi juga pendidikan gratis,
layanan kesehatan universal, tunjangan pengangguran, cuti orang tua yang panjang, hingga
pensiun yang layak. Prinsip dasarnya adalah egalitarianisme: setiap warga negara, tanpa
terkecuali, berhak atas standar kesejahteraan tertentu sebagai bagian dari kontrak sosial.
Akibatnya, negara-negara Skandinavia selalu menempati peringkat tertinggi dalam indeks
kesejahteraan, ketidaksetaraan rendah (Indeks Gini rata-rata 0,25–0,27), dan tingkat
kepercayaan publik terhadap pemerintah yang sangat tinggi.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat belajar dua hal penting. Dari Jerman,
Indonesia dapat menekankan pentingnya tata kelola yang kuat, transparansi iuran, dan
keberlanjutan pembiayaan. Sistem berbasis iuran yang solid akan menjamin stabilitas dana
jaminan sosial, mengurangi risiko defisit, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif
antara pekerja, pengusaha, dan negara. Dari Skandinavia, Indonesia dapat mengambil
pelajaran tentang pentingnya prinsip universalitas dan inklusi, di mana perlindungan sosial
tidak boleh hanya dinikmati kelompok tertentu, melainkan mencakup seluruh rakyat,
termasuk sektor informal dan kelompok rentan.
Dalam konteks Indonesia, model hibrida mungkin lebih relevan. Artinya, perlindungan sosial
berbasis iuran tetap diperkuat sebagaimana sistem Jerman, tetapi negara juga harus hadir
lebih besar untuk membiayai kelompok miskin, rentan, dan informal sebagaimana filosofi
Skandinavia. Dengan struktur ketenagakerjaan Indonesia yang masih 55–60 persen informal,
negara perlu menanggung sebagian besar beban pembiayaan awal untuk memperluas
cakupan, sembari secara bertahap mendorong formalitas dan kepatuhan iuran.
Lemhannas RI menegaskan bahwa pilihan model jaminan sosial bukan semata masalah teknis
fiskal, tetapi keputusan strategis bangsa. Model Jerman menekankan pada solidaritas berbasis
kerja, sementara model Skandinavia menekankan pada solidaritas berbasis kewarganegaraan.
Indonesia harus menyesuaikan dengan Pancasila, di mana keadilan sosial adalah dasar
filosofis. Dengan menggabungkan prinsip tanggung jawab kolektif dan keberpihakan pada
yang lemah, sistem jaminan sosial Indonesia dapat berkembang menjadi model khas yang
tidak hanya efisien dan inklusif, tetapi juga berakar pada nilai kebangsaan.
Jika Indonesia berhasil mengadaptasi keunggulan dua model ini, maka target RPJPN untuk
mencapai cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan 99,5 persen pada 2045 akan lebih realistis
dan berkelanjutan. Lebih dari itu, Indonesia akan memiliki sistem perlindungan sosial yang
diakui dunia, sebagaimana Jerman dan Skandinavia menjadi rujukan global. Hal ini bukan
hanya memperkuat legitimasi negara di mata rakyat, tetapi juga meningkatkan soft power
Indonesia dalam diplomasi internasional, menunjukkan bahwa bangsa ini mampu
menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial.

3.3 Memberdayakan Penyandang Disabilitas sebagai Bagian Pembangunan
Inklusif
Memberdayakan penyandang disabilitas bukan sekadar agenda teknis pembangunan,
melainkan sebuah panggilan moral, konstitusional, dan strategis bagi bangsa. Undang-Undang
Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045 secara eksplisit menargetkan peningkatan

11

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
jumlah penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal dari 22 persen pada 2025 menjadi
60 persen pada 2045. Target ini adalah bukti komitmen negara bahwa setiap warga negara,
tanpa terkecuali, berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan diri
dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Lemhannas RI menegaskan bahwa pemberdayaan
disabilitas bukan hanya soal keadilan, tetapi juga bagian integral dari ketahanan nasional.
Sebab, bangsa yang gagal memberdayakan seluruh potensinya akan kehilangan sebagian
kekuatannya dalam menghadapi tantangan global.
Penyandang disabilitas selama ini sering terpinggirkan dari ruang kerja formal, terhalang
stigma, keterbatasan akses, dan rendahnya dukungan kebijakan. Padahal, data Perserikatan
Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa sekitar 15 persen populasi dunia adalah penyandang
disabilitas, dan potensi kontribusi ekonomi mereka sangat besar apabila diberdayakan secara
tepat. Di Indonesia, dengan jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai lebih dari
22 juta orang, keterlibatan mereka dalam sektor formal adalah faktor penentu dalam
memperkuat solidaritas sosial, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan produktivitas
bangsa. Lemhannas RI memandang bahwa mengangkat martabat penyandang disabilitas
melalui akses kerja yang setara adalah langkah nyata memperkokoh keadilan sosial sesuai
amanat Pancasila sila ke-5.
Dalam perspektif ketahanan nasional, pemberdayaan disabilitas memiliki dimensi strategis
yang luas. Pertama, secara ideologi, keterlibatan disabilitas dalam pembangunan adalah
pengejawantahan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial. Kedua,
secara politik, partisipasi aktif disabilitas memperkuat legitimasi demokrasi yang inklusif dan
partisipatif. Ketiga, secara ekonomi, keterlibatan mereka di sektor formal menambah tenaga
kerja produktif, memperbesar basis pajak, dan meningkatkan daya saing bangsa. Keempat,
secara sosial budaya, pengakuan dan pemberdayaan disabilitas mengikis diskriminasi,
memperkuat solidaritas, serta memupuk toleransi. Kelima, secara pertahanan dan keamanan,
bangsa yang inklusif lebih tahan terhadap provokasi, konflik horizontal, dan disintegrasi sosial.
Pengalaman global memperlihatkan bahwa pemberdayaan disabilitas bukan utopia, tetapi
keniscayaan apabila ada komitmen kebijakan. Jepang misalnya, menetapkan kuota
ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas sebesar 2,3 persen untuk perusahaan swasta
dan 2,6 persen untuk sektor publik. Negara-negara Skandinavia menerapkan pendekatan
universal design dalam pendidikan dan infrastruktur sehingga disabilitas dapat mengakses
ruang publik tanpa hambatan. Amerika Serikat melalui Americans with Disabilities Act (ADA)
1990 memberi landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak disabilitas dalam pendidikan,
pekerjaan, dan layanan publik. Indonesia dengan RPJPN 2025–2045 memiliki momentum
besar untuk mengadopsi praktik terbaik internasional sekaligus mengembangkan model khas
berbasis Pancasila.
Strategi nasional pemberdayaan disabilitas perlu meliputi kebijakan afirmatif, pendidikan
inklusif, dan kesetaraan akses kerja. Kebijakan afirmatif berupa insentif pajak bagi perusahaan
yang mempekerjakan penyandang disabilitas, serta kuota kerja minimum di sektor publik,
dapat mempercepat pencapaian target 60 persen pada 2045. Pendidikan inklusif sejak dini
penting untuk memastikan bahwa anak-anak disabilitas mendapatkan keterampilan
akademik, vokasi, dan digital yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Kesetaraan akses
kerja harus diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur ramah disabilitas, layanan
pelatihan berbasis kebutuhan khusus, dan transformasi budaya perusahaan agar inklusif
terhadap keberagaman.

12

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
Lemhannas RI berperan strategis dalam memastikan bahwa kebijakan pemberdayaan
disabilitas ditempatkan dalam kerangka ketahanan nasional. Melalui pendidikan
kepemimpinan nasional, Lemhannas menyiapkan calon pemimpin yang memiliki perspektif
inklusif dan sensitif terhadap kelompok rentan. Melalui kajian strategis, Lemhannas dapat
memberikan rekomendasi kebijakan yang memastikan sinergi lintas sektor—pendidikan,
tenaga kerja, kesehatan, teknologi, dan sosial—agar pemberdayaan disabilitas tidak
terfragmentasi. Melalui diplomasi akademik, Lemhannas dapat memperjuangkan posisi
Indonesia sebagai pelopor pembangunan inklusif di ASEAN dan dunia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam agenda ini tidak kecil. Sektor informal masih
mendominasi lapangan kerja, diskriminasi sosial masih mengakar, dan sistem pendidikan
belum sepenuhnya inklusif. Namun, peluangnya juga besar. Revolusi digital membuka ruang
baru bagi penyandang disabilitas untuk bekerja dalam sektor teknologi, industri kreatif, dan
jasa berbasis daring. Bonus demografi dapat diarahkan untuk mendorong kolaborasi antar
generasi, di mana kelompok muda dapat menjadi mentor dan pendamping bagi disabilitas.
Dukungan global dari lembaga internasional seperti ILO, WHO, dan UNESCO dapat menjadi
sumber pembelajaran dan pendanaan.
Perbandingan dengan negara ASEAN juga memberi perspektif penting. Vietnam telah
meluncurkan National Action Plan on Disability yang menargetkan peningkatan partisipasi
kerja disabilitas melalui pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan digital. Malaysia
mengembangkan OKU Talent Enhancement Program untuk menghubungkan penyandang
disabilitas dengan perusahaan. Indonesia dengan target 60 persen pada 2045 berpotensi
melampaui capaian kawasan jika kebijakan yang diambil konsisten, terukur, dan terintegrasi.
Untuk memperkuat arah kebijakan, berikut tabel indikator strategis pemberdayaan disabilitas
dalam RPJPN 2025–2045:
Tabel 18
Indikator Strategis Pemberdayaan Disabilitas
No Indikator Baseline 2025 Sasaran 2045
1. Persentase penyandang disabilitas bekerja di sektor formal
(%)
22,0 60,0
2. Persentase anak disabilitas yang mendapat akses
pendidikan inklusif (%)
45,0 95,0
3. Persentase perusahaan ramah disabilitas (%) 20,0 80,0
4. Tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam pelatihan
vokasi (%)
30,0 85,0
5. Persentase infrastruktur publik berstandar universal design
(%)
25,0 90,0
6. Indeks penerimaan sosial terhadap disabilitas (skala 1–
100)
55 90
Sumber: RPJPN 2025–2045, diolah

Tabel ini memperlihatkan bahwa pemberdayaan disabilitas harus bersifat multidimensi. Tidak
cukup hanya menaikkan angka partisipasi kerja, tetapi juga memperluas akses pendidikan,

13

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
membangun lingkungan kerja inklusif, memperkuat pelatihan vokasi, menstandarkan
infrastruktur publik, serta meningkatkan penerimaan sosial. Semua indikator ini saling
melengkapi untuk memastikan penyandang disabilitas dipandang bukan sebagai beban,
melainkan aset bangsa.
Memberdayakan disabilitas adalah perjuangan heroik bangsa di abad ke-21. Guru yang sabar
mendidik anak-anak disabilitas, perusahaan yang membuka lapangan kerja inklusif, pejabat
publik yang berani mengeluarkan kebijakan afirmatif, dan masyarakat yang menumbuhkan
budaya menghargai perbedaan—semua adalah pejuang kebangsaan. Lemhannas RI
menegaskan bahwa perjuangan ini adalah bagian dari strategi besar menyiapkan Indonesia
Emas 2045. Dengan memastikan penyandang disabilitas mendapatkan ruang yang setara,
bangsa ini sedang membangun ketahanan sosial yang kokoh, produktivitas ekonomi yang
inklusif, dan kohesi nasional yang kuat.
Jika pada 2045 penyandang disabilitas telah berpartisipasi aktif di sektor formal hingga 60
persen, Indonesia akan memasuki era baru di mana pembangunan tidak hanya ditandai oleh
angka pertumbuhan, tetapi juga oleh kualitas keadilan sosial. Di titik itu, dunia akan melihat
Indonesia sebagai bangsa yang tidak meninggalkan satu pun warganya di belakang, melainkan
berjalan bersama dalam kesetaraan. Inilah makna sejati Indonesia Emas: sebuah bangsa yang
besar bukan karena kekayaannya saja, tetapi karena kebijaksanaannya merangkul semua anak
bangsa sebagai pilar ketahanan nasional.
Untuk memperkaya analisis akademik mengenai pemberdayaan penyandang disabilitas dalam
pembangunan inklusif, penting menambahkan studi kasus internasional yang relevan. Jepang
dan Denmark dapat menjadi rujukan kuat karena keduanya memiliki model kebijakan yang
terbukti efektif dan bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam mencapai target RPJPN 2025–
2045.
Jepang adalah salah satu negara yang memiliki regulasi tegas terkait kuota kerja penyandang
disabilitas. Berdasarkan Undang-Undang Act on Employment Promotion, etc. of Persons with
Disabilities, perusahaan dengan jumlah pegawai tertentu diwajibkan mempekerjakan
penyandang disabilitas dengan kuota minimal 2,3 persen di sektor swasta dan 2,6 persen di
sektor publik. Perusahaan yang gagal memenuhi kuota ini akan dikenai penalti, sedangkan
yang melebihi target mendapat insentif. Sistem kuota ini tidak hanya meningkatkan jumlah
pekerja disabilitas di sektor formal, tetapi juga memaksa dunia usaha untuk melakukan
adaptasi struktural, termasuk membangun lingkungan kerja yang ramah disabilitas. Hasilnya,
penyandang disabilitas di Jepang semakin diterima dalam dunia kerja, mendapatkan pelatihan
keterampilan, dan berkontribusi pada produktivitas nasional. Bagi Indonesia, penerapan
kebijakan kuota serupa, ditopang dengan insentif dan penalti, dapat mempercepat
pencapaian target partisipasi 60 persen pada 2045.
Denmark mewakili praktik terbaik dengan pendekatan universal design, sebuah filosofi
pembangunan inklusif yang memastikan bahwa seluruh infrastruktur, layanan publik, dan
fasilitas pendidikan dirancang agar dapat diakses semua orang, termasuk disabilitas, tanpa
perlu adaptasi tambahan. Di Denmark, transportasi publik, gedung pemerintahan, sekolah,
hingga sistem digital negara sudah sepenuhnya inklusif. Prinsip universal design ini tidak hanya
memudahkan mobilitas dan partisipasi disabilitas dalam dunia kerja, tetapi juga menurunkan
biaya jangka panjang karena sejak awal pembangunan sudah mempertimbangkan kebutuhan
semua kelompok. Praktik ini memperlihatkan bahwa pembangunan yang inklusif tidak semata
kebijakan sosial, melainkan investasi ekonomi dan politik untuk memperkuat kohesi nasional.

14

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
Indonesia, dengan RPJPN 2025–2045, dapat mengintegrasikan prinsip universal design dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah, pembangunan kota cerdas, serta desain infrastruktur publik
sehingga penyandang disabilitas memiliki akses setara dalam pendidikan, transportasi, dan
pekerjaan.
Jika Indonesia mampu memadukan praktik Jepang yang menekankan kebijakan kuota dan
praktik Denmark yang menekankan desain inklusif, maka target 60 persen penyandang
disabilitas bekerja di sektor formal bukan sekadar mimpi, melainkan sebuah keniscayaan.
Lebih dari itu, integrasi kedua pendekatan ini akan memperkuat ketahanan nasional dengan
menjadikan setiap warga negara sebagai bagian dari kekuatan bangsa. Lemhannas RI
menegaskan bahwa strategi pemberdayaan disabilitas bukan hanya menyelesaikan persoalan
keadilan sosial, tetapi juga memperkokoh daya saing nasional dalam menghadapi persaingan
global.
Dengan demikian, Jepang mengajarkan pentingnya instrumen regulasi yang tegas dan terukur,
sementara Denmark menunjukkan bahwa inklusivitas bisa ditanamkan sejak tahap desain
pembangunan. Indonesia dapat mengadopsi dan menyesuaikan kedua pendekatan ini dalam
kerangka Pancasila, di mana setiap warga negara, tanpa terkecuali, adalah aset berharga
bangsa. Apabila strategi ini diterapkan konsisten hingga 2045, maka penyandang disabilitas
tidak lagi dipandang sebagai kelompok marginal, melainkan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional yang berkontribusi penuh terhadap Indonesia Emas.

3.4 Sistem Perlindungan Sosial Adaptif Menghadapi Krisis
Sistem perlindungan sosial adaptif adalah perisai kebangsaan di era ketidakpastian. Ia
menuntut kelincahan merespons guncangan secara cepat, tepat, dan adil, serta berpijak pada
tata kelola data yang akurat. RPJPN 2025–2045 menempatkan perlindungan sosial adaptif
sebagai prioritas transformasi sosial: menurunkan kemiskinan, memperluas cakupan jaminan
sosial ketenagakerjaan hingga universal, dan meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas
di sektor formal. Ketiganya adalah indikator inti yang menandai negara hadir melindungi
rakyat lintas siklus hidup—dari masa rawan bencana, krisis kesehatan, hingga disrupsi
ekonomi global. Penajaman mandat itu termaktub dalam penguatan SJSN, penyiapan skema
bantuan yang tanggap bencana dan perubahan iklim, serta integrasi penargetan berbasis satu
data Regsosek yang terverifikasi dan tervalidasi berkala. Dengan kerangka ini, perlindungan
sosial tidak lagi sekadar jaring pengaman darurat, melainkan strategi ketahanan nasional
untuk menjaga stabilitas ekonomi, kohesi sosial, dan legitimasi negara di mata warga.
Lemhannas RI menggarisbawahi tiga pilar daya adaptif. Pertama, manajemen risiko yang
menyatukan antisipasi, mitigasi, dan respons—menghubungkan pembiayaan risiko bencana,
data kerentanan, dan mekanisme siaga. Kedua, integrasi data nasional: tanpa registrasi sosial
ekonomi yang menyatu, respons akan lambat, tumpang tindih, dan rawan salah sasaran.
Ketiga, inovasi teknologi dan pembiayaan: dari penyaluran nontunai real-time hingga
pemanfaatan social impact bonds untuk memperkuat keberlanjutan dana. Mandat RPJPN
secara eksplisit mendorong penguatan SJSN menuju cakupan universal, pengembangan
bantuan yang adaptif terhadap bencana/iklim, integrasi penargetan, lingkungan inklusif bagi
kelompok rentan, serta inovasi pembiayaan dan penguatan regulasi Regsosek. Inilah tulang
punggung desain adaptif yang mengubah respons krisis menjadi loncatan institusional.

15

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
Pelajaran dari pandemi COVID-19 menunjukkan nilai strategis adaptivitas. Negara dengan
sistem perlindungan sosial yang siap dan saluran pembayaran digital yang matang mampu
memperluas cakupan bantuan secara cepat dan luas, meredam kejatuhan pendapatan rumah
tangga dan menjaga permintaan agregat. Tinjauan global Bank Dunia mencatat cakupan
bantuan tunai melonjak ke skala historis pada 2020–2021, menandakan pergeseran
perlindungan sosial dari instrumen residual menjadi garda depan stabilisasi makro dan sosial.
Indonesia meneguhkan pelajaran itu dalam RPJPN: cakupan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
ditargetkan melesat dari 43,19 persen (baseline 2025) menuju 99,5 persen pada 2045,
beriringan dengan penurunan kemiskinan ke 0,5–0,8 persen serta kenaikan partisipasi kerja
formal penyandang disabilitas ke 60 persen. Ketiga sasaran ini bukan angka administratif,
melainkan indikator daya tahan bangsa.
Dari perspektif komparatif ASEAN, dua studi kasus menonjol—Filipina dan Thailand—
memperlihatkan bagaimana “shock-responsive social protection” (SRSP) membentangkan
jaring keamanan adaptif. Di Filipina, landasan SRSP dibangun melalui kombinasi reform
penganggaran risiko bencana, pemutakhiran basis data rumah tangga (Listahanan), dan
integrasi program tunai. Catatan Bank Dunia dan UNICEF menyoroti peran 4Ps (Pantawid
Pamilyang Pilipino Program) sebagai platform yang bisa “digandakan” pada saat bencana
besar—misalnya setelah Topan Haiyan—hingga mendorong kelahiran Emergency Cash
Transfer (ECT) di Kementerian Sosial (DSWD). ECT berfungsi sebagai skema yang menautkan
respons bencana dengan kanal dan prosedur program reguler, sehingga penyaluran bisa lebih
cepat, akurat, dan akuntabel; kemitraan DSWD–UNICEF terus memperkuat desain ini hingga
kini. Praktik di BARMM memperlihatkan bagaimana SRSP dengan bantuan tunai untuk
petani/nelayan disalurkan saat pandemi dan pascabanjir, menunjukkan fleksibilitas kanal
bantuan pada komunitas rentan.
Thailand mengilustrasikan jalur berbeda: perluasan cepat manfaat tunai darurat selama
COVID-19, memanfaatkan ekosistem identitas dan pembayaran digital (misalnya skema Rao
Mai Ting Gung untuk pekerja informal di luar Jaminan Sosial, serta Rao Chana untuk rumah
tangga terdampak). Studi UNICEF EAP dan Bank Dunia mencatat bahwa cakupan bantuan
tunai darurat Thailand mencapai puncak sekitar lebih dari 80 persen rumah tangga pada fase
awal, dengan besaran transfer relatif besar terhadap PDB per kapita bulanan—mendekati 37
persen—sehingga menahan guncangan pendapatan secara material. Temuan ini menegaskan
dua prasyarat SRSP: kanal pembayaran yang inklusif dan interoperabilitas data
antarkementerian, agar penjangkauan cepat tidak mengorbankan akurasi sasaran.
Perbandingan Filipina–Thailand menyuguhkan pelajaran taktis bagi Indonesia. Pertama,
pentingnya “platformisasi” program reguler agar bisa diskalakan saat krisis—seperti 4Ps
menjadi rel penyaluran tunai darurat di Filipina. Kedua, kritikalnya jaringan pembayaran digital
nasional yang mampu menyalurkan tunai lintas segmen—formal maupun informal—
sebagaimana Thailand. Ketiga, sentralitas daftar terpadu rumah tangga (Listahanan di Filipina)
yang menjadi analog Regsosek Indonesia; semakin mutakhir dan tervalidasi, semakin cepat
dan akurat respons saat bencana. Dengan mandat RPJPN yang menekankan Regsosek tunggal,
penguatan SJSN menuju cakupan universal, dan adaptasi bansos terhadap bencana dan
perubahan iklim, Indonesia sebenarnya telah mengambil arah yang sama, namun
membutuhkan orkestrasi antarkementerian dan pemerintah daerah, serta inovasi
pembiayaan agar tidak rapuh di hadapan siklus fiskal.
Dalam horizon ketahanan nasional, SRSP memperkuat legitimasi negara di saat-saat krusial:
ketika bencana melanda, pekerjaan hilang, atau harga energi melonjak, respons cepat dan

16

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
merata mengurangi risiko keresahan, memperkecil ruang disinformasi, dan menjaga keutuhan
sosial. Lemhannas RI menempatkan SRSP bukan hanya sebagai kebijakan sosial, tetapi sebagai
strategi geopolitik domestik—menutup celah kerentanan yang dapat dieksploitasi oleh aktor
oportunistik, sekaligus menjaga daya saing ekonomi dengan melindungi produktivitas rumah
tangga dan perusahaan. Kajian strategis Lemhannas dapat memperkuat desain respons
berbasis skenario, memastikan rantai pasok perlindungan (data–pembiayaan–penyaluran–
akuntabilitas) bekerja dalam tempo cepat namun akurat, serta merajut diplomasi kebijakan
untuk pembelajaran lintas negara ASEAN.
Kunci implementasi ada pada tiga simpul. Pertama, tata kelola data: Regsosek sebagai “satu
sumber kebenaran” yang dinamis, ditautkan dengan identitas digital dan registri
ketenagakerjaan, dan dipadukan dengan data risiko bencana guna memicu perluasan bantu
otomatis (parametrik) saat ambang tertentu terlampaui. Kedua, arsitektur pembayaran:
perluasan kanal nontunai, KYC sederhana berisiko rendah, dan konektivitas sampai 3T agar
tidak ada warga tertinggal—meniru keunggulan kecepatan Thailand. Ketiga, keberlanjutan
pembiayaan: bauran APBN/APBD, dana kontinjensi, instrumen asuransi bencana, dan social
impact bonds sesuai mandat RPJPN, agar skema adaptif tidak defisit saat krisis
berkepanjangan.
Di ujungnya, keberhasilan SRSP adalah soal karakter kebangsaan: kecepatan merespons,
keberanian menutup kesenjangan, dan kesetiaan pada sila keadilan sosial. Guru yang
memastikan literasi digital keluarga rentan, petugas sosial yang memutakhirkan data di
lapangan, aparat daerah yang menyiapkan payung hukum, hingga inovator yang membangun
kanal pembayaran berbiaya rendah—mereka adalah para penjaga garda depan ketahanan
bangsa. Ketika pada 2045 cakupan jamsosnaker menyentuh 99,5 persen, kemiskinan merosot
ke 0,5–0,8 persen, dan penyandang disabilitas aktif di sektor formal sampai 60 persen,
Indonesia bukan hanya selamat dari krisis—Indonesia unggul, solid, dan berdaulat.
Tabel 19
Perlindungan Sosial Adaptif Menghadapi Krisis
No. Indikator Baseline 2025 Sasaran 2045
1. Tingkat kemiskinan (%) 7,0–8,0 0,5–0,8
2. Cakupan kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (%) 43,19 99,5
3. Persentase penyandang disabilitas bekerja di sektor
formal (%)
22,0 60,0
4. Cakupan bantuan sosial responsif bencana (%) 40,0 90,0
5. Persentase keluarga rentan tercatat dalam Regsosek (%) 60,0 100,0
6. Indeks keberlanjutan pembiayaan perlindungan sosial 0,70 1,00
Sumber: RPJPN 2025–2045, diolah

Perbandingan empiris ASEAN memperkuat urgensi transisi Indonesia ke SRSP. Filipina
menunjukkan bagaimana platform bansos reguler, daftar terpadu, dan ECT memungkinkan
respons cepat pascabencana; kemitraan DSWD–UNICEF 2024 menandai akselerasi desain
SRSP lintas lembaga. Thailand menunjukkan skala dan kecepatan perluasan tunai darurat saat
pandemi—cakupan dan besaran transfer relatif besar terhadap PDB per kapita bulanan,

17

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
menopang konsumsi dan kesejahteraan rumah tangga rentan. Kedua contoh ini menegaskan
bahwa SRSP bukan sekadar konsep, melainkan praktik kebijakan yang nyata menahan
guncangan. Dengan landasan RPJPN—Regsosek tunggal, SJSN universal, bansos adaptif—
Indonesia memiliki rancangan institusional untuk melampaui standar kawasan, selama
eksekusi dijaga disiplin, terukur, dan inklusif.
Dengan demikian, perlindungan sosial adaptif adalah strategi kebangsaan yang mengubah
krisis menjadi momentum penguatan negara. Di sanalah Lemhannas RI memainkan peran
pengarah: menyatukan visi, memastikan desain berbasis bukti, dan menumbuhkan
kepemimpinan strategis yang berani mengambil keputusan cepat namun berkeadilan. Ketika
guncangan datang, bangsa yang siap—dengan data yang utuh, kanal yang inklusif, dan
pembiayaan yang tangguh—tidak hanya bertahan, tetapi melangkah lebih jauh menuju
Indonesia Emas 2045.

3.5 Keadilan Sosial sebagai Landasan Ketahanan Bangsa
Keadilan sosial sebagai sila kelima Pancasila bukan hanya semboyan, tetapi fondasi strategis
ketahanan bangsa. Dalam UU No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045, ditegaskan
bahwa keadilan sosial harus menjadi inti dari transformasi pembangunan, agar manfaat
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok,
tetapi menjangkau seluruh rakyat Indonesia. Lemhannas RI menempatkan keadilan sosial
sebagai instrumen integrasi nasional, karena hanya dengan distribusi manfaat yang merata,
bangsa ini dapat menghadapi krisis global, menjaga stabilitas politik, dan memperkokoh
solidaritas sosial.
Keadilan sosial memiliki dimensi strategis. Dalam ideologi, ia adalah pengejawantahan sila
Pancasila; dalam politik, ia menjaga legitimasi demokrasi; dalam ekonomi, ia mencegah
ketimpangan; dalam sosial budaya, ia menumbuhkan solidaritas; dalam pertahanan
keamanan, ia menutup celah yang bisa dimanfaatkan pihak asing maupun kelompok radikal.
Dengan kerangka Astagatra, keadilan sosial memperkuat semua unsur ketahanan bangsa,
mulai dari demografi, ideologi, hingga daya saing ekonomi.
Indonesia menargetkan pencapaian keadilan sosial melalui berbagai indikator dalam RPJPN
2025–2045. Indeks Kualitas Keluarga ditingkatkan dari 70,29 (2025) menjadi 80,00 (2045);
Indeks Ketimpangan Gender dari 0,425 ke 0,15; Indeks Kerukunan Umat Beragama dari 76,77
ke 84,20; akses masyarakat adat ke perlindungan sosial meningkat dari 40% ke 90%; pekerja
informal yang terlindungi jaminan sosial naik dari 25% ke 85%; serta Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup membaik dari 72,02 ke 87,05. Semua target ini menunjukkan bahwa
keadilan sosial dilihat secara multidimensi, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek
keluarga, gender, kerukunan, adat, informalitas, dan lingkungan.
Studi kasus internasional memperkuat argumentasi ini. Malaysia melalui Shared Prosperity
Vision (SPV) 2030 menegaskan kemakmuran bersama sebagai agenda nasional. Kebijakan
afirmatif untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah, meningkatkan mobilitas sosial, dan
memperluas perlindungan sosial bagi kelompok rentan menjadikan SPV 2030 instrumen
integrasi politik dan stabilitas sosial Malaysia. Bagi Indonesia, pelajaran penting adalah
bagaimana keadilan sosial menjadi visi makro pembangunan untuk menjaga keberagaman
etnis dan agama tetap harmonis.

18

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
Vietnam melalui reformasi Doi Moi sejak 1986 menurunkan angka kemiskinan ekstrem dari
sekitar 60% pada awal 1990-an menjadi kurang dari 5% pada 2020. Investasi pada pendidikan
dasar, layanan kesehatan murah, dan penguatan pertanian rakyat menjadi kunci sukses.
Vietnam membuktikan bahwa redistribusi manfaat pembangunan pro-rakyat memperkokoh
kohesi sosial dan kepercayaan publik terhadap negara. Bagi Indonesia, Doi Moi memberi
pelajaran bahwa pembangunan ekonomi hanya bisa berkelanjutan jika disertai keadilan sosial.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, ketiganya memperlihatkan jalur
yang berbeda menuju keadilan sosial. Malaysia berangkat dari visi makro dengan kebijakan
afirmatif; Vietnam melalui transisi ekonomi yang pro-rakyat; sementara Indonesia
menegaskan integrasi nilai Pancasila dalam RPJPN 2025–2045. Perbandingan ini penting agar
Indonesia bisa mengambil praktik terbaik sekaligus mengembangkan model khas berdasarkan
nilai kebangsaan.
Berikut tabel perbandingan indikator keadilan sosial Indonesia, Malaysia, dan Vietnam:
Tabel 20
Perbandingan Indikator Keadilan Sosial
No Negara Fokus Kebijakan Indikator Utama Outcome Strategis
1. Indonesia
(RPJPN
2025–2045)
Perlindungan sosial
adaptif, kesetaraan
gender, inklusi adat &
informal
IKG turun 0,425 → 0,15;
pekerja informal
terlindungi 25% → 85%
Kohesi sosial kuat,
legitimasi demokrasi
terjaga, ketahanan
nasional meningkat
2. Malaysia
(SPV 2030)
Kemakmuran bersama,
redistribusi wilayah &
etnis
Pengurangan
kesenjangan wilayah;
afirmasi kelompok
rentan
Stabilitas politik
multietnis, legitimasi
pemerintah tinggi
3. Vietnam (Doi
Moi)
Reformasi ekonomi
pro-rakyat, investasi
pendidikan &
kesehatan
Kemiskinan turun 60%
→ <5% (1990–2020);
pendidikan dasar
universal
Kohesi sosial kuat,
pertumbuhan ekonomi
stabil, legitimasi rezim
meningkat
4. Indonesia vs
Malaysia
Visi makro keadilan
sosial (RPJPN vs SPV)
Redistribusi manfaat
pembangunan
Menjaga integrasi
nasional di masyarakat
plural
5. Indonesia vs
Vietnam
Redistribusi manfaat
pembangunan
Penurunan kemiskinan
multidimensi
Stabilitas sosial sebagai
dasar transformasi
ekonomi
6. Regional
ASEAN
Pembangunan inklusif
sebagai fondasi
Indikator sosial &
kemiskinan menurun
Ketahanan kawasan
lebih kuat di tengah
disrupsi global

Tabel ini memperlihatkan bahwa keadilan sosial di Indonesia diarahkan untuk menjadi visi
makro sekaligus instrumen strategis, sejalan dengan Malaysia yang menekankan kemakmuran
bersama dan Vietnam yang membuktikan bahwa redistribusi pro-rakyat mampu memperkuat
kohesi sosial. Indonesia memiliki kesempatan untuk mengintegrasikan kedua pendekatan

19

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
tersebut dengan pijakan Pancasila, sehingga bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi
membangun bangsa yang inklusif, solid, dan berdaya tahan.
Perjuangan mewujudkan keadilan sosial adalah perjuangan heroik modern. Guru yang
mengajar di pelosok, tenaga kesehatan yang melayani masyarakat adat, perusahaan yang
memberi ruang kerja bagi kelompok rentan, hingga birokrat yang merancang kebijakan inklusif
adalah pahlawan bangsa masa kini. Lemhannas RI menegaskan bahwa perlindungan sosial
adaptif berbasis keadilan adalah benteng ketahanan nasional. Jika pada 2045 semua target
tercapai, dunia akan melihat Indonesia bukan hanya karena kekuatan ekonominya, tetapi
karena keberhasilannya membangun masyarakat yang adil, egaliter, dan bermartabat. Inilah
wujud sejati Indonesia Emas 2045: negara besar yang menemukan kekuatan sejatinya dalam
keadilan sosial.
Dimensi geopolitik ASEAN memberikan perspektif penting dalam melihat keadilan sosial
bukan hanya sebagai isu domestik, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi dan
kepemimpinan kawasan. Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN, baik dari sisi populasi
maupun ekonomi, memikul tanggung jawab strategis untuk menjadi teladan dalam
mengintegrasikan keadilan sosial ke dalam pembangunan nasional. Pencapaian keadilan sosial
di Indonesia akan memperkuat posisi negara ini sebagai pemimpin kawasan, karena bangsa
yang mampu menyejahterakan rakyatnya akan memiliki legitimasi moral untuk memimpin
ASEAN dalam menghadapi tantangan global.
Keadilan sosial yang diwujudkan melalui perlindungan sosial adaptif, pemerataan
pembangunan, dan inklusi kelompok rentan akan meningkatkan citra Indonesia sebagai
negara yang stabil, demokratis, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam kerangka
ASEAN, stabilitas domestik Indonesia berdampak langsung pada stabilitas regional. Negara
yang mampu menjaga kohesi sosial di tengah keragaman etnis, agama, dan budaya akan
dipandang sebagai model bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Hal ini
memperkuat peran Indonesia sebagai “natural leader” ASEAN yang memandu agenda
pembangunan inklusif dan solidaritas kawasan.
Dari sisi ekonomi, keberhasilan Indonesia menekan ketimpangan dan memperluas
perlindungan sosial akan memperkuat daya saing kawasan. ASEAN dikenal sebagai salah satu
pusat pertumbuhan dunia, tetapi ketimpangan antarnegara masih tinggi. Jika Indonesia
berhasil mencapai target RPJPN 2025–2045—misalnya menurunkan kemiskinan hingga 0,5
persen, melindungi 99,5 persen pekerja dengan jaminan sosial, serta meningkatkan partisipasi
kerja penyandang disabilitas hingga 60 persen—maka capaian ini akan menjadi benchmark
regional. Indonesia dapat memimpin inisiatif ASEAN dalam membangun kerangka
perlindungan sosial lintas negara, termasuk skema kerja sama untuk melindungi pekerja
migran dan memperkuat jaringan ketahanan sosial di kawasan.
Dimensi geopolitik juga mencakup diplomasi kemanusiaan. ASEAN selama ini dikenal dengan
prinsip people-oriented, people-centered. Keberhasilan Indonesia dalam menegakkan
keadilan sosial akan memperkuat agenda ini, sehingga ASEAN tidak hanya dipandang sebagai
organisasi ekonomi, tetapi juga sebagai komunitas yang peduli pada kesejahteraan warganya.
Indonesia dapat mengusulkan ASEAN Social Protection Framework yang adaptif terhadap
krisis, menjadikan kawasan ini lebih siap menghadapi disrupsi iklim, pandemi, dan krisis
ekonomi global.
Lebih jauh, keadilan sosial memperkuat soft power Indonesia. Negara-negara besar dunia
akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga

20

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
bijaksana dalam membangun masyarakat inklusif. Soft power ini meningkatkan daya tawar
Indonesia dalam forum internasional, dari G20 hingga PBB, sekaligus meneguhkan posisinya
sebagai jembatan antara Global South dan dunia maju.
Dengan demikian, keadilan sosial tidak hanya fondasi moral dan strategis bagi bangsa
Indonesia, tetapi juga instrumen geopolitik yang memperkuat peran negara di ASEAN. Ketika
Indonesia berhasil membangun masyarakat adil dan inklusif, maka ia akan tampil sebagai
pemimpin kawasan yang dipercaya, dihormati, dan diikuti. Keberhasilan ini akan
mengukuhkan ASEAN sebagai komunitas yang resilien, solidaritas, dan mampu bersaing di
panggung global—dengan Indonesia sebagai lokomotifnya.

3.6 Lemhannas RI dan Perlindungan Sosial sebagai Pilar Indonesia Emas
Perlindungan sosial adalah fondasi moral dan material bangsa, instrumen strategis yang
menentukan keberlangsungan Indonesia dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045. Bagi
Lemhannas RI, lembaga strategis yang memegang amanah untuk membina kepemimpinan
nasional, perlindungan sosial bukanlah urusan administratif teknokratis semata. Ia adalah
bagian dari ketahanan nasional, yang menautkan kekuatan ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, serta pertahanan dan keamanan bangsa. Dalam RPJPN 2025–2045 sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024, perlindungan sosial adaptif
diarahkan untuk menghapus kemiskinan ekstrem, memperluas cakupan jaminan sosial secara
universal, serta memberdayakan penyandang disabilitas agar produktif di sektor formal. Tiga
sasaran besar ini bukan sekadar angka dalam dokumen pembangunan, melainkan janji
kebangsaan untuk mewujudkan sila ke-5 Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Lemhannas RI menegaskan bahwa perlindungan sosial adalah strategi kebangsaan jangka
panjang, bukan sekadar respons darurat atas krisis. Sebagaimana kita belajar dari sejarah,
setiap kali bangsa ini menghadapi guncangan besar—mulai dari krisis moneter 1998 hingga
pandemi COVID-19—daya tahan rakyat selalu ditentukan oleh ada tidaknya jaring pengaman
sosial. Namun Lemhannas menekankan, perlindungan sosial bukan hanya “jaring” yang
mencegah rakyat jatuh ke jurang kemiskinan, tetapi juga “tangga” yang mengangkat mereka
menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam konteks ini, Lemhannas mengajarkan
bahwa pemimpin strategis harus mampu melihat keterhubungan antara perlindungan sosial,
stabilitas politik, kohesi sosial, dan daya saing ekonomi.
Perlindungan sosial adaptif sebagaimana dirumuskan dalam RPJPN 2025–2045 tidak bisa
dilepaskan dari inovasi kebijakan. Pertama, melalui basis data tunggal Registrasi Sosial
Ekonomi (Regsosek) yang memungkinkan intervensi tepat sasaran dan real time. Kedua,
melalui penguatan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diarahkan menuju cakupan
universal. Ketiga, integrasi program bantuan sosial dengan pemberdayaan masyarakat,
sehingga bansos tidak hanya mencegah kerentanan, tetapi juga membuka jalan mobilitas
sosial. Keempat, melalui inovasi pembiayaan seperti social impact bonds, pajak karbon, atau
investasi sosial berkelanjutan yang memastikan keberlanjutan fiskal. Lemhannas dalam
kapasitasnya sebagai pusat pemikiran strategis menegaskan bahwa hanya dengan pendekatan
integratif dan inovatif, perlindungan sosial dapat berfungsi sebagai stabilisator nasional
sekaligus motor pembangunan inklusif.

21

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
Dalam perspektif Astagatra, perlindungan sosial menyentuh seluruh aspek kehidupan bangsa.
Pada gatra ideologi, ia memperkuat legitimasi Pancasila yang menekankan keadilan sosial.
Pada gatra politik, ia menumbuhkan legitimasi pemerintah karena rakyat merasakan
kehadiran negara. Pada gatra ekonomi, ia meningkatkan produktivitas melalui pengurangan
kerentanan. Pada gatra sosial budaya, ia memelihara kohesi masyarakat dengan mengurangi
jurang ketimpangan. Pada gatra hankam, ia menutup ruang infiltrasi ideologi transnasional
yang sering memanfaatkan kemiskinan dan ketidakadilan sebagai pintu masuk. Dengan
demikian, perlindungan sosial adalah benteng pertahanan yang tidak kasat mata, tetapi sama
pentingnya dengan sistem persenjataan canggih dalam menjaga kedaulatan bangsa.
Secara komparatif, pengalaman internasional menunjukkan bukti yang jelas. OECD dalam
kajian tahunannya menegaskan bahwa negara-negara dengan jaminan sosial universal lebih
tangguh menghadapi resesi. Brasil melalui program Bolsa Família berhasil menurunkan
kemiskinan secara signifikan sembari meningkatkan akses pendidikan. Filipina dengan
Pantawid Pamilyang Pilipino Program (4Ps) menunjukkan bagaimana bansos bersyarat bisa
menjadi investasi jangka panjang dalam kualitas SDM. Thailand memperlihatkan efektivitas
bantuan tunai darurat yang mencakup 80 persen rumah tangga selama pandemi COVID-19,
yang berhasil menjaga stabilitas sosial di masa krisis. Semua contoh ini menggarisbawahi satu
pesan: perlindungan sosial adalah instrumen pembangunan sekaligus pertahanan bangsa.
Indonesia melalui RPJPN 2025–2045 telah menempatkan perlindungan sosial adaptif sebagai
bagian integral dari strategi transformasi sosial. Targetnya jelas: menurunkan kemiskinan
ekstrem hingga 0,5 persen, memperluas cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan mendekati
universal (99,5 persen), serta meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam sektor
formal hingga 60 persen. Lemhannas RI menafsirkan target ini bukan sekadar administratif,
melainkan sebagai indikator daya tahan bangsa. Jika tercapai, maka Indonesia tidak hanya
lebih adil, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi ancaman global.
Tabel berikut menggambarkan arah transformasi perlindungan sosial adaptif dengan dimensi
strategis, instrumen kebijakan, kondisi awal, dan arah 2045:
Tabel 21
Arah Transformasi Perlindungan Sosial Adaptif
No Dimensi Strategis Instrumen Kebijakan Kondisi Awal 2025 Arah Strategis 2045
1. Penghapusan
Kemiskinan
Bantuan sosial adaptif
berbasis Regsosek
Kemiskinan
ekstrem ±2%
Kemiskinan ekstrem 0%,
sistem bansos digital
terintegrasi
2. Perlindungan
Pekerja
Reformasi Sistem
Jaminan Sosial Nasional
(SJSN)
Cakupan pekerja
informal rendah
Jaminan sosial universal
mencakup pekerja
formal & informal
3. Inklusi Disabilitas Kuota & insentif kerja
disabilitas
Partisipasi di
sektor formal 22%
Partisipasi >60%,
lingkungan kerja inklusif
nasional
4. Ketahanan Krisis Dana abadi & social
impact bonds
Mekanisme ad
hoc saat krisis
Mekanisme
perlindungan otomatis &
berkelanjutan

22

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
No Dimensi Strategis Instrumen Kebijakan Kondisi Awal 2025 Arah Strategis 2045
5. Transformasi
Digital Sosial
Layanan berbasis e-
wallet & big data
Fragmentasi
sistem & akses
terbatas
Digitalisasi menyeluruh,
inklusif, akuntabel
6. Kohesi Sosial &
Legitimasi Politik
Integrasi perlindungan
sosial dengan
pendidikan & bela
negara
Fragmentasi
kebijakan sektoral
Perlindungan sosial
sebagai perekat
persatuan nasional
Sumber: RPJPN 2025–2045, diolah

Dalam narasi kebangsaan, perlindungan sosial adaptif menjadi simbol kebijaksanaan negara.
Ia memastikan bahwa tidak ada rakyat yang dibiarkan menjadi korban perubahan global,
bahwa pekerja informal memiliki hak yang sama dengan pekerja formal, bahwa penyandang
disabilitas diperlakukan sebagai aset bangsa, bukan beban. Inilah wujud heroisme kebijakan
publik yang menegakkan sila ke-5 Pancasila sekaligus memperkuat legitimasi negara.
Lemhannas RI memainkan peran ganda: sebagai laboratorium kepemimpinan dan sebagai
pusat kajian strategis. Melalui pendidikan kepemimpinan, Lemhannas membentuk pemimpin
yang memahami bahwa perlindungan sosial adalah urusan ketahanan nasional. Melalui riset
kebijakan, Lemhannas memberikan rekomendasi berbasis data agar desain perlindungan
sosial benar-benar adaptif. Melalui diplomasi akademik, Lemhannas memperkuat posisi
Indonesia dalam percakapan global tentang pembangunan inklusif. Semua ini menegaskan
bahwa perlindungan sosial bukan periferal, melainkan sentral dalam visi Indonesia Emas 2045.
Ketika bangsa ini merayakan seratus tahun kemerdekaan pada 2045, sejarah tidak hanya akan
mencatat seberapa besar kekuatan militer kita atau seberapa tinggi GDP per kapita kita. Dunia
akan menilai Indonesia dari seberapa adil negara ini memperlakukan rakyatnya. Keberhasilan
perlindungan sosial adaptif akan menjadi bukti bahwa Indonesia bukan hanya negara yang
bertahan, tetapi negara yang memimpin dengan kebijaksanaan.
Perlindungan sosial adalah pilar Indonesia Emas, dan Lemhannas RI memastikan pilar itu
kokoh, menopang rumah kebangsaan yang adil, makmur, berdaulat, dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Ace Hasan Sadzily, et al. (2025). Geopolitik Global: Asta Cita dan Tantangan Mewujudkan
Ketahanan Nasional, IPB Press, https://www.slideshare.net/slideshow/geopolitik-
global-asta-cita-dan-tantangan-mewujudkan-ketahanan-nasional/280541265
Ace Hasan Sadzily, et al. (2025). Ketahanan Nasional Wujudkan Indonesia Maju: Dari
Stabilitas menuju Inovasi Berkelanjutan, Orasi Kebangsaan Rejuvenasi Lemhannas
Pilar Baru Ketahanan Nasional, https://www.slideshare.net/slideshow/ketahanan-
nasional-wujudkan-indonesia-maju-dari-stabilitas-menuju-inovasi-berkelanjutan-
rejuvenasi-lemhannas-pilar-baru-ketahanan-nasional/281010455
Ace Hasan Sadzily, et al. (2025). Rejuvenasi Lemhannas RI guna Mewujudkan Indonesia
Maju. UNJ Press dan Lemhannas Press,

23

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series
https://www.slideshare.net/slideshow/rejuvenasi-lemhannas-ri-guna-mewujudkan-
indonesia-maju/280529592
Ace Hasan Sadzily, et al. (2025). School of Strategic Leaders, Mencetak Pemimpin Bangsa di
Era Ketidakpastian Global, UNJ Press, https://www.slideshare.net/slideshow/school-
of-strategic-leaders-mencetak-pemimpin-bangsa-di-era-ketidakpastian-global-
ce37/280540946
Barrientos, A., & Hulme, D. (2008). Social Protection for the Poor and Poorest: Concepts,
Policies and Politics. Palgrave Macmillan.
Dadang Solihin, et al (2025). Generasi Z: Pilar Kepemimpinan Nasional Menuju Indonesia
Emas 2045, https://www.slideshare.net/slideshow/generasi-z-pilar-kepemimpinan-
nasional-menuju-indonesia-emas-2045/283521725
Dadang Solihin, et al (2025). Lemhannas RI Penjaga Visi Bangsa: Strategi Kepemimpinan
Menuju Indonesia Emas 2045, https://www.slideshare.net/slideshow/lemhannas-ri-
penjaga-visi-bangsa-strategi-kepemimpinan-menuju-indonesia-emas-2045-
8187/283876201
Dadang Solihin, et al (2025). Mempersiapkan SDM Unggul: Menyongsong Indonesia Emas
2045, https://www.slideshare.net/slideshow/mempersiapkan-sdm-unggul-
menyongsong-indonesia-emas-2045/283875381
Dadang Solihin, et al (2025). Reaktualisasi Gatra Sosial Budaya: Strategi Kebijakan untuk
Menopang Indonesia Emas 2045,
https://www.slideshare.net/slideshow/reaktualisasi-gatra-sosial-budaya-strategi-
kebijakan-untuk-menopang-indonesia-emas-2045/283444777
Devereux, S., & Sabates-Wheeler, R. (2004). Transformative Social Protection. IDS Working
Paper 232, Institute of Development Studies.
Holzmann, R., & Jørgensen, S. (2001). Social Risk Management: A New Conceptual
Framework for Social Protection, and Beyond. World Bank.
Midgley, J., & Piachaud, D. (2013). Social Protection, Economic Growth and Social Change:
Goals, Issues and Trajectories in China, India, Brazil and South Africa. Edward Elgar.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2025–2045.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
World Bank. (2018). The State of Social Safety Nets 2018. Washington, DC: World Bank.
Jakarta, 29 Oktober 2025

Dadang Solihin

24

17 Tujuan Pembangunan 2045
The Series

Tentang Penulis

Sejak awal Januari 2022 Dadang Solihin memperkuat Lemhannas RI
sebagai Tenaga Ahli Profesional (Taprof). Wredatama ini menempuh
pendidikan S1 dan S2 pada Program Studi Ekonomi Pembangunan.
Gelar SE ia peroleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Katolik
Parahyangan Bandung (1986), dan gelar MA ia peroleh dari University
of Colorado at Denver, USA (1996). Adapun gelar Doktor Ilmu
Pemerintahan ia peroleh dari FISIP Universitas Padjadjaran Bandung
(2011).
Kariernya sebagai PNS ia tekuni lebih dari 33 tahun. Dimulai dari
Bappenas sejak awal 1988, di mana ia pernah menjadi Direktur selama 7 tahun lebih. Atas
pengabdiannya ini, negara menganugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya
melalui 3 Presiden RI, yaitu dari Presiden Gusdur (2020), Presiden SBY (2009) dan Presiden
Jokowi (2019).
Ia pernah menjadi Rektor PTS Universitas Darma Persada (Unsada) Jakarta Masa Bakti 2015-
2018, dan sempat mendirikan Batalyon Bushido Resimen Mahasiswa Jayakarta. Pangkat
Akademiknya adalah Associate Professor/Lektor Kepala TMT 1 Oktober 2004. Ia juga pernah
menjadi Ketua Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta Masa Bakti 2018-2022.
Jabatan terakhirnya sebagai PNS adalah Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan
Pariwisata sampai memasuki usia pensiun sebagai PNS golongan IV.e TMT 1 Desember 2021.
Di dunia kampus, saat ini ia menjabat sebagai Ketua Senat Akademik Institut STIAMI.
Senior citizen yang setiap hari menikmati perjalanan Bike to Work ini adalah Peserta Terbaik
Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXIX tahun 2010 yang diselenggarakan oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Jakarta dan Peserta Terbaik Program Pendidikan
Reguler Angkatan (PPRA) XLIX tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) RI. Ia dinyatakan Lulus Dengan Pujian serta dianugerahi Penghargaan
Wibawa Seroja Nugraha.
Pada tahun 2019 Dadang Solihin mengikuti Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Tingkat
Utama yang diadakan oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana
(Pusbindiklatren) Kementerian PPN/Bappenas RI bekerjasama dengan Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI).
Ia dinyatakan lulus dengan memperoleh Nilai Terbaik dan Policy Papernya dijadikan standar
nasional dalam Penilaian Kinerja Jabatan Fungsional Perencana yang diatur dalam Peraturan
Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 1 Tahun 2022.