Pengertian sifat melawan hukum umum,
menurut para ahli hukum
•Menurut Ch. J Enschede mengemukakan ” perbuatan pidana adalah suatu
perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, melawan hukum,
dan kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya
•Van Hamel yang mengatakan ”sifat melawan hukum dari suatu perbuatan
pidana adalah bagian dari suatu pengertian yang umum... Pembuat Undang-
Undang pidana tidak pernah menyatakan bagian ini tetapi selalu merupakan
dugaan”.
•Noyon dan Langemeijer yang mengemukakan ”Pengertian melawan hukum
bagaimanapun masih menjadi perhatian sebagai unsur rumusan delik.
Dengan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk
undang-undangan memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu
sebagai sifat melawan hukum atau selanjutnya tidak bersifat melawan
hukum tidak ada artinya”.
Pengertian sifat melawan hukum umum,
menurut para ahli hukum
•Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.
•Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
•Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang
tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
•Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.
•Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan
hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain
disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat
berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu
berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan
hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”
(Barkatullah, 2005).
Pengertian sifat melawan hukum umum,
menurut para ahli hukum
Sifat Melawan Hukum atau Ajaran Sifat Melawan Hukum dalam ranah
hukum pidana terdapat 4 Jenis yakni sebagai berikut:
•
Sifat melawan hukum umum;
•
Sifat melawan hukum khusus;
•
Sifat melawan hukum formil;
•
Sifat melawan hukum materiel baik dalam fungsi positif maupun
negatif.
Jenis Ajaran Sifat Melawan
Hukum
Ajaran Sifat Melawan Hukum Khusus
Ajaran sifat melawan hukum khusus, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
•
Kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik;
•
Merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan;
•
Melawan hukum hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan
tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Contoh rumusan pasal menganut
ajaran sifat melawan hukum
khusus.
Pada pasal 372 KUHP. Yang menyatakan “barangsiapa dengan
sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri
barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi barang yang ada dalam kekuasaannya bukan
hasil kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah”.
Pendapat Ahli Tentang Ajaran Sifat Melawan Hukum
Khusus
•
Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum menyatakan ”terhadap
delik-delik yang sifat melawan hukum dalam rumusan delik dan unsur-
unsur lain tidak terbukti, terdakwa dibebaskan”.
•
Menurut Schaffmeister berpendapat bahwa ”melawan hukum” tidak
perlu disebutkan dalam rumusan delik sebagaimana pernyataannya
”karena itu pembuat undang-undang menurut pendapat saya tidak
perlu mencantumkan sifat melawan hukum dan kesalahan pada teks
undang-undang hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat
dipidananya suatu perbuatan”
Pendapat Prof. Eddy O.S Hiariej, SH, M Hum
Mengenai ajaran sifat melawan hukum khusus
•
Melawan hukum adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sehingga tidak perlu dimasukkan dalam rumusan delik.
•
Jika melawan hukum dimasukan dalam rumusan delik , maka akan
memberikan pekerjaan tambahan kepada jaksa penuntut umum untuk
membuktikannya di pengadilan.
•
Merujuk kepada pengertian kata ”hukum” dalam frase ”melawan hukum”
diatas, jika kata kata ”melawan hukum” dimasukkan dalam rumusan delik,
penafsirannya terlampau luas sehingga bertentangan dengan prinsip lex
certa (ketentuan pidana harus jelas) dan lex srticta (ketentuan pidana
harus ditafsirkan secara ketat) sebagai prinsip-prinsip yang terkandung
dalam asas legalitas.
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM FORMIL DALAM UNDANG-UNDANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Menganut:
1.Ajaran Sifat Melaw an Hukum Formil
2.Ajaran Sifat Melaw an Hukum Materil Fungsi Positif
3.Ajaran Siat Melawan Hukum Materil Fungsi Negatif
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM FORMIL
Sifat melawan hukum formil
mengandung arti :
Bahwa semua Bagian (Unsur-Unsur) Dari
Rumusan Delik Telah Terpenuhi.
Pasal 388 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”
•
Unsur-unsur Pasal 338 KUHP yakni:
•
Barang siapa;
•
Sengaja;
•
Merampas;
•
Nyawa orang lain.
Contoh rumusan delik yang menganut ajaran
sifat melawan hukum formil
Pandangan para ahli hukum mengenai
ajaran sifat melawan hukum formil
•
Menurut Jonkers menyatakan “melawan hukum formal jelas adalah karena
bertentangan dengan undang-undang. Tetapi tidak selaras dengan melawan
hukum formal , juga melawan hukum materiel, diantara pengertian
sesuangguhnya dari melawan hukum, tidak hanya di dasarkan pada hukum
positif tertulis, tetapi juga berdasarkan asas-asas umum hukum, pula berakar
pada norma-norma yang tidak tertulis. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
ayat 1 KUHP, untuk dipidananya setiap perbuatan menganut sifat melawan
hukum formal.
•
Menurut Simons menyatakan “untuk dapat dipidana suatu perbuatan harus
mencocoki rumusan delik dalam suatu ketentuan tertulis dalam undang-undang
hukum pidana. Jika sudah demikian tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan
itu melawan hukum ataukah tidak”.
Ajaran sifat melawan hukum materiel
Terdapat 2 (dua) pandangan terhadap ajaran sifat
melawan hukum materiel, yaitu:
•
Dilihat dari sudut perbuatannya;
•
Dilihat dari sudut sumber hukumnya.
Tokoh Ajaran Melawan Hukum Materiel
Pelopor ajaran melawan materil ini
adalah Von Liszt.
Tipologi Ajaran Melawan Hukum Materiel
Dalam Ranah Hukum Pidana
Sifat melawan hukum materil dalam ranah hukum
pidana terdapat 2, yakni:
•
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi negative;
•
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif.
Pengertian dari ajaran sifat melawan hukum
materil dalam fungsi negatif adalah bahwa
meskipun perbuatan telah memenuhi unsur
delik, akan tetapi perbuatan tersebut tidak
bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak
dapat dipidana.
Pengertian Ajaran Melawan Hukum
Materiel Dalam Fungsi Negatif
Penerapan Ajaran Sifat Melawan
Hukum Materiel Dalam Fungsi
Negatif
Ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsi
negatif ada dalam praktik pengadilan di Indonesia,
yakni terhadap kasus penyalahgunaan DO Gula
Putusan Mahkamah Agung RI pada tanggal 8 Januari
1966 dengan nomor putusan No. 42K/Kr/1965 dalam
perkara Machroes Effendi.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI pada
tanggal 8 Januari 1966 dengan nomor putusan No.
42K/Kr/1965, terdakwa atas nama Machroes Effendi,
diputus lepas dari segala tuntutan.
Penerapan Ajaran Sifat Melawan
Hukum Materiel Dalam Fungsi
Negatif
Pertimbangan-pertimbangan yang terdapat dalam amar putusan oleh Mahkamah
Agung terhadap kasus Machroes Effendi, sebagai berikut:
•
Kepentingan Umum Terlayani;
•
Terdakwa tidak mendapat keuntungan;
•
Negara tidak mengalami kerugian.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan factor-faktor yang mempunyai
nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada
perbuatan-perbuatan terdakwa, yang secara formil masuk dalam rumusan tindak
pidana.
Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel Dalam Fungsi Negatif
Selain kasus penyalahgunaan DO Gula Putusan Mahkamah
Agung RI pada tanggal 8 Januari 1966 dengan nomor putusan
No. 42K/Kr/1965 dalam perkara Machroes Effendy, ajaran sifat
melawan hukum materil dalam fungsi negatif juga diterapkan
pada kasus reboisasi dengan putusan Mahkamah Agung No
81K/Kr/1973 tertanggal 20 Maret 1977 atas terdakwa Ir. Otjo
Danuatmadja.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 81K/Kr/1973
tertanggal 20 Maret 1977 terdakwa Ir. Otjo Danuatmadja, diputus
lepas dari segala tuntutan.
Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel Dalam Fungsi Negatif
Dengan pertimbangan-pertimbangan, sebagai berikut:
•
Tertuduh sebagai insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang
tidak dikurangi kemanfaatannya;
•
Tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri;
•
Dengan memperoleh tanah, menambah mobilisasi serta untuk kesejahteraan pegawai,
kepentingan umum dilayani;
•
Negara tidak dirugikan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan factor-faktor yang mempunyai nilai
lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-
perbuatan terdakwa, yang secara formil masuk dalam rumusan tindak pidana
Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel Dalam Fungsi Positif
Pengertian ajaran melawan hukum materil dalam
fungsi positif, mengandung arti
Bahwa meskipun perbuatan tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun jika
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Penerapan
Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel
Dalam Fungsi Positif
Ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsi
positif ada dalam praktik pengadilan di Indonesia,
yakni terhadap kasus korupsi di Bank Bumi daya
dengan terdakwa Direktur Bank Bumi Daya atas
nama terdakwa Raden Sonson Natalegawa.
Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum Dalam Fungsi
Positif
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI pada tanggal 15 Desember 1983 No. 275K/Pid/1982, terdakwa
atas nama Raden Sonson Natalegawa, diputus secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.
Pertimbangan-pertimbangan yang terdapat dalam amar putusan oleh Mahkamah Agung terhadap kasus
Raden Sonson Natalegawa, sebagai berikut:
•
Kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perakara tindak pidana korups;
•
Seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang
lainnya;
•
menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang;
•
Merupakan perbuatan melawan hukum, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan
yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan factor-faktor yang mempunyai nilai lebih dari cukup
guna menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
PENDAPAT PROF. EDDY O.S HIARIEJ SH, M HUM, TENTANG
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIL BAIK DALAM
FUNGSI POSITIF MAUPUN NEGATIF
Menurut Prof. Eddy O.S Hiariej SH, M Hum, tentang ajaran sifat melawan hukum materil baik dalam fungsi
positif maupun negatif dalam bukunya prinsip-prinsip hukum pidana,mengemukakan sebagai berikut:
•
Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negative adalah sebagai alasan pembenar dan oleh karena itu
dapat diterima. Hakikat dari perbuatan pidana adalah perbuatan yang anti social, sehingga jika terdapat keragu-
raguan dalam pengertian di satu sisi telah memenuhi unsure delik, namun disisi lain tidak bertentangan dengan
rasa keadilan masyarakat, maka terdakwa harus dibebaskan;
•
Sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif bertentangan dengan asas legalitas dan oleh karena itu
tidak dapat diterima, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
•
Sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif, kiranya hal ini bertentangan dengan prinsip fundamental
dalam hukum pembuktian pidana yang berbunyi Actori incumbit onus probandi, actore non probante, reus
absolvitur
Eksistensi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel di
Indonesia
Ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut oleh Undang-undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia terdapat dalam Pasal 2 Ayat 1 beserta Penjelasannya
yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Eksistensi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel
di Indonesia
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan :
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat”.
Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi RI terhadap
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 Juli 2006
dengan Putusan 003/PPU-IV/2006 telah memutus
Judicial Review terhadap Penjelasan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang dalam putusannya
dinyatakan tidak mengikat dan memiliki kekuatan
hukum dikarenakan bertentangan Dengan Undang-
Undang Dasar 1945
Pertimbangan Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi
RI terhadap Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Pertimbangan Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Judicial Review atas
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
•
Pasal 2 ayat 1 “frasa melawan hukum materil” dapat melahirkan norma baru yang memua
digunakannya ukuran-ukuran tidak tertulis dalam undang-undang;
•
Menyebabkan criteria perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHperdata) yang dikenal
dalam hukum perdata (onrechmatige daad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran
melawan hukum dalam hukum pIdana (wederrechtelijkheid);
•
Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga Negara untuk
memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti. Dalam ranah hukum pidana tertenal
asas legalitas Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Pertimbangan Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi
RI terhadap Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Pertimbangan Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Judicial Review
atas Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai
berikut:
•
Konsep melawan hukum secara formil tertulis, mewajibkan pembuat undang-
undang untuk merumuskan secara cermat dan serinci mungkin merupakan syarat
untuk menjamin kepastian hukum;
•
Konsep melawan hukum materil merujuk pada aturan yang tidak tertulis sehingga
tidak ada ukuran yang pasti seperti nilai nilai keadilan dalam masyarakat, mengingat
masyarakat Indonesia Majemuk.
Pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Kompsi tertera bahwa subjek yang
bertanggung jawab dalam tindak pidana korupsi
adalah manusia dan korporasi
SUBYEK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI INDONESIA
KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA
•Perkembangan:
- bukan merupakan subjek hukum pidana;
-Subjek hukum pidana, tapi tanggung jawab ada pada
pengurus korporasi;
-subjek hukum pidana dan dapat dipidana.
•Pro dan Kontra
Alasan yang pro, antara lain adalah: peranan korporasi dalam
kehidupan sosial ekonomi makin besar; tidak cukup
pengurus saja yang dipidana.
Alasan yang kontra, antara lain adalah: untuk dapat
dipertanggungjawabkan maka harus ada kesalahan (sulit
dipenuhi); tidak mudah menentukan siapa yang dipidana.
•Nasional:
-UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 15 ayat 1. Tuntutan dan
penjatuhan pidana pada badan hukum, mereka yang memberikan perintah atau yang
bertindak sebagai pimpinan maupun kedua-duanya.
-UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pasal 46 ayat 2. Penuntutan terhadap mereka yang memberikan perintah atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
-UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal 1 angka 3. Pasal 20 ayat 1 tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
-UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Pasal 1 angka 3. Pasal 6 ayat 1 pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil
pengendali korporasi.
KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI
KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI
•Internasional:
-Konvensi PBB tahun 2003 tentang Menentang Korupsi. Pasal
26. Dari pasal 26 ayat 2 dan ayat 3 yang bertanggung jawab
adalah badan hukum dan orang yang telah melakukan
kejahatan tersebut. Disahkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2006.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
•Ada 3 kemungkinan: korporasi saja; pengurus saja; atau korporasi dan
pengurus.
•Terdapat perbedaan atau belum ada kseragaman dalam undang-undang
tentang siapa yang bertanggung jawab
•Undang-undang tidak dengan tegas mengatur tentang kapan
pertanggungjawaban diminta pada korporasi, pengurus, atau keduanya. Hal
ini menimbulkan masalah dalam penegakan hukum.
•Komisaris juga dapat dimintai pertanggungjawaban bila melakukan
persetujuan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Direksi (pasal 117 ayat 1
UU No. 40 Tahun 2007 jis pasal 55 dan pasal 56 KUHP -- penyertaan).