2. Analisis implementasi/penerapan materi tersebut!
Implementasi dari materi Langkah Asesmen Awal hingga Diferensiasi dalam praktik
pembelajaran sangat bergantung pada kesadaran dan kesiapan guru dalam mengenali perbedaan
individual peserta didik sejak awal. Di lapangan, penerapan asesmen awal bisa dilakukan dengan
cara sederhana namun bermakna, seperti memberikan pretest di awal semester, menyebarkan
angket minat belajar, atau mengamati perilaku dan respons peserta didik selama beberapa hari
pertama pembelajaran. Dari data tersebut, guru dapat mulai mengelompokkan peserta didik,
misalnya berdasarkan tingkat penguasaan materi atau gaya belajar dominan mereka visual,
auditori, atau kinestetik. Ini menjadi langkah awal yang sangat penting agar proses pembelajaran
tidak hanya bersifat umum, tetapi benar-benar menyentuh kebutuhan dan potensi masing-masing
anak.
Setelah pengelompokan dilakukan, tantangan selanjutnya adalah mendesain pembelajaran yang
berdiferensiasi. Ini berarti guru harus menyiapkan variasi dalam materi, metode, dan bentuk
tugas. Sebagai contoh, dalam pelajaran Pendidikan Agama Kristen, peserta didik dengan gaya
belajar visual bisa diajak membuat ilustrasi dari cerita Alkitab, seperti perumpamaan tentang
Anak yang Hilang. Untuk peserta didik yang auditori, guru bisa mengajak mereka menyanyikan
lagu rohani atau mendengarkan renungan singkat. Sedangkan untuk peserta didik kinestetik,
mereka bisa diajak bermain peran tokoh-tokoh Alkitab atau membuat proyek kecil tentang
tindakan kasih di rumah dan lingkungan sekitar. Di sinilah kreativitas dan kepekaan guru diuji.
Meski membutuhkan usaha ekstra, hasilnya sangat nyata: peserta didik merasa dilibatkan,
dihargai, dan pembelajaran menjadi lebih hidup. Ini adalah wujud nyata dari pembelajaran yang
berpihak pada murid—sebuah pendekatan yang penuh kasih dan bermakna.
3. Tuliskan pengalaman praktis dari proses pembelajaran yang mendukung atau
bertentangan dengan materi yang dipelajari!
Saya pernah mengalami sendiri betapa pentingnya melakukan asesmen awal dan menerapkan
pembelajaran berdiferensiasi dalam mengajar Pendidikan Agama Kristen di kelas tiga. Di awal
semester, saya menyampaikan cerita Alkitab seperti biasanya, dan saya pikir semua peserta didik
akan menikmati dan memahami dengan cara yang sama. Tapi ternyata tidak. Ada beberapa anak
yang tampak antusias, ikut menanggapi, bahkan bertanya. Tapi ada juga yang terlihat bingung,
cepat kehilangan fokus, atau hanya diam saja. Dari situ saya mulai merasa, “Oh, sepertinya saya
perlu memahami mereka lebih dalam lagi.”