ebook-15-Peran Strategis Pendidikan Kewarganegaraan dalam Menangkal Paham Radikalisme di Indonesia
matakuliahumumkewarg
7 views
12 slides
Nov 02, 2025
Slide 1 of 12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
About This Presentation
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran penting dalam membentuk warga negara yang cerdas, kritis, dan berkarakter Pancasila. Melalui proses pembelajaran nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan cinta tanah air, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi sarana efektif untuk mencegah penyebaran paham radikal...
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran penting dalam membentuk warga negara yang cerdas, kritis, dan berkarakter Pancasila. Melalui proses pembelajaran nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan cinta tanah air, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi sarana efektif untuk mencegah penyebaran paham radikalisme yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Dengan menanamkan kesadaran berkonstitusi, penghargaan terhadap keberagaman, dan komitmen terhadap NKRI, mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam menjaga persatuan dan kedamaian di tengah masyarakat.
Size: 327.1 KB
Language: none
Added: Nov 02, 2025
Slides: 12 pages
Slide Content
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Universitas Pamulang S-1 PPKn
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Penyusun:
Abd. Chaidir Marasabessy S.Sos., M.Pd
Gilang Zulfikar S.Pd., M.Pd
Mas Fierna Janvierna Lusie Putri S.Pd., M.Pd
Saepudin Karta Sasmita S.Pd., M.Pd
Nurulita Sari, S.Pd.,M.H
Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang
Gd. A, Ruang 211 Universitas Pamulang
Tangerang Selatan – Banten
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
139
PERTEMUAN 13
PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SEBAGAI UPAYA MENGATASI RADIKALISME
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan mahasiswa mampu;
1. Mengkaji lahirnya gerakan terorisme
2. Menjelaskan pengertian radikaslime dan terorisme
3. Menganalisis faktor penyebab munculnnya radikalisme
4. Menganalisis peran PKn dalam mengatasi gerakan radikalisme
B. Uraian Materi
1. GerakanTerorisme
Terorisme lahir sejak ribuan tahun silam. Dalam sejarah Yunani kuno, seorang
Xenophon (430 – 439 SM) menggunakanpsycological warfaresebagai usaha untuk
memperlemah lawan. Pada abad 19 dan menjelang perang Dunia I, terorisme telah
terjadi hampir di seluruh dunia, seperti penganut anarkhi di Eropa Barat, Rusia, dan
Amerika Serikat. Para penganut ini percaya bahwa cara yang paling efektif untuk
melakukan revolusi politik dan sosial, dengan membunuh orang-orang yang
berpengaruh atau orang-orang yang berkuasa saat itu dengan senjata api atau bom.
Istilah teror dalam bahasa Perancis yaitu “Le Terreur”.Istilah ini digunakan para
pejuang Revolusi Perancis atas tindakan anarkis, kebuasan atau pembunuhan yang
dilakukan secara sewenang-wenang ketika berlangsung Revolusi Perancis pada
tahun 1793 -1794. Sedangkan terorisme adalah usaha-usaha atau aktivitas untuk
menciptakan rasa takut yang mendalam melalui upaya-upa ya pembunuhan,
penculikan, pemboman, dan tindakan kejahatan terhadap kemanusian(crime against
humanity). Karena setiap aksi terorisme adalah merupakan tindakan yang melanggar
hak-hak asasi manusia(human right)(
www.bulitin litbang.dephan.go.id).
Terorisme dapat eksis di berbagai komunitas internasional, dan realisasinya
sendiri sangat bergantung pada kerentanan kondisi politik, ekonomi, dan psikologis.
Pada abad ke-20, terjadi perubahan besar dalam terorisme dan sinkronisasi yang
menjadi dasar dunia. Terorisme merupakan ciri dari spektrum idealis negara sebagai
bagian dari gerakan politik kelompok sayap kanan dan sayap kiri. Kemajuan
teknologi merupakan alat pembunuhan baru yang memberikan keleluasaan dan
kemudahan bagi teroris untuk terlibat dalam kegiatan teroris.
Dalam perkembangannya, istilah terorisme telah digunakan dalam ruang yang
lebih luas. Karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku semakin meluas melampaui
batas teritorial suatu negara, maka ancaman kekerasan yang menyertai tindakannya
dirasakan semakin mendunia. Terorisme internasional adalah suatu bentuk
kekerasan politik yang melibatkan warga atau wilayah lebih dari satu negara.
2. Pengertian Radikalisme
Radikalisme adalah perubahan sosial melalui kekerasan, yang meyakinkan
dengan tujuan yang dianggap benar, tetapi digunakan dengan cara yang salah.
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
140
Radikalisme dalam arti linguistik berarti paham atau aliran, harapan untuk mengubah
atau memperbarui masyarakat dan politik melalui kekerasan atau cara-cara drastis.
Dalam arti lain, esensi aktivisme adalah konsep sikap jiwa ketika melakukan
perubahan. Radikalisme berarti gerakan yang memiliki pandangan kuno dan sering
menggunakan kekerasan untuk mengajarkan keyakinannya. Di Indonesia, kebijakan
nasional terkait penanganan radikalisme dan terorisme mendapat perlawanan,
terutama di kalangan militan, karena upaya pemberantasan kelompok militan hanya
didasarkan pada satu pendekatan, yaitu pendekatan keamanan.
Radikalisme di Indonesia masih menjadi perbincangan. radikalisme masih
menjadi masalah serius bagi banyak orang. Jika kita ingat kembali, sejak tragedi
WTC dan Pentagon pada 11 September 2001, kosa kata terorisme dan radikalisme
Islam telah menyebar ke seluruh media, buku, dan jurnal akademik. Hingga saat ini,
banyak orang yang percaya bahwa klasifikasi itu adalah produk Barat, dengan tujuan
memecah belah umat Islam dan menghalangi umat Islam untuk maju dan bersatu.
Oleh karena itu, tidak heran jika ketika Bom Bali I dan Bom Bali II terjadi pada tahun
2002, banyak tokoh Islam yang mengklaim bahwa para teroris tersebut hanyalah
“rekaan” kehancuran citra Islam di Barat, sehingga membuat mereka tetap terpaut
dengan kekerasan dan terorisme (Fanani, 2013:4).
Namun, ketika kejadian teror di Indonesia terus beruntun, yang diikuti oleh
penangkapan para teroris, kita menyaksikan fakta lain berupa testimoni dan jaringan
yang dibentuk oleh mereka. Kita bisa tahu bahwa memang ada orang-orang yang
mendedikasikan hidupnya untuk menjadi teroris, menggembleng para calon teroris,
mengajarkan ilmu teror, dan meyakinkan orang-orang untuk mengikuti pemahaman
Islam ala teroris. Dari fenomena itu, kita bisa mengatakan bahwa radikalis medan
terorisme bukan murni ciptaan Barat, melainkan memang fakta karena ada yang
meyakini, memeluk, dan mengembangkannya dari kalangan umat Islam sendiri
(Fanani, 2013:4).
Radikalisme memang tidak persis sama dan tidak bisa disamakan dengan
terorisme. Menurut Ahmad Syafii Maarif, bahwa radikalisme lebih terkait dengan
model sikap dan cara pengungkapan keberagamaanseseorang, sedangkan
terorisme secara jelas mencakup tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik.
Radikalisme lebih terkait dengan problem intern keagamaan, sedangkan terorisme
adalah fenomena global yang memerlukan tindakan global juga. Namun radikalisme
kadang-kala bisa berubah menjadi terorisme, meskipun tidak semuanya dan
selamanya begitu (Islam and the Challenge of Managing Globalisation, 2002);
(Fanani,2013: 5).
Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam
mengusung perubahan. Radikalisme merupakan gerakan ya ng dilkakukan oleh
individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio politik dan sosio historis.
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka (Nasution,
1995:124).
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
141
Berikut definisi radikalisme menurut beberapa ahli, sebagai berikut :
a. Ahmad Syafii Maarif
Radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara pengungkapan
keberagamaan seseorang, sedangkan terorisme secara jelas mencakup
tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik.
b. Ahmad Nurwahid
Radikalisme itu sendiri terkait dengan pemahaman, sikap, dan tindakan
politik yang bernuansa agama. Radikalisme dan terorisme bukan monopoli
agama tertentu seperti Islam saja, namun ada di semua agama dan bahkan
setiap individu
c. Horace M Kallen.
Radikalisme memiliki kekayanyang kuat akan kebenaran ideologi atau
program yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum r adikalis
memperjuangkan keyakinan yang mereka anut.
d. Kalidjernih
Radikalisme adalah suatu komitmen kepada perubahan keseluruhan
yakni yang menantang struktur dasar atau fundamental, tidak hanya pada
lapisan-lapisan superfisial.
Manurut Nur Salim (2018) radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme.
Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total
dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara
drastis lewat kekeraan(violence)dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang
bisa dikenali dari sikap dan paham radikal.
1) Intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain).
2) Fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah).
3) Eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya).
4) Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai
tujuan) (Salim, dkk.,2018: 99-100).
Kata radikalisme ditinjau dari segi etimologis radikalisme berasal dari bahasa
latin yaitu “radix”yang berarti akar yang kemudian menjadi inti dari maknaradicalism
yang secara politik kemudian diarahkan kepada setiap gerakan yang ingin merubah
sistem dari akarnya. Makna kata akar (pohon), dapat diperluas kembali sehingga
memiliki arti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipt a perdamaian dan
ketenteraman. Kemudian kata tersebut dapat dikembangkan menjadi kata radikal,
yang berarti lebih adjektif. Sedangkan “radikalisme” dalam bahasa Arab disebut
“syiddah attanatu”. Artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta
memonopoli kebenaran. Dari pengertian di atas terlihat bahwa fundamentalis Islam
atau muslim fundamental sangat dianjurkan dalam menjalankan perintah perintah
agama sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Sedangkan radikalisme bertentangan
dengan ajaran agama Islam yang menganjurkan bagi pemeluknya untuk berbuat baik
kepada semua orang tanpa memandang latar belakang suku bangsa dan agama
(pluralisme) (Arsyad, 2010).
Pada tahun 35 Hijriyah, Khalifah Usman Ibnu Affan terbunuh oleh sekelompok
umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali
Ibnu Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam.
Komunitas ekstrem tersebut, sungguhpun pada mulanya be rnuansa politik,
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
142
berkembang menjadi sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij (Arsyad,
2010:76).
Dalam ajaran Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, demi tercapainya keharmonisan
hubungan antara manusia dan Tuhannya juga hubungan m anusia dengan
sesamanya. Nabi Muhammad SAW tidak hanya diutus kepada umat tertentu saja,
melainkan terhadap seluruh umat di muka bumi. Allah SWT menegaskan dalam
firman-Nya surat Saba? ayat 28 yang artinya:
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada seluruh
ummat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebag ai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Saba?: 28).
Kutipan ayat di atas sangat jelas, bahwasanya pengutusan Nabi Muhammad
SAW, tidak terbatas terhadap umat tertentu, melainkan terhadap seluruh umat
meliputi manusia bahkan alam semesta. Allah Swt menganjurkan manusia untuk
berbuat baik terhadap-Nya dan terhadap sesama manusia. Keharmonisan akan
tercipta manakala ada keselarasan antar dua pihak atau lebih. Terciptanya keadaan
yang sinergis diantara pihak satu dan pihak lainnya yang di dasarkan pada cinta
kasih, dan mampu mengelola kehidupan dengan penuh keseimbangan (fisik, mental,
emosional dan spiritual) baik dalam tubuh keluarga maupun hubungannya dengan
yang lain, sehingga terciptanya suasana aman, perasaan tentram dan lain
sebagainya juga dapat menjalankan peran-perannya dengan penuh kematangan
sikap, serta dapat melalui kehidupan dengan penuh keefektifan dan kepuasan batin.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata teror adalah kegiatan yang
menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Terroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut,
biasanya untuk tujuan politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, 1048).
Terrorisme adalah penggunaan kekerasan terhadap sasara n sipil untuk
menimbulkan ketakutan sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan (terutama
tujuan politik).
Menurut Hukum Positif Indonesia: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Bab
III Pasal 6, dikemukakan: ”bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau internasional” diancam
dengan pidana hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara 4 tahun hingga 20
tahun.
Selanjutnya, secara etimologi terorisme berasal dari bahasa Latinyangdisebut
“Terrere”yang berarti “gemetar” atau menggetarkan. Sedangkan dalam bahasa
Inggris yaitu kata“to Terror”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia teror merupakan suatu usaha untuk
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan
tertentu (Depdikbud, 2013); (Yunus, 2017).
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
143
Teorisme dalam pengertian perang memiliki definisi sebagai serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror (takut), sekaligus
menimbulkan korban massif bagi warga sipil dengan melakukan pengeboman atau
bom bunuh diri (Yunus, 2017:82).
Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), menyebutkan bahwa
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam tindak pidana
terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6,
7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman keke rasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional
(Pasal 6).
2) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman keke rasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 7).
Dan seseorang juga dianggap melakukan tindak pidana terorisme, berdasarkan
ketentuan Pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari beberapa definisi yang dikemukakan
tersebut, yang menjadi ciri dari suatu tindak pidana terorisme, yaitu:
1) Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2) Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3) Menggunakan kekerasan.
4) Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
pemerintah.
5) Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang
dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama (Yunus, 2017:82).
3.Faktor Penyebab Muncul Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu
saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong
munculnya gerakan radikalisme. Faktor-faktor penyebab diantaranya:
1) Faktor Sosial-Politik
Adanya pandangan yang salah atau salah kaprah mengenai suatu
kelompok yang dianggap sebagai kelompok radikalisme. Secara historis kita
dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal
dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
144
masalah sosial-politik.Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta
historis bahwa kelompok tersebut tidak diuntungkan oleh peradaban global
sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Dengan membawa bahasa dan simbol tertentu serta slogan-slogan agama,
kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang
kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya.
Teori frustrasi-agresi yang diajukan Dollard dan koleganya pada tahun
1939, mengisyaratkan bahwa tidak tercapainya hal-hal yang diinginkan akan
mendatangkan frustrasi dan menimbulkan kemarahan atau agresi. Beberapa
hasil studi mutakhir juga masih mendukung bahwa frustrasi berperan
mendatangkan agresi (Nurjannah, 2013: 187).
2) Faktor Kebijakan Pemerintah
Ketidakmampuan pemerintah untuk bertindak memperbaiki situasi atas
berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian orang atau kelompok
yang disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-
negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah belum atau kurang dapat
mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak k ekerasan
(radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang
dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu
memojokkan menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang
dilakukan. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan
dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu
perilaku radikal sebagai reaksi atas pemberitaan media.
3)Faktor Emosi Keagamaan
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah
faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas
keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu.Tetapi hal ini
lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan
agama (wahyu suci yang absolut) walaupun gerakan radikalisme selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama,
jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi
keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya
interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
4. Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Mengatasi Radikalisme
Pendidikan Kewarganegaran yang merupakan salah satu mata pelajaran yang
wajib disampaikan pada semua jenjang pendidikan berperan dalam mewujudkan
warga negara yang baik(good citizenship). Warga negara yang baik salah satunya
adalah memberikan kontribusi secara konstruktif kepada negara melalui bidangnya
masing-masing bukan justru sebaliknya yaitu memberikan dampak negatif terhadap
keberlangsungan kehidupan bernegara dengan menyebarkan paham-paham radikal,
paham-paham sempit yang mengesampingkan kebhinnekaan bangsa Indonesia.
Pasca era reformasi, gelombang perubahan begitu dahsyatnya hadir di
Republik ini setelah selama 32 tahun kebebasan warga Negara terpasung oleh rezim
yang berkuasa. Gelombang perubahan tersebut dapat dilihat dengan hadirnya
beberapa kelompokCivil Society,Partai Politik yang bertaburan, Gerakan-gerakan
pro demokrasi yang mana pada era sebelumnya kemunculan tersebut mustahil ada.
Lebih lanjut hadirnya era reformasi juga berimplikasi pada konstitusi di Indonesia
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
145
yang manasalah satu tuntutan reformasi adalah penyelenggaraan pemerintahan
Negara yang bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tindak lanjutnya adalah dengan
mengamandemen UUD 1945 yang mengalami 4 (empat) kali amandemen.
Perubahan tersebut dilakukan mengingat pada era sebelumnya UUD 1945 dianggap
sakral sehingga menjadi sesuatu yang mustahil untuk dilakukan perubahan
(amandemen), padahal Presiden Soekarno pada saat meny usun UUD 1945
mengatakan bahwa UUD 1945 merupakan produk darurat j ika suatu saat nanti
Negara ini sudah stabil dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman (Siswanto, tanpa tahun).
Perubahan UUD 1945 berimplikasi dengan adanya pasal-p asal yang
memperkuat posisi warga Negara dalam rangka mewujudka n kebebasan, baik
kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul serta kebebasan lainnya yang
merupakan pilar Negara Indonesia sebagai Negara demokrasi. Gerakan perubahan
pada era reformasi disatu sisi sangat menguntungkan bagi kelangsungan demokrasi
Negara Indonesia yang merupakan salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia,
namun kehadiran era reformasi yang di dalamnya terdapat berbagai macam
kebebasan telah menimbulkan munculnya gerakan-gerakan yang justru kontra
produktif dengan semangat reformasi. Gerakan tersebut merasuki pikiran-pikiran
anak bangsa untuk saling memusuhi antar anak bangsa dengan menggunakan
tameng SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Gerakan tersebut juga
mengajak warga Negara untuk mewujudkan apa yang disebut dengan istilah Negara
Agama yang mana hal tersebut jelas bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila:
Ketuhanan Yang Maha Esa. Gerakan tersebut sering disebut dengan gerakan
radikalisme (Siswanto, tanpa tahun).
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang terdampak
dari hadirnya era reformasi. Pada rezim Orde Baru mata pelajaran Pendidikan
kewarganegaraan (PKn) dipergunakan untuk mendoktrin w arga Negara agar
mendukung segala apapun yang dilakukan oleh pemerint ah saat itu dan
mengesampingkan adanya peran serta warga Negara, dalam hal ini adalah peserta
didik.
PKn (dulunya PMP) menjadikan warga negara berfikiran kerdil karena hanya
menghafal teks-teks usang tanpa diberikan kesempatan untuk memberikan kritik,
memberikan masukan dan memberikan pandangan-pandangan baru tentang isu-isu
kewarganegaraan yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan adanya gerakan
radikalisme, PKn berperan menangkal paham tersebut dikalangan peserta didik,
mengingat Pendidikan Kewarganegaraan memuat Pilar-pilar kebangsaan Indonesia
yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Siswanto, tanpa tahun).
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib
dimuat dalam kurikulum pendidikan pada semua satuan pendidikan. Hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 37 ayat 1 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah
terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak
bangsa, dan pemberdayaan warga Negara. Sedangkan misi mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah membentuk warga Negara yang baik,
yakni warga Negara yang sanggup melaksanakan hak dan k ewajiban dalam
kehidupan bernegara, dilandasi oleh kesadaran politik, kesadaran hukum dan moral.
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
146
Menurut Udin. S Winataputra (2009:21) Pendidikan Ke warganegaraan
merupakan mata pelajaran yang memiliki salah satu misinya sebagai pendidikan
nilai. Dalam proses pendidikan nasional PKn pada dasarnya merupakan wahana
pedagogis pembangunan watak dan karakter bangsa. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat dikatakan bahwa PKn merupakan pendidikan kebangsaan atau
pendidikan karakter.
Berdasarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006 ruang lingkup mata pelajaran
PKn adalah sebagai berikut:
1) Persatuan dan Kesatuan Bangsa
2) Norma, Hukum, dan Peraturan
3) Hak Asasi Manusia (HAM)
4) Kebutuhan warga Negara
5) Konstitusi Negara
6) Kekuasaan dan politik
7) Pancasila
8) Globalisasi
Sedangkan tujuan dari mata pelajaran PKn adalah sebagai berikut:
1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
antikorupsi.
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membe ntuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi (Winataputra, 2009).
Dalam Seminar Nasional bertajuk Terpapar Radikalisme: Dialog Antar
Peradaban yang dihelat di Kampus Pascasarjana UNMA Banten di Serang, Sabtu 16
Nopember 2019, Ahmad Nurwahid mengatakan, bahwa radikalisme sesungguhnya
terjadi pada pihak-pihak yang tidak mengamalkan agama secara kaffah, justru
mengikuti cara-cara setan. Sedikitnya terdapat tiga indikator radikalisme, yakni:
melakukan politisasi agama, memiliki pemahaman agama yang tidak utuh. Lebih
lanjut Ia menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme bukan monopoli agama
tertentu seperti Islam saja, namun ada di semua agama dan bahkan setiap individu.
Radikaisme adalah pemahaman, sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan
substansi ajaran Islam. Setiap manusia punya potensi untuk menjadi radikal, ketika
potensi itu bertemu dengan lingkungan yang mendukung, maka radikalisme biasanya
menjadi terorisme.
Gejala praktik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut secara
historis sosiologis lebih tepat sebagai gejala sosial politik ketimbang gejala
keagamaan meskipun mengibarkan panji-panji keagamaan. Namun bila dilihat dari
sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang
mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan
yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
147
menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda pah am/aliran untuk
mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan di percayainya untuk
diterima secara paksa.
Dalam mengatasi munculnya gerakan radikalisme diperlukan langkah strategis
supaya gerakan tersebut tidak meluas terutama dikalangan peserta didik. Langkah-
langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Memperkuat penanaman nilai-nilai Pancasila di kalangan peserta didik.
Mengingat saat ini penanaman nilai-nilai Pancasila mengalami kemunduran
pasca dihilangkannya penataran P4. Penanaman nilai Pancasila harus
dilakukan secara menyeluruh dan kontinyu baik dari jenjang pendidikan
dasar hingga pendidikan menengah dan di kalangan mahasiswa.
2) Mendorong semua stakeholderyang ada untuk terus bekerja ekstra
menajamkan penanaman nilai-nilai Pancasila, mengingat masih banyak
masyarakat yang lupa dengan pancasila baik dari bunyi sila-silanya,
sehingga bagaimana mau menerapkan jika sejarah dan masing sila dari
Pancasila tidak mengerti.
3) Tidak menjadikan Pancasila hanya sebagai sebuah seremonial. Pancasila
musti dijadikan perpustakaan ideologis oleh semua kalangan sehingga nilai-
nilai Pancasila akan mampu menjadikan rakyat Indonesia hidup dalam
kedamaian tanpa adanya tindak kekerasan.
4) Menjadikan Pancasila sebagai miniatur kehidupan yang rukun, toleran, dan
menghargai sesama anak bangsa.
Dari sudut perspektif kewarganegaraan, maka radikalisme merupakan masalah
bagi demokrasi karena radikalisme bertolak belakang dengan nlai-nilai demokrasi.
Setiap negara demokrasi dapat dipastikan adalah negara hukum sehingga
radikalisme dan terorisme sebenarnya juga merupakan masalah serius dalam negara
hukum. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi sangat besar peranannya
membentuk karakter masyarakat baru yang diharapkan sete lah reformasi.
Masyarakat baru itu terbentuk melalui proses perubahan sikap individu warga negara
yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan rasa hormat serta tanggung jawab
yang juga ditandai oleh hal-hal berikut: (Sri Wuryan dan Syaifullah: 2009);
(Nusarastriya, 2015):
1) Menjunjung tinggi harkat, derajat dan martabat manusia sebagai sesama
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa.
2) Mendahulukan kepentingan bersama tanpa mengabaikan kepentingan
pribadi atau golongan.
3) Menghargai pendapat orang dan tidak memaksakan pendapat kepada pihak
atau orang lain.
4) Menyelesaikan masalah secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat,
yang diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5) Menjunjung tinggi supremasi hukum dengan cara menaati norma hukum dan
norma lainnya secara bertanggungjawab.
6) Melaksanakan prinsip kebebasan disertai dengan tanggung jawab sosial
kemasyarakatan.
7) Mengutamakan persatuan dan kesatuan atau integrasi nasional.
8) Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diskriminatif atas dasar agama,
ras, keturunan, jenis kelamin, status sosial, golongan politik.
Universitas Pamulang S-1 PPKn
Pendidikan Kewarganegaraan
148
9) Melaksanakan fungsi peran kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan
secara kritis dan objektif.
Radikalisme dan terorisme merupakan masalah bagi demokrasi. Radikalisme
dan terorisme bagi Indonesia harus diletakkan sebagai persoalan serius. Mengapa?
karena baik dilihat dari sisi ideologi, prinsip negara demokrasi dan negara hukum
serta karakter nasional Indonesia secara das solen sebenarnya tidak ada tempat
bagi radikalisme dan terorisme itu. Secara ideologi sangat jelas dalam Pancasila ada
prinsip ketuhanan Yang Maha Esa, Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab,
prinsip persatuan, prinsip musyawarah, dan keadilan sedangkan radikalisme ujung-
ujungnya jatuh pada keadaan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan
perikemanusiaan yang adil dan beradab. Mengembangkan sikap kritis-prinsipiil dan
kepekaan hati nurani termasuk kritis kepada diri sendiri dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang bebas, tertib, adil dan sejahtera merupakan tugas semua pihak
(Nusarastriya, 2015).
Hal itu dilakukan dengan membiasakancivic skilldengan menggumuli melalui
proses pembelajaran dengan pendekatan seperticritical thinking problem solving,
inquiry, reflective thinking, analisis masalah, menjelaskan, mengidentifikasi, dan
melakukan evaluasi. Sedangkan dalam rangka membangun civic virtueperlu
memahami dan menghayati nilai-nilai keutamaan seperti kemanusiaan, keadilan,
kebenaran, kejujuran dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional
(Nusarastriya, 2015).
Jadi, pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk menghasilkan warga negara
yang baik. Dalam konteks Indonesia, pendidikan kewarganegaraan adalah dalam
rangka mewujudkan warga negara yang baik, menghargai keragaman yang ada di
Indonesia. Dalam rangka mengatasi gerakan radikalisme, p endidikan
kewarganegaraan berfungsi untuk menajamkan nilai-nil ai Pancasila dan
menanamkannya dengan kuat di hati seluruh anak bangsa agar tidak terjerumus
pada paham tersebut.
C. Soal Latihan/ Tugas
Berikan analisis Anda, dalam pencegahan radikalisme: Pendekatan apa yang perlu
ditingkatkan untuk mencapai tujuan jangka panjang? Bagaimana langkah-langkah
strategis yang dilakukan?
D. Referensi
Arsyad, Aprillani. (2010).Pandangan Agama Islam Mengenai Terorisme, Kekerasan,
dan Jihad.Inovatif. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 4 Tahun 2010. (dikutip 7
Agustus 2021), 76. Tersedia pada:
https://online-
journal.unja.ac.id/jimih/article/view/368
Funani, Fuad A. (2013).Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda. Maarif.
Jurnal. Vol. 8, No. 1 Juli 2013. ( Hal. 4 – 5) (diakses, 7 7 Agustus 2021). Tersedia
pada:
https://www.academia.edu/25922046/Menghalau_Radikalisasi_Kaum_Muda_Gagas
an_dan_Aksi
Kalidjernih, F.K. (2010).Kamus Studi Kewarganegaraan: Perspektif Sosiologikal dan
Politikal. Bandung: Widya Aksara Press