PPT 2 tugasHUKUM ACARA PERADILAN AGAMA.pptx

gufronramadhan444 0 views 27 slides Sep 15, 2025
Slide 1
Slide 1 of 27
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27

About This Presentation

Ppt


Slide Content

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Lembaga Peradilan di Indonesia Kompetensi Peradilan Agama/Kekuasaan Peradilan Agama Asas-Asas & Sumber Hukum Peradilan Agama

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. (UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman). Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung (UU No.3 Tahun 2009)dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum (UU No.49 Tahun 2009), lingkungan peradilan agama (UU No.50 Tahun 2009), lingkungan peradilan Militer (UU No.31 Tahun 1997), lingkungan peradilan Tata Usaha Negara (UU No.51 Tahun 2009) dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (UU No.24 Tahun 2003 jo UU No.8 Tahun 2011).

Mahkamah Agung Kewenangan MA : MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : Permohonan Kasasi;Sengketa ttg kewenangan mengadili;Permohonan Peninjauan kembali. Menguji peraturan perundang-undangan yang dibawah UU terhadap UU. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan kasasi, perkara tersebut adalah : Putusan praperadilan;Perkara pidana yang diancam pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau diancam pidana denda; Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Peradilan Umum Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh; Pengadilan Negeri;Pengadilan tinggi. Pengadila Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kekuasaan dan kewenangan mengadili pengadilan negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya kecuali UU menentukan lain. Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri didaerah hukumnya.

Peradilan Agama Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh ; Pengadilan Agama; Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili,memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan pengadilan agama sebagaimana diatur dalam UU No.3 Tahun 2006 ttg perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 ttg Peradilan Agama, yaitu : Perkawinan;Waris;Wasiat;Hibah;Wakaf;Zakat;Infak; Shidaqoh; Ekonomi Syariah. Pengadilan tinggi agama merupakan pengadilan tinggi banding yang memeriksa, memutus, menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilam Agama dan merupakan pengadilan tingkat pertama dan terkahir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan agama didaerah hukumnya.

Peradilan Militer Peradilan militer diatur dlm UU No.31 Tahun 1997 ttg peradilan militer. Dalam UU ini diatur ttg ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan,kekuasaan oditurat, hukum acara pidana militer, hukum acara tata usaha militer dan ketentuan-ketentuan lainnya. Peradilan militer merupakan peradilan khusus bagi prajurit angkatan bersenjata RI. Pengadilan di lingkungan peradilan militer sebagai pelaksanan kekuasaan kehakiman di indonesia meliputi pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama dan pengadilan militer pertempuran.

Peradilan TUN Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan TUN dilaksanakan oleh; Pengadilan TUN; Pengadilan Tinggi TUN. Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan TUN adalah memeriksa,memutus,menyelesaikan sengketa TUN ditingkat pertama, meliputi wilayah Kabupaten/kota. Sengketa TUN adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN baik dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Konstitusi Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK berkedudukan di Ibukota negara RI. MK berwenang mengadili : Menguji UU terhadap UUD NRI 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945; Memutus pembubaran Partai Politik;dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara,korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana di aksud UUD NRI 1945. MK mempunyai 9 orang anggota Hakim Konstitusi, yang diajukan masing-masing 3 oleh MA, 3 oelh DPR dan 3 oleh Presiden. Putusan MK bersifat Final, yaitu Putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat Final dalam Putusan MK dalan UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikan (Final and Binding)

Sumber Hukum Acara Hukum acara adalah aturan-aturan yang mengatur ttg bagaimana beracara di depan persidangan pengadilan. Hukum acara disebut juga Hukum Formil sebagai kebalikan dari Hukum Materiil. Hukum Formil yaitu aturan-aturan yang mengatur tata cara untuk mempertahankan hukum materiil. Hukum acara Peradilan Agama adalah segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat islam yang mengatur bagaimana cara bertindak dipersidangan Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama menyelesaikan perkaranya untuk mewujudkan hukum materiil islam yang menjadi kekuasaan peradilan agama.

UUD NRI 1945 Pasal 24 : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan lain-lain badan kehakiman menurut UU. UU No.14 Tahun 1970 Pasal 12 : Susunan, kekuasaan serta Acara dari Badan-badan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam UU tersendiri. Hukum acara yang secara khusus diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 ttg perdailan agama beserta perubahannya. Pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 ttg Peradilan agama menyatakan : “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU. Peradilan Agama selain hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sebagai hukum umum (lex generalis), berlaku pula hukum khusus (lex specialis), sebagaimana diatur secara khusus dalam UU No.7 Tahun 1989 ttg Peradilan agama maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan umum menjadi tidak berlaku atau disebut Lex specialis derogat legi generalli (peraturan yang lebih khusus dapat mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. UU No.7 tahun 1989 ttg Peradilan Agama telah mengalami beberapakali perubahan dengan UU No.3 Tahun 2006, lalu perubahan kedua menjadi UU No.50 tahun 2009 ttg Peradilan Agama. UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan beserta peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974. Peraturan MA (perma) dan Surat Edaran MA(SEMA) Yurisprudensi yaitu putusan hakim agung yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam kasus yang serupa.

Kompilasi Hukum Islam Merupakan salah satu sumber hukum acara di Peradilan agama selain hukum acara yang diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 dan hukum acara yang berlaku pada Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum. Dalam menangani perkara-perkara di Pengadilan agama para hakim pengadilan agama berpegangan pada kitab-kitab Fiqih karangan para ulama fikih sehingga dalam penanganan suatu perkara yang sama terdapat perbedaan dalam penetapan maupun putusan Pengadilan Agama sebagai produk-produk Pengadilan Agama. M.Yahya Harahap :” Akibat sikap dan prilaku para hakim yang mengidentikan fiqih dengan Syariah atau hukum islam, lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama sesuai latar belakang madzhab yang dianut dan digandrungi”. Pada Tahun 1991 tercapaikan keseragaman dan standardisasi hukum matreriil di Pengadilan Agama dengan adanya Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 yang menginstruksikan Menteri Agama agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari : Buku I ttg Hukum Perkawinan; Buku II tentang Hukum Kewarisan; Buku III tentang Hukum Perwakafan Kompilasi Hukum Islam merupakan kesatuan hukum dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang berlaku di Indonesia yang dihimpun dari produk pemikiran para ahli fiqih dari Madzhab, hanafi, maliki, syafi’i, hanbali dan zahiri yang ditransformasikan kedalam peraturan perundang-undangan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang panjang dan rumit dengan campur tangan kekuasaan negara.

Fungsi Kompilasi Hukum Islam adalah sbb: Salah satu langkah awal/sasaran antara untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang berlaku untuk masyarakat indonesia; Sebagai pegangan para hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya; Sebagai pegangan bagi masyarakat mengenai hukum islam. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Dalam perkara ekonomi syari’ah , untuk memperlancar proses pemeriksaan dan penyelesaian sengktea ekonomi syariah, dikeluarkan peraturan MA no.2 Tahun 2008 ttg Peraturan MA RI tentang kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

Qanun Pelaksanaan peradilan di NAD adalah Mahkamah Syari’ah untuk peradilan di tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Propinsi sebagai tingakt pengadilan banding di NAD. Kewenangna Mahkamah Syariah didasarkan atas syariat Islam dalam Sistem Hukum Nasional yang diatur dalam dalam Qanun NAS No.10 Tahun 2002 ttg Peradilan Syariat Islam. Kewenangannya Peradilan agama di aceh meliputi : Ahwal syahsiyah (hukum keluarga);Muamalah (hukum perdata);Jinayah (hukum pidana).

Kekuasaan Peradilan Agama Kekuasaan Kehakiman Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya guna menegakan hukum dan keadilan. UU kehakiman yang saat ini berlaku adalah UU no.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perkembangan yang penting diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 yang berkaitan dengan kedudukan pengadilan dalam semua lingkungan peradilan meliputi 3 aspek yaitu : Aspek status pengadilan; Aspek peran yang diberikan dan dapat dimainkan;dan Aspek pengakuan dan penghargaan terhadap pengadilan sebagai lembaga kenegaraan baik secara yuridis dalam kehidupan ketatanegaraan.

Dari aspek status pengadilan, didalam Pasal 19 UU NO.48 Tahun 2009 ttg Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU. Penegasan hakim sebagai pejabat negara merupakan suatu bukti pengakuan terhadap kedudukan hakim dalam sistem ketatanegaraan. Dari aspek peran yang diberikan dan dapat dimainkan oleh pengadilan dalam semua lingkungan peradilan, dalam Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 ttg Kekuasaan Kehakiman, memberikan ketentuan sbb :

Badan yang berada di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara; Peradilan umum sebagaimana ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Peradilan agama sebagaimana ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara antara orang-orang yang beragama islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.; Peradilan militer sebagaimana ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara rindak pidana milter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peradilan tata usaha negara sebagaimana ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari aspek pengakuan dan penghargaan terhadap pengadilan sebagai lembaga kenegaraan secara yuridis dalam kehidupan ketatanegaraan, kita temukan adanya beberapa pasal yang mengatur jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dapat dilihat Pasal 48 UU No.48 Tahun 2009 ttg Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan sbb : Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Jaminan keamana dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan berlakunya UU NO.48 Tahun 2009 ttg Kekuasaan kehakiman, maka organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan umum, Badan Peradilan Agama, badan peradilan militer dan badan peradilan tata usaha negara berada dibawah kekuasaan MA (Pasal 21 UU No.48 tahun 2009).

Dasar hukum Peradilan Agama antara lain : Pasal 24 ayat (2) dan (3) UUD 1945 beserta amandemennya; Pasal 18 dan Pasal 25 UU No.48 tahun 2009 ttg Kekuasaan Kehakiman; Pasal 2,3 dan 3A UU No.7 Tahun 1989 ttg Peradilan Agama sebagaimana telah diubah pada perubahan pertama berupa UU No.3 tahun 2006, dan Perubahan kedua berupa UU No.50 Tahun 2009; Pasal 128 UU No.11 Tahun 2006 ttg Pemerintahan Aceh Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berdasarkan UU No.50 Tahun 2009 dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, berpuncak di Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan di Indonesia, sekaligus melakukan fungsi pengawasan atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang ada dibawahnya. Kewenangan Peradilan agama meliputi : memeriksa,memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, waris,wasiat,hibah,wakaf,zakat,infaq,sedekah dan ekonomi syariah.

Kekuasaan Peradilan Agama Kata “kekuasaan sering disebut dengan kompetensi yang berasal dari bahsa belanda competentie yang diterjemahkan dengan “kewenangan”. Menurut Mukti Arto :Kompetensi Peradilan Agama didasarkan atas 7 prinsip dasar secara kumulatif, yaitu : 1.Kompetensi peradilan agamas sebagai peradilan syariah islam diperoleh dari syariah islam itu sendiri; 2.Kompetensi peradilan syariah islam adalah seluas syariah islam; 3.Sila Ketuhahan yang maha esa mengajarkan ajaran agamanya agar setiap pemeluk agama percaya dan bertakwa kepada Tuhan dengan mengajarkan ajaran agamanya masing-masing sebagaimana mestinya : 4.Asas personalitas keislaman merupakan prinsip dasar pemberlakuan hukum syariah islam terhadap setiap muslim dan badan hukum dalam islam; 5.Prinsip-prinsip dasar kekuasaan mengadili merupakan prinsip dasar kekuasaan absolut Peradilan Agama; 6.Prinsip-prinsip peradilan syariah islam merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan Peradilan Agama; dan 7.Prinsip dasar kekuasaan absolut peradilan syariah islam merupakan prinsip dasar kekuasaan peradilan agama. Kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, menyangkut 2 hal :yaitu “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”, yang sekaligus didalamnya tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.

TAHAP PERSIAPAN Perkara yang diperiksa Pengadilan dilingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu Permohonan (voluntaire) dan Gugatan (Contentius). Permohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak.

Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sbb: Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan terdapat dua pigak yang bersengketa; Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkanperkara gugatan terdapat sengketa antara kedua belah pihak; Dalam permohonan,hakim hanya menjalankan fungsi executive power atau administrasi saja sehingga permohonan disebut jurisdictio voluntaria atau peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut juga Jurisdictio contentius atau peradilan yang sesuangguhnya; Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan atau beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan atau vonnis, ayng putusannya dapat berupa putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada para pihak yang bersengketa; Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat dilaksanakan/eksekusi. Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah pihak sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial.

Kewenangan Relatif/Kekuasaan Relatif/Kompetensi Relatif Adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengaan wilayah hukum antar pengadilan agama dalam lingkungan peradilan agama. Misalnya antar pengadilan agama bandung dengan pengadilan agama bogor. Yuridiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat. Kewenangan Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa/sejenis tergantung pada tempat tinggalnya tergugat.Kekuasaan Relatif (distributie van rechtsmacht) asasnya adalah yang berwenang pada pengadiladi mana tergugat bertempat tinggal. Pasal 4 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 diubah dengan UU No.3 Tahun 2006 berbunyi :” Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibukota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wialayah kotamadya atau kabupaten tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian. Kewenangan Relatif tidak terlepas dengan tempat tinggal atau domisili pihak berperkara . Menurut ketentuan yang diatur dalam UU Perkawinan, Kewenangan Relatif bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama mementingkan kaum perempuan, terutama dalam hal sengketa perkawinan. Dalam sengketa perkawinan pada umumnya terutama dalam perkara perceraian. Pengadilan Agana yang berwenang adalah Pengadilan yang mewilayahi hukum pihak perempuan, baik perkara tersebut dalam bentuk CeraI Talak maupun cerai gugat yang berwenang adalah pengadilan yang mewilayahi hukum pihak perempuan, baik perkara tersebut dalam bentuk cerai talak amupun cerai gugat selama pihak istri tidak meninggalkan temapat kediaman bersama tanpa izin atau tanpa sepengetahuan pihak suami.

Kewenangan Relatif Perkara Gugatan Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi : Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan dimana tergugat bertempat tinggal; Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat; Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggal tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat; Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak; Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.

Kewenangan Relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sbb: A.Permohonan cerai talak Pengadilan agama berwenang memeriksa,mengadili dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam Pasal 66 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989 sbb: Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/termohon; Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak kepengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami; Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon; Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman diluar negeri, yang berhak adalah pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau pengadilan agama jakarta pusat.

B. Perkara gugat cerai Pengadilan agama yang berwenang memeriksa,mengadili dan memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 sbb: Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/penggugat; Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami maka perkara gugat cerai diajukan kepengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat; Apabila istri/penggugat bertempat kediaman diluar negeri maka yang berwenang adalah pengadilan agama yang meliputi kediaman suami/tergugat. Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman diluar negeri, yang berhak adalah pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau pengadilan agama jakarta pusat.

Kewenangan Relatif Perkara Permohonan Untuk menentukan kekuasaan relatif pengadilan agama dalam perkara permohonan adalah diajukan kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu dalam UU No.7 Tahun 1989 sbb: Permohonan izin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon; Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan)diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon; Permohonan pencegahan perkawinan diajukan kepengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan; Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri

2. KEWENANGAN ABSOLUT Adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan (Kekuasaan absolut pengadilan agama diatur dalam Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2006. Pengadilan agama berwenang untuk memeriksa,memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : a.Perkawinan b.Warisan c.Wasiat d. Hibah e.Wakaf F.Zakat g.Infaq h.Shodaqoh i.Ekonomi syariah
Tags