FILSAFAT PENDIDIKAN TANTANGAN DALAM PENJELASAN ILMIAH
DeaAmaliaPutri1
0 views
13 slides
Oct 14, 2025
Slide 1 of 13
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
About This Presentation
Tantangan filosofis dalam penjelasan ilmiah
Size: 1 MB
Language: none
Added: Oct 14, 2025
Slides: 13 pages
Slide Content
Scientific Explanation and Its Discontents
“Tantangan Filosofis dalam Penjelasan Ilmiah”
Presentasi ini mengangkat persoalan mendasar dalam epistemologi
dan filsafat sains: batas-batas penjelasan ilmiah. Judul “Scientific
Explanation and Its Discontents” secara implisit merujuk pada
ketegangan antara keberhasilan praktis sains dan persoalan filosofis
yang membayangi fondasinya. Sub judul mengarahkan fokus pada
tantangan filosofis yang muncul dari usaha sains menjelaskan dunia,
bukan hanya melalui data empiris, tetapi juga melalui kerangka
hukum, kausalitas, dan rasionalitas.
Dasar Penjelasan Ilmiah
– Peran hukum alam dan kausalitas
Masalah Ceteris Paribus
– Idealitas hukum ilmiah dan batas
verifikasi
Probabilitas dalam Sains
– Tafsir epistemik vs ontologis
Teleologi dan Mekanisme
– Dari tujuan ke kausalitas Darwinian
Necessity dan Kritik terhadap Kant
– Fallibilisme dan revisibilitas hukum
ilmiah
Cakupan Materi Presentasi
Masalah Induksi (Hume)
– Ketidakpastian dasar
pengetahuan ilmiah
Unifikasi vs Kausalitas
– Penjelasan sebagai
simplifikasi atau representasi?
Realisme vs Anti-Realisme
– Kebenaran vs kegunaan
dalam teori ilmiah
Refleksi Kritis terhadap
Sains
– Batasan epistemologis dan
peran filsafat
Penjelasan ilmiah selama ini mengandalkan dua pilar utama: keberlakuan
hukum-hukum alam dan hubungan kausal antar gejala. Namun, sejumlah
problem epistemologis muncul — mulai dari penggunaan klausa ceteris
paribus yang bersifat idealisasi, peran probabilitas dalam ilmu
pengetahuan modern, hingga konflik antara penjelasan yang bersifat
teleologis dan kausal.
Perdebatan mendalam pun terjadi antara pendekatan unifikasi teoritik
seperti dalam model Kitcher, dan pendekatan kausalitas; serta antara
realisme ilmiah yang mengklaim kebenaran ontologis teori, dan
pragmatisme atau instrumentalime yang lebih menekankan kegunaan
prediktif.
Masalah Ceteris Paribus
Klausa ceteris paribus berfungsi sebagai perangkat metodologis dalam
banyak hukum ilmiah — misalnya, hukum Newton tentang gravitasi bekerja
“selama tidak ada gaya lain”. Contoh lain dalam hulum laju reaksi.
Namun, secara filosofis, ini menimbulkan problem: bagaimana kita dapat
memverifikasi suatu hukum bila ia hanya berlaku dalam kondisi ideal yang
tidak sepenuhnya dapat direalisasikan secara empiris? Hal ini menantang
falsifiabilitas (Popper) dan membuka celah bagi pseudo-sains yang
menyatakan “pengecualian” sebagai justifikasi kebenaran.
Intinya : Ceteris paribus memudahkan kita menyusun
hukum ideal, tapi hukum itu tidak sepenuhnya berlaku jika
kondisi aktual berbeda.
Probabilitas dalam Sains
Probabilitas dalam sains dapat ditafsirkan
secara epistemik — mencerminkan
keterbatasan pengetahuan manusia, atau
secara ontologis — mencerminkan
struktur realitas itu sendiri.
Dalam fisika kuantum, misalnya,
peluruhan partikel bersifat acak dan tidak
dapat diprediksi secara deterministik. Di
sinilah muncul pertanyaan filosofis
mendalam: apakah probabilitas
merupakan sifat inheren alam, ataukah
semata ekspresi ketidaktahuan kita?
Perdebatan ini berakar dalam distingsi
antara realisme dan anti-realisme
terhadap entitas teoritis.
Teleologi vs Mekanisme Kausal
Tradisi Aristotelian menempatkan final cause sebagai penjelasan sah, namun
modernitas ilmiah — sejak Bacon dan Newton — menolak teleologi demi
penjelasan mekanistik.
Namun, dalam biologi, terutama dalam teori evolusi Darwin, teleologi kembali
tampil dalam bentuk fungsi adaptif. Organ jantung, misalnya, dapat dikatakan
“untuk” memompa darah, tetapi ini dijelaskan secara kausal melalui seleksi alam.
Teleologi, dengan demikian, dapat “dinaturalisasi” tanpa jatuh pada kesalahan
logis post hoc ergo propter hoc (Setelah ini, maka karena ini.
Necessity dan Kegagalan Kant
•Kant berusaha menyelamatkan fondasi Newtonian melalui klaim bahwa hukum-hukum
fisika bersifat sintetik a priori — yaitu, pengetahuan yang bersifat universal dan
diperlukan, namun tetap informatif.
•Akan tetapi, revolusi relativitas Einstein mengguncang posisi tersebut: hukum Newton
ternyata hanya berlaku dalam batas-batas tertentu. Contoh Jam di Gunung vs. Jam di
Lembah (Time Dilation karena Gravitasi) , “Tinggal di Gunung Bisa Bikin Lebih Tua?”
•Ini mengindikasikan bahwa hukum ilmiah bersifat fallibel, tunduk pada revisi, dan tidak
memiliki status apodiktik sebagaimana hukum logika atau matematika.
Problem of Induction (Hume)
•David Hume menunjukkan bahwa inferensi dari observasi masa lalu ke prediksi masa
depan tidak dapat dibenarkan secara rasional tanpa siklus melingkar.
•Bahwa matahari terbit setiap hari tidak menjamin ia akan terbit esok hari. Sains, dengan
demikian, tidak dapat mengklaim kepastian mutlak, melainkan hanya kepercayaan
berbasis kebiasaan (custom).
•Ini merupakan tantangan mendasar bagi upaya justifikasi ilmiah, yang masih menjadi
perdebatan hingga saat ini dalam bentuk new riddle of induction (Goodman) dan
epistemologi Bayesian.
Unifikasi vs Kausalitas
Menurut Philip Kitcher, penjelasan ilmiah
yang baik adalah yang mampu
mengunifikasi beragam fenomena
melalui skema penjelasan minimal.
Namun, pendekatan ini dikritik karena
berisiko memprioritaskan elegansi
konseptual di atas realitas empiris.
Apakah unifikasi mencerminkan struktur
ontologis alam, atau hanya kerangka
heuristik yang nyaman bagi akal
manusia? Perdebatan ini menyentuh
ranah metafisika dan epistemologi sains
secara simultan.
Realisme vs Anti-Realisme
Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori ilmiah menggambarkan realitas
secara akurat, bahkan pada level entitas yang tak terobservasi (seperti
elektron atau medan kuantum).
Sebaliknya, anti-realisme atau instrumentalime (misalnya Van Fraassen)
memandang teori sebagai alat untuk menghasilkan prediksi yang berhasil,
tanpa komitmen ontologis. Apakah probabilitas kuantum benar-benar
mencerminkan aspek realitas, atau hanya kalkulasi praktis? Pertanyaan ini
menggugah perbedaan antara truth dan empirical adequacy.
Kesimpulan dan Diskusi
Penjelasan ilmiah bukanlah cermin sempurna dari alam, melainkan konstruksi
konseptual yang terbuka terhadap koreksi dan revisi. Keterbatasan seperti klausa
ceteris paribus, ketidakpastian probabilistik, dan problem induksi menandai bahwa
sains tidak dapat menjanjikan kepastian absolut. Namun demikian, melalui
mekanisme seperti seleksi alam, bahkan penjelasan yang tampak teleologis dapat
diberi fondasi kausal yang sahih. Maka, sains harus dipahami sebagai upaya fallibel
dan dinamis dalam menstrukturkan pemahaman kita atas realitas. Pertanyaan yang
tersisa adalah: haruskah sains menuntut necessity dalam penjelasannya, dan
bagaimana secara filosofis membedakan klaim ilmiah dari pseudosains?
“Kepastian adalah ilusi; kemajuan ada dalam
keraguan yang berpikir.”
“Filsafat tidak menolak sains, tapi menolak
keangkuhan kepastiannya.”
Salam akal sehat
“yang eksakta belum tentu niscaya, dan yang
ilmiah justru terbuka terhadap keraguan. Di
situlah letak kekuatan dan kerendahan hati
sains.”